- Konsep dasar pendekatan konseling behavioral
Konseling Behavioral adalah salah satu dari teori-teori konseling yang
ada pada saat ini. Konseling behavioral merupakan
bentuk adaptasi dari aliran psikologi behavioristik,
yang menekankan perhatiannya pada perilaku yang tampak.
Behaviorisme adalah aliran dalam psikologi yang didirikan oleh John B. Watson
pada tahun 1913 dan digerakkan oleh Burrhus Frederic Skinner. Behaviorisme
lahir sebagai reaksi atas psikoanalisis yang berbicara tentang alam bawah yang
tidak tampak. Behaviorisme ingin menganalisis bahwa perilaku yang tampak
saja yang dapat diukur, dilukiskan dan diramalkan. Terapi perilaku ini lebih
mengkonsentrasikan pada modifikasi tindakan, dan berfokus pada perilaku saat
ini daripada masa lampau. Belakangan kaum behavioris lebih dikenal dengan teori
belajar, karena menurut mereka, seluruh perilaku manusia adalah hasil belajar.
Belajar artinya perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan (
Rakhmat, 1994:21).
Behaviorisme memandang bahwa ketika dilahirkan, pada dasarnya manusia tidak
memiliki bakat apa-apa. Manusia akan berkembang berdasarkan stimulus yang
diterimanya dari lingkungan di sekitarnya. Tingkah laku ., pada individu
dipengaruhi oleh kepuasan dan ketidak puasan yang diperolehnya.
Istilah behavioral conseling pertama
sekali dikemukakan oleh Krumboltz.Ciri-ciri utama behavioral conseling ini
adalah
- Proses pendidikan :Konseling membantu klien mempelajari tingkah laku baru untuk memecahkan masalahnya.
- Teknik rakit secara individual: Dalam proses konseling, menentukan tujuan konseling, proses asesmen,dan teknik-teknik dibangun oleh klien dengan bantuan konselor.
- Metodologi ilmiah: Konseling behavioral dilandasi oleh metode ilmiah dalam melakukan assesmen dan evaluasi konseling.
Pendekatan behavioral didasari oleh pandangan ilmiah tentang tingkah laku
manusia yaitu pendekatan yang sistematik dan terstruktur dalam konseling.
Pandangan ini melihat individu sebagai produk dari kondisioning sosial,
sedikitsekali melihat potensi individu sebagai prosedur lingkungan. Pada awal
pendekatan ini hanya mempercayai hal yang dapat diamati dan diukur
sebagaisesuatu yang sah dalam pengukuran kepribadian (radical behaviorism), dan
dikembangkan lebih lanjut yang mulai menerima fenomena yang abstrak seperti id,
ego, super ego dan ilusi. Pendekatan ini memandang perilaku yang malajustru
sebagai hasil belajar dari lingkungan secara keliru.
Konseling behavioral dikenal juga dengan modifikasi perilaku yang dapat
diartikan sebagai tindakan yang bertujuan untuk mengubah perilaku.Modifikasi
perilaku memiliki kelebihan dalam menangani masalah-masalah yang di alami oleh
individu, yaitu :
- Langkah-langkah dalam memodifikasi perilaku dapat direncanakan terlebih dahulu.
- Perincian pelaksanaan dapat diubah selama treatmen disesuaikan dengan kebutuhan konseling.
- Bila berdasarkan evaluasi sebuah teknik gagal memberikan perubahan pada klien, teknik tersebut dapat diganti dengan teknik lain.
- Teknik-teknik konseling dapat dijelaskan dan diatur secara rasional sertadapat diprediksi dan dievaluasi secara objektif.
- Waktu yang dibutuhkan lebih singkat
Dalam memahami tingkah laku, terdapat beberapa model tingkah laku yang
dipengaruhi oleh teori-teori psikologi. Model-model tersebut antara lain:
- Model psikodinamika yaitu tingkah laku manusia ditentukan kehidupandinamika intra-psikis individu (id, ego, superego).
- Model biofisik yaitu tingkah laku ditentukan oleh organisasi neurologi,belajar perseptual motor, kesiapan fisiologis, integrasi dan perkembangansensori.
- Model lingkungan yaitu tingkah laku ditentukan oleh interaksi antaraindividu dan lingkungan.
- Model tingkah laku yaitu tingkah laku dapat diobservasi dan diukur.
Konselor behavioral membatasi perilaku sebagai fungsi interaksi antara
pembawaan dengan lingkungan. Perilaku yang dapat diamati merupakan suatu
kepedulian dari para konselor sebagai kriteria pengukuran keberhasilan
konseling. Menurut pandangan ini manusia manusia bukanlah hasil dari dorongan
tidak sadar seperti yang di kemukakan oleh Freud.
Dalam konsep behavioral, perilaku merupakan hasil belajar, sehinga dapat diubah
dengan manupulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi belajar. Pada dasarnya, proses
konseling merupakan suatu penataan proses atau pengalaman belajar untuk
membantu individu memngubah perilakunya agar dapat memecahkan masalah.
Menurut Pavlov, Belajar merupakan proses perubahan perilaku yang disebabkan
oleh pengalaman. perubahan Anak yang merasa ketakutan ketika berjalan sendiri
pada malam hari merupakan hasil dari belajar anak telah belajar menghubungkan
kegelapan dengan suatu keadaan yang menyeramkan. Reaksi ini dapat diperoleh
secara tidak sadar maupun secara sadar dan juga dapat diperoleh dari hasil
belajar
Thoresen (shertzer & Stone, 1980, 188) memberi ciri konseling Behavioral
sebagai berikut:
- Kebanyakan perilaku manusia dipelajari dan karna itu dapat di ubah.
- Perubahan-perubahan khusus terhadap lingkungan individu dapat membantu dalam mengubah perilaku-perilaaku yang relevan. Prosedur-prosedur konseling beerusaha membawa perubahan-perubahan yang relevan dalam perilaku klien dengan mengubah lingkungan.
- Prinsip-prinsip belajar sepesial seperti “reinforcement” dan “social modelling”, dapat digunakan untuk mengembangkan prosedur-prosedur konseling.
- Keefektifan konselingdan hasil konseling dinilai dari perubahan dalam perilaku-perilaku khusus diluar wawancara prosedur-prosedur konseling.
- Posedur-prosedur konseling tidak statis , tetap atau ditentukan sebelumnya, tetapi dapat secara khusus di disain untuk klien dalam memecahkan masalah khusus.
Selanjutnya
dikatakan bahwa terapi Behavioral berusaha menerapkan metode dan prosedur
eksperimental ke dalam praktek klinis. Oleh karena itu maka terapi yang baik
adalah dari ilmu yang baik.
Hal
yang mendasar dalam konseling Behavioral adalah prinsip penguatan
(rainforcement) sebagai suatu kreasi dalam upaya memperkuat atau mendukung
suatu perilaku yang dikendaki. Konsep penguatan ini berasal dari percobaan
Pavlov (teori classical conditioning), dan Skinner (teori intrumental
conditioning). Ada tiga macam hal yang yang dapat memberi pengguatan yaitu (1)
posistive reinvorcer. (2) negative reinvorcer. (3) no consequence and neutral
stimuli.
- Pendangan tentang manusia
Dalam
pandangan behavioral manusia pada hakikatnya bersifat mekanistik atau merespon
kepada lingkungan dengan kontrol yang terbatas, hidup dalam alam deterministik
dan sedikit peran aktifnya dalam memilih martabatnya. Manusia memulai
kehidupannya dengan memberikan reaksi terhadap lingkungannya dan interaksi ini
menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadian. Tingkah
laku seseorang ditentukan oleh banyak dan macamnya penguatan yang diterima
dalam situasi hidupnya.
Tingkah
laku dipelajari ketika individu berinteraksi dengan lingkungan, melalui
hukum-hukum belajar pembiasaan klasik, pembiasaan operan, dan peniruan. Manusia
bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar melainkan merupakan hasil belajar,
sehingga ia dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi
pembentukan tingkah laku.
Manusia
cenderung akan mengambil stimulus yang menyenangkan dan menghindarkan stimulus
yang tidak menyenangkan, sehingga dapat menimbulkan tingkah laku yang salah
atau tidak sesuai. Banyak tingkah laku yang menyimpang karena individu hanya
mengambil sesuatu yang disenangi dan menghindar dari yang tidak disenangi.
Menurut
Corey (2003: 198) menyatakan bahwa pendekatan behavior tidak menguraikan
asumsi-asumsi filosofis tertentu tentang manusia secara langsung. Setiap
manusia dipandang memiliki kecenderungan-kecenderungan positif dan
negative yang sama. Manusia pada dasarnya di dibentuk dan ditentukan oleh
lingkungan social budayanya. Segenap tingkahlaku manusia itu dipelajari.
Sementara
itu, Winkel (2004: 420) menyatakan bahwa konseling behavioristik berpangkal
pada beberapa keyakinan tentang martabat manusia, yang sebagian bersifat
falsafah dan sebagian bersifat psikologis, yaitu:
- Manusia pada dasarnya tidak berakhlak baik atau buruk, bagus atau jelek.
- Manusia mampu untuk berefleksi atas tingkahlakunya sendiri, menangkap apa yang dilakukannya, dan mengatur serta mengontrol perilakunya sendiri.
- Manusia mampu untuk memperoleh dan membentuk sendiri suatu pola tingkahlaku yang baru melalui proses belajar.
- Manusia dapat mempengaruhi perilaku orang lain dan dirinya pun dipengaruhi oleh perilaku orang lain.
Berdasarkan
dua pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa hakikat manusia pada pandangan
behavioris yaitu pada dasarnya manusia tidak memiliki bakat apapun, semua
tingkahlaku manusia adalah hasil belajar. Manusia pun dapat mempengaruhi orang
lain, begitu pula sebaliknya. Manusia dapat menggunakan orang lain sebagai
model pembelajarannya.
Hakikat
manusia menurut pandekatan konseling behavioral adalah pasif dan mekanistik,
manusia dianggap sebagai sesuatu yang dapat dibentuk dan diprogram sesuai
dengan keinginan lingkungan yang membentuknya. Manusia merespon lingkungan
dengan kontrol terbatas, hidup dalam alam deterministik dan memiliki sedikit
peran aktif dalam memilih martabatnya. Manusia memulai kehidupannya dengan
memberikan reaksi terhadap lingkungannya, dan interaksi ini menghasilkan
pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadian.
Dalam
pandangan behavioristik, kepribadian manusia merupakan perilaku yang terbentuk
berdasarkan hasil pengalaman yang diperoleh dari interaksi seseorang dengan
lingkungannya. Kepribadian merupakan pengalaman seseorang akibat proses
belajar. Aliran behavioristik memiliki asumsi-asumsi dasar terhadap perilaku
manusia sebagai berikut; (1)manusia memiliki potensi untuk segala jenis
perilaku, (2)manusia mampu mengkonsepsikan dan mengendalikan
perilakunya,(3)manusia mampu mendapatkan perilaku baru, (4)manusia dapat mempengaruhi
perilaku orang lain sebagaimana perilakunya juga dipengaruhi oleh orang lain.
- Pandangan tentang Kepribadian
Hakikat kepribadian menurut
pendekatan behavioral adalah tingkah laku. Selanjutnya diasumsikan bahwa
tingkah laku dibentuk berdasarkan hasil dari segenap pengalamannya yang berupa
interaksi invidu dengan lingkungannya. Kepribadian seseorang merupakan cerminan
dari pengalaman, yaitu situasi atau stimulus yang diterimanya. Merujuk asumsi
ini maka untuk memahami kepribadian manusia tidak lain adalah mempelajari dan
memahami bagaimana terbentuknya suatu tingkah laku.
- Teori Pengkondisian Klasik
Menurut teori ini tingkah laku
manusia merupakan fungsi dari stimulus. Eksperimen yang dilakukan Pavlov
terhadap anjing telah menunjukkan bahwa tingkah laku belajar terjadi karena
adanya asosiasi antara tingkah laku dengan lingkungannya. Belajar dengan
asosiasi ini biasanya disebut classical conditioning. Pavlov
mengklasifikasikan lingkungan menjadi dua jenis, yaitu Unconditioning
Stimulus(UCS) dan Conditioning Stimulus (CS). UCS adalah
lingkungan yang secara alamiah menimbulkan respon tertentu yang disebut sebagai
Unconditionting Respone (UCR), sedangkan CS tidak otomatis menimbulkan respon
bagi individu, kecuali ada pengkondisian tertentu. Respon yang terjadi akibat
pengkondisian CS disebut Conditioning Respone (CR).
Dalam eksperimen tersebut ditemukan bahwa tingkah laku tertentu dapat terbentuk
dengan suatu CR, dan UCR dapat memperkuat hubungan CS dengan CR. Hubungan CS
dengan CR dapat saja terus berlangsung dan dipertahankan meskipun individu
tidak disertai oleh UCS dan dalam keadaan lain asosiasi ini dapat melamah tanpa
diikuti oleh UCS.
Eksperimen yang dilakukan Pavlov ini dapat digunakan untuk menjelaskan
pembentukan tingkah laku manusia. Gangguan tingkah laku neurosis khususnya
gangguan kecemasan dan phobia banyak terjadi karena aosiasi antara stimulus
dengan respon individu. Pada mulanya lingkungan yang menjadi sumber itu
bersifat netral bagi individu, tetapi karene terkondisikan bersamaan dengan UCS
tertentu, maka dapat memunculkan tingkah laku penyesuaian diri yang salah.
Dalam pembentukan tingkah laku yang normal dapat terjadi dalam perilaku rajin
belajar misalnya, yang terbentuk karena adanya asosiasi.
- Teori Pengkondisian Operan
Teori pengkondian yang dikembangkan
oleh Skinner ini menekankan pada peran lingkungan dalam bentuk
konsekuensi-konsekuensi yang mengikuti dari suatu tingkah laku.
Menurut teori ini, tingkah laku individu terbentuk atau dipertahankan sangat
ditentukan oleh konsekuensi yang menyertainya. Jika konsekuensinya menyenangkan
maka tingkah lakunya cenderung dipertahankan dan diulang, sebaliknya jika
konsekuensinya tidak menyenangkan maka tingkah lakunya akan dikurangi atau
dihilangkan.
Dari prinsip ini dapat dipahami bahwa tingkah laku bermasalah dapat terjadi dan
dipertahankan oleh individu di antaranya karena memperoleh konsekuensi yang
menyenangkan yang berupa ganjaran dari lingkungan. Konsekuensi yang tidak
tidak menyenangkan yang berupa hukuman tidak cukup kuat untuk mengurangi atau
melawan ganjaran yang diperoleh dari lingkungan lainnya. Dipertegas oleh
Skinner bahwa tingkah laku operan sebagai tingkah laku belajar merupakan
tingkah laku yang non reflektif, yang memiliki prinsip-prinsip yang lebih aktif
dibandingkan dengan pengkondisian klasik.
- Teori Peniruan
Asumsi dasar teori yang dikembangkan
oleh Bandura ini adalah bahwa tingkah laku dapat terbentuk melalui observasi model
secara langsung yang disebut dengan imitasi dan melalui pengamatan tidak
langsung yang disebut denganvicarious conditioning. Tingkah laku yang
terbentuk karena mencontoh langsung maupun mencontoh tidak langsung akan
menjadi kuat kalau mendapat ganjaran.
Paparan kerangka teori behavioral di atas menunjukkan bahwa tingkah laku yang
tampak lebih diutamakan dibadingkan dengan sikap atau perasaan individu.
Pandangan para behavioris juga menganggap manusia sama saja, tidak ada yang
baik dan tidak ada yang jahat. Semasa lahirnya mereka adalah sama,
masing-masing mempunyai potensi seimbang ke arah menjadi sama ada baik ataupun
jahat. Hasilnya, ahli-ahli teori tingkah laku tidak sepenuhnya memberikan
definisi tabiat asas kemanusiaan itu yang boleh membantu teori-teori mereka
sendiri. Bagaimanapun, Dustin dan George menyenaraikan empat andaian berhubung
dengan tabiat kemanusiaan dan bagaimana manusia berubah yang menjadi inti
kepada konseling tingkah
w laku itu sendiri, diantaranya
adalah :
- Manusia itu dilihat sebagai manusia biasa, tidak ada yang sepenuh-penuhnya jahat atau sepenuh-penuhnya baik, tetapi adalah sebagai organisme berpengalaman yang mempunyai potensi kepada semua jenis tingkah laku.
- Manusia berupaya memahami konsep serta mengawal tingkah lakunya sendiri.
- Manusia berupaya memperoleh tingkah lakunya yang baru.
- Manusia mempunyai keupayaan untuk mempengaruhi tingkah laku lain sebagaimana ia dipengaruhi oleh orang lain terhadap tingkah lakunya sendiri.
Bagi konselor tingkah laku, individu adalah hasil daripada pengalaman.
Ahli-ahli tingkah laku melihat tingkah laku yang salah terima itu sebagai
makhluk yang mempelajari tingkah lakunya, perkembangan dan pembaikannya adalah
sama dengan sebarang tingkah laku lain. Satu implikasi daripada pandangan ini
ialah tidak adanya tingkah laku yang salah terima bagi diri mereka itu. Selain
itu sesuatu tingkah laku itu menjadi wajar disebabkan seseorang itu
menganggapnya tidak begitu. Setengah-setengah tingkah laku mungkin dianggap
wajar di rumah, tetapi tidak wajar di sekolah, begitu juga sebaliknya.
- Asumsi Perilaku Bermasalah
Tingkah
laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan negatif atau
tingkah laku yang tidak tepat, yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan
tuntutan lingkungan. Tingkah laku yang salah hakikatnya terbentuk dari cara
belajar atau lingkungan yang salah.Manusia bermasalah mempunyai kecenderungan
merespon tingkah laku negatif dari lingkungan.
Tingkah
laku maladaftif terjadi karena kesalah pahaman dalam menanggapi lingkungan
dengan tepat. Seluruh tingkah laku manusia didapat dengan cara belajar dan
dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar
Perilaku
yang bermasalah dalam pandangan Behavioris dapat dimaknakan sebagai perilaku atau
kebiasaan-kebiasaan negative atau perilaku yang tidak tepat, yaitu perilaku
yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Perilaku yang salah suai terbentuk
melalui proses interaksi dengan lingkungannya. Artinya bahwa perilaku individu
itu meskipun secara social adalah tidak tepat, dalam beberapa saat memperoleh
ganjaran dari pihak tertentu Dari cara demikian akhirnya perilaku yang tidak
diharapkan secara sosial atau perilaku yang tidak tepat itu menguat pada
individu
Perilaku
yang salah suai dalam penyesuaian dengan demikian berbeda dengan perilaku
normal. Perbedaan ini tidak terletak pada cara mempelajarinya, tetapi pada
tingkatannya yaitu tidak wajar dipandang. Perilaku yang perlu dipertahankan
atau dibentuk pada individu adalah perilaku yang bukan sekedar memperoleh
kepuasan pada jangka pendek, tetapi perilaku yang tidak menghadapi
kesulitan-kesulitan yang lebih luas, dan dalam jangka yang lebih panjang.
Manusia
bermasalah itu mempunyai kecenderungan merespon tingkah laku negatif dari
lingkungannya. Tingkah laku maladaptif terjadi juga karena kesalapahaman dalam
menanggapi lingkungan dengan tepat. Seluruh tingkah laku manusia didapat dengan
cara belajar dan juga tingkah laku tersebut dapat diubah dengan menggunakan
prinsip-prinsip belajar.
Dilihat
dari sudut pandang behavioris, perilaku bermasalah dapat dimaknai sebagai
perilaku atau kebiasaan yang negatif atau dapat dikatakan sebagai perilaku yang
tidak tepat dan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Masalah
perilaku yang biasanya sering terjadi pada konseli meliputi serangan panik,
membantu anak untuk mengatasi rasa takut terhadap gelap, meningkatkan
produktivitas kreatif, mengelola kecemasan dalam situasi sosial, mendorong
berbicara di depan kelas, pengendalian merokok, dan berurusan dengan depresi
Munculnya
perilaku bermasalah disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
- adanya salah penyesuaian melalui proses interaksi dengan lingkungan.
- adanya pembelajaran yang salah dalam keluarga, lingkungan sekolah, tempat bermain dan lain-lain. Seperti halnya kehidupan di kota-kota besar pada saat ini begitu kompleks dan bervariasi. Sikap hidup menjadi individualistis, egois, apatis dan hubungan sosial menjadi renggang.
Dalam
suasana hidup seperti di atas, banyak orang menggunakan mekanisme pelarian dan
mekanisme pertahanan diri yang negatif. Untuk dapat bertahan dan menghindari
kesulitan hidup tidak sedikit terjadi tindakan kriminal. Bentuk mekanisme yang
negatif menyebabkan timbulnya tingkah laku yang tidak normal (patologis).
Menurut
pandangan behavioral, perilaku bermasalah adalah kebiasaan negatif atau
perilaku yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Perilaku
bermasalah ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah adanya
salah suai dalam proses interaksi dengan lingkungan, adanya pembelajaran yang
salah dalam rumah tangga, tempat bermain, lingkungan sekolah, dan lingkungan
lainnya. Perilaku dikatakan salah suai jika perilaku tersebut tidak membawa
kepuasan bagi individu, atau membawa individu kepada konflik dengan
lingkungannya.
Terbentuknya
suatu perilaku dikarenakan adanya pembelajaran, perilaku itu akan dipertahankan
atau dihilangkan tergantung pada peran lingkungan dalam bentuk konsekuensi yang
menyertai perilaku tersebut. Misalnya perilaku merusak (destructif) di kelas
dapat bertahan karena adanya ganjaran (reinforcement) berupa pujian dan
dukungan dari sebagian teman-temannya dan merasa puas dengan ganjaran itu,
sedangkan hukuman (punishment) yang diberikan oleh guru tidak cukup kuat untuk
melawan kekuatan ganjaran yang diperolehnya. Perubahan perilaku yang diharapkan
dapat terjadi jika pemberian ganjaran atau hukuman dapat diberikan secara
tepat.
Terbentuknya
perilaku yang dicontohkan di atas disebabkan karena adanya peran lingkungan
dalam bentuk konsekuensi-konsekuensi yang mengikuti dari suatu perilaku dan hal
itu termasuk dalam teori belajar perilaku operan dari Skinner. Selain teori
belajar Skinner, Bandura juga mencontohkan perilaku agresif di kalangan
anak-anak.
Timbulnya
perilaku bermasalah yang ditandai dengan tindakan melukai atau menyerang baik
secara fisik maupun verbal, dikarenakan adanya proses mencontoh atau modeling
baik secara langsung yang disebut imitasi atau melalui pengamatan tidak
langsung (vicarious). Misalnya anak bersikap agresif karena sering dipukuli
atau anak sering melihat orang tuanya bertengkar bahkan lewat media televisi
anak dapat mencontoh adegan-adegan yang bersifat kekerasan.
Perilaku
yang salah dalam penyesuaian berbeda dengan perilaku normal. Perbedaan ini
tidak terletak pada cara mempelajarinya, tetapi pada tingkatannya, yaitu tidak
wajar dipandang, dengan kata lain perilaku dikatakan mengalami salah
penyesuaian jika tidak selamanya membawa kepuasan bagi individu atau akhirnya
membawa individu pada konflik dengan lingkunganya. Rasa puas yang dirasakan
bukanlah ukuran bahwa perilaku itu harus dipertahankan, karena boleh jadi
perilaku itu akan menimbulkan kesulitan di kemudian hari. Perilaku yang perlu
dipertahankan atau dibentuk pada individu adalah perilaku yang tidak
menimbulkan kesulitan-kesulitan yang lebih luas dan dalam jangka yang lebih
panjang.
Menurut
Latipun (2008: 135) menyatakan bahwa perilaku yang bermasalah dalam pandangan
behavioris dapat dimaknai sebagai perilaku atau kebiasaan-kebiasaan negative
atau perilaku yang tidak tepat, yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan yang
diharapkan.
Konsleing
behavioral digunakan untuk membantu masalah konseli yang terkait dengan
perilaku-perilaku maladaptif. perilaku yang bermasalah dalam pandangan
behaviorist dapat dimaknai sebagai perilaku atau kebiasaan-kebiasaan negatif
atau perilaku yang tidak tepat, yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan yang
diharapkan. konseling behavioral juga dapat menangani masalah perilaku
mulai dari kegagalan individu untuk belajar merespon secara adaptif hingga
mengatasi gejala neurosis Sedangkan menurut Feist & Feist (2008: 398)
menyatakan bahwa perilaku yang tidak tepat meliputi:
- Perilaku terlalu bersemangat yang tidak sesuai dengan situasi yang dihadapi, tetapi mungkin cocok jika dilihat berdasarkan sejarah masa lalunya.
- Perilaku yang terlalu kaku, digunakan untuk menghindari stimuli yang tidak diinginkan terkait dengan hukuman.
- Perilaku yang memblokir realitas, yaitu mengabaikan begitu saja stimuli yang tidak diinginkan.
- Pengetahuan akan kelemahan diri yang termanifestasikan dalam respon-respon-respon menipu diri.
Bagi
individu tingkah laku yang tidak tepat akan menimbulkan berbagai kesulitan baik
bagi diri individu itu sendiri, maupun terhadap lingkungan sekitarnya. Menurut
aliran behavioral tingkah laku yang tidak tepat dipelajari dengan cara yang
sama dengan tingkah laku yang tepat. Tingkah laku ini dipelajari karena pada
perkembangan tertentu pernah menjadi jalan untuk memperoleh kepuasan.
Misalnya
siswa berbuat kenakalan dikelas karena mereka belajar bahwa cara itulah yang
perlu efektif untuk menarik perhatian guru. Hukuman guru diterima anak sebagai
hadist yang memberi kepuasan kebutuhan perhatian. Walaupun orang lain memandang
tingkah laku itu tidak tepat, namun bagi siswa dapat memberi reinforcement yang
diharapkannya. Sama halnya, orang yang menarik diri, yang di pandang terisolir
secara sosial. Hadiah dari tingkah laku menarik diri adalah tidak perlu berpartisipasi
dengan situasi yang menakutkan, dimana takut ini juga dipelajari melalui
pengalaman yang tidak menyenangkan di masa lalu.
Contoh
lain : seorang anak yang tidak mengerjakan soal-soal mata pelajaran matematika,
bagi siswa lain tentu keadaan ini merugikan, karena tidak boleh mengikuti mata
pelajaran. Namun bagi siswa tersebut merasa puas karena ia tidak senang dengan
mata pelajaran matematika sebagai pekerjaan rumah. Guru menyuruhnya keluar
tidak mengikuti pelajaran matematika, ia merasa puas karena dapat memberikan
reinforcement yang diharapkan.
Tingkah
laku yang tidak tepat berbeda dengan yang tepat, hanya dalam derajat tingkah
laku itu mengecewakan individu dan lingkungannya. secara luas, kebudingayaan
ikut menentukan mana tingkah laku yang tepat dan tidak tepat.dari interaksi
dengan kebudayaan impuls individu belajar merangsang apa saja yang dapat
memuaskan dan tidak dapat memuaskan diri dan lingkungannya, dan menyususnnya
dalam hirarki khasanah tingkah laku.
Tingkah
laku manusia dapat dilihat dari aspek kondisi yang menyertai atau akibat yang
menyertai tingkah laku setelah terbentuk dengan anticedent yang disebut dengan
consequence.
Tingkah laku dipelajari ketika individu berinteraksi dengan lingkungan melalui
hukum-hukum belajar : (Alwisol, 2011 : 322)
- Pembiasaan klasik, yang ditandai dengan satu stimulus yang menghasilkan satu respon. Misalnya bayi merespon suara keras dengan takut.
- Pembiasaan operan, ditandai dengan adanya satu stimulus yang menghasilkan banyak respon. Pengondisian operan memberikan penguatan positif yang bisa memperkuat tingkah laku. Sebaliknya penguatan negatif bisa memperlemah tingkah laku. Munculnya perilaku akan semakin kuat apabila diberikan penguatan positif dan akan menghilang apabila dikenai hukuman.
- Peniruan, yaitu orang tidak memerlukan reinforcement agar bisa memiliki tingkah laku melainkan ia meniru. Syarat dalam meniru tingkah laku yaitu:Tingkah laku yang ditiru memang mampu untuk ditiru oleh individu yang bersangkutan dan tingkah laku yang ditiru adalah perbuatan yang dinilai publik positif.
Konseling
Behavioral sebagai model konseling yang memiliki pendekatan yang berorientas
pada perubahan perilaku menyimpang dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar.
Perilaku manusia termasuk perilaku yang menyimpang terbentuk karena belajar dan
perilaku itu dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar. Belajar
yang dimaksud disini adalah perubahan perilaku yang relatif permanen sebagai
hasil dari latihan atau pengalaman.
Teoritisi
belajar berpendapat, tingkah laku yang tidak tepat dapat diterangkan dengan
prinsip yang sama dengan pola tingkah laku yang tidak tepat, karena pada
dasarnya semua tingkah laku adalah usaha individu untuk memodifikasi situasi
sehingga dapat memberikan kepuasan setiggi-tingginya.
Semua
tingkah laku dibentuk melalui proses belajar, tetapi tidak peduli hasilnya
nanti adaptif dan maladaptif. Individu memantapkan pola tingkah lakunya karena
dapat memperoleh kepuasan-kepuasan. Ini yang akan menjadi salah satu kunci
proses konseling behavioral, yakni kemampuan konselor membantu klien menentukan
kepuasan bagaimana yang bakal diperolehnya dari suatu tingkah laku.
Berdasarkan
uraian diatas, dapat di simpulkan bahwa tingkah laku yang tidak dapat diperoleh
dan dikembangkan oleh seseorang karena ia belajar dengan salah, sehingga
tingkah lakunya tidak tepat, kurang, dan berlebihan. Misalnya menyendiri,
belajar hanya dengan waktu yang paling minimal, merokok berlebihan, pobia,
tidur berlebihan, ngeluyur, tidsk ksruan dan sebagainya
Banyak
tingkah laku yang menyimpang karena individu itu hanya mengambil sesuatu yang
disenangi, dan menghindari yang tidak disenangi. Psikoterapi melatih klien
untuk dapat bertingkah laku yang menurut pendapatnya tidak menyenangkan. Bila
seorang klien datang pada seorang psikoterapis bahwa ia mengalami suatu
kecemasan. Salah satu cara untuk menghindarkan kecemasan itu dengan
memanipulasi stimulus sehingga menimbulkan respon yang mendatangkan suatu
ganjaran, maka terapis itu menolong klien mengurangi kecemasan.
Hal
ini terjadi karena stimulus yang tidak menyenangkan (menyakitkan) sehingga
perilaku yang tidak dikehendaki (simtomatik) tersebut terhambat kemunculannya.
Stimulus yang tidak menyenangkan disajikan tersebut diberikan secara bersamaan
dengan munculnya perilaku yang tidak dikehendaki kemunculannya. Pengkondisian
ini diharapkan terbentuk asosiasi antara perilaku yang tidak dikehendaki dengan
stimulus yang tidak menyenangkan.
Perilaku
bermasalah adalah perilaku individu yang negative dan / atau perilaku yang
tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, perilaku yang tidak membawa kepuasaan
bagi individu, atau perilaku yang menyebabkan konflik antara individu dengan
lingkungannya. Perilaku bermasalah terjadi karena adanya salah suai dalam
proses interaksi individu dengan lingkungannya. Perilaku bermasalah terjadi
karena proses belajar, terbentuk oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi
sebelumnya.
Manusia
bermasalah itu mempunyai kecenderungan merespon tingkah laku negatif dari
lingkungannya. Tingkah laku maladaptif terjadi juga karena kesalapahaman dalam
menanggapi lingkungan dengan tepat. Seluruh tingkah laku manusia didapat dengan
cara belajar dan juga tingkah laku tersebut dapat diubah dengan menggunakan
prinsip-prinsip belajar.
Perilaku
bermasalah juga dapat terbentuk karena modeling, perilaku mencontoh, baik
berupa pengamatan langsung (imitasi), atau secara tidak langsung (vicarious).
Teori belajar dengan mencontoh ini dapat dilakukan dengan modeling dan
vicarious. Modeling merupakan proses belajar individu dengan menirukan atau
mengulangi apa yang dilakukan oleh orang lain sebagai model dengan melibatkan
penambahan atau pengurangan tingkah laku yang diamati, menggeneralisir berbagai
pengamatan sekaligus melibatkan proses kognitif. Vicarious classical
conditioning merupakan modeling yang digabung dengan conditioning classic.
Modeling ini digunakan untuk mempelajari respon emosional. Proses vicarious
classical conditioning ini dapat dilihat dari kemunculan respon emosional yang
sama dalam diri seseorang dan respon tersebut ditujukan ke obyek yang ada
didekatnya saat dia mengamati model ituAnak yang sering dihukum fisik,
ditampar, dipukul, menyaksikan kedua orangtuanya bertengkar, maka anak akan
belajar dan mencontoh perilaku agresif tersebut. Perilaku bermasalah dapat juga
terjadi karena mencontoh adegan-adengan dalam games, TV, atau film.
Perilaku
bermasalah ini akan tetap atau berubah tergantung pada konsekuensi-konsekuensi
yang menyertai perilaku tersebut dalam lingkungan dimana individu berada.
Seorang anak yang membuat gaduh di kelas, akan terus berulah jika lingkungan,
guru dan teman sekelas, melakukan pembiaran, pujian atau bahkan dukungan (reinforcement),
sebaliknya jika lingkungan memberikan punishment (hukuman) maka perilaku
tersebut akan berhenti. Perubahan perilaku terjadi jika punishment dan reinforcement
diberikan dengan tepat. Punishment yang diberikan menjadi tidak efektif
jika tidak mampu meredam kekuatan reinforcement.
Perilaku
bermasalah adalah perilaku individu yang negative dan / atau perilaku yang
tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, perilaku yang tidak membawa kepuasaan
bagi individu, atau perilaku yang menyebabkan konflik antara individu dengan
lingkungannya.
Perilaku
bermasalah terjadi karena adanya salah suai dalam proses interaksi individu
dengan lingkungannya. Perilaku bermasalah terjadi karena proses belajar,
terbentuk oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya. Perilaku akan
terbentuk dan dipertahankan jika diberi ganjaran. Sebaliknya perilaku akan
berkurang dan hilang jika diberi hukuman.
Secara
general menurut Skinner bahwa pribadi manusia dapat mempengaruhi tingkah
lakunya melalui manipulasi lingkungan. Asumsi yang mendasari pendekatan
behavioral ini adalah bahwa karena individu yang terganggu oleh berbagai
masalah spesifik maka dibutuhkan banyak strategi untuk menghasilkan perubahan
Konseling
behavioral berasusmsi bahwa perilaku yang salah akibat dari pembelajaran dan
pendidikan yang salah, baik sebagai akibat dari pengaruh lingkungan maupun
aspek sosial lainya. Sebagai contoh, ketika menangani anak yang senang
minum-minuman keras, maka yang akan dilakukan adalah memberikan terapi yang
realistis dengan permasalahan yang ada. Seperti memberikan tahap-tahap dalam
mengatasi kecenderungan minuman keras, disamping itu dengan merubah kebiasaan yang
dari klien.
Dari
penjelasan mengenai asumsi perilaku bermasalah yang telah di jelaskan tersebut
dapat disimpulkan bahwa
- Tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan negatif atau tingkah laku yang tidak tepat, yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan.
- Tingkah laku yang salah hakikatnya terbentu dari cara belajar atau lingkungan yang salah.
- Manusia bermasalah itu mempunyai kecenderungan merespon tingkah laku negatif dari lingkungannya. Tingkah laku maladaptif terjadi juga karena kesalapahaman dalam menanggapi lingkungan dengan tepat.
- Seluruh tingkah laku manusia didapat dengan cara belajar dan juga tingkah laku tersebut dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belaj
- Tujuan Konseling
Tujuan
konseling behavioral adalah membantu klien untuk mendapatkan tingkah laku
baru. Dasar alasannya adalah bahwa segenap tingkah laku adalah dipelajari (learned),
termasuk tingkah laku maladaptive (salah usai). Jika tingkah laku neurotik learned,
maka ia bisa unlearned (dihapus dari ingatan)Konseling behavioral pada
hakikatnya terdiri atas proses penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif dan
pemberian pengalaman-pengalaman belajar yang didalamnya respon-respon yang
layak yang belum dipelajari. (Corey, 2010 : 199)
Dari
tujuan diatas dapat dibagi menjadi beberapa sub tujuan yang lebih konkrit
yaitu:
- Membantu klien untuk menjadi asertif dan mengekspresikan pemikiran-pemikiran dan hasrat-hasrat ke dalam situasi yang membangkitkan tingkah laku asertif (mempunyai ketegasan dalam bertingkah laku).
- Membantu klien menghapus ketakutan-ketakutan yang tidak realistis yang menghambat dirinya dari keterlibatan peristiwa-peristiwa sosial.
- Membantu untuk menyelesaikan konflik batin yang menghambat klien dari pembuatan pemutusan yang penting bagi hidupnya.
Adapun
tujuan khusus dari konseling behavioral adalah membantu klien menolong diri
sendiri, mengembalikan klien ke dalam masyarakat, meningkatkan keterampilan
sosial, memperbaiki tingkah laku yang menyimpang, membantu klien mengembangkan
sistem self management dan self control. (Sutarno, 2003 : 8) Sehingga tujuan
dari konseling behavioral adalah membentuk perilaku baru yang adaptif melalui
proses belajar dan lingkungan.
Tingkah
laku tertentu pada individu dipengaruhi oleh kepuasan dan ketidakpuasan yang
diperolehnya. Manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar melainkan
merupakan hasil belajar, sehingga ia dapat diubah dengan memanipulasi dan
mengkreasi kondisi-kondisi pembentukan tingkah laku. Adapun karakteristik konseling
behavioral menurut Corey (1997) dan George dan Cristiani (1990) adalah :
- berfokus pada tingkah laku yang tampak dan spesifik
- Memerlukan kecermatan dalam perumusan tujuan konseling
- Mengembangkan prosedur perlakuan spesifik sesuai dengan masalah klien
- Penilaian yang obyektif terhadap tujuan konseling.
Berdasarkan
karakteristik ini dapat dipahami bahwa tujuan dari terapi tingkah laku dalam
konseling adalah :
- Mencapai kehidupan tanpa mengalami perilaku simtomatik, yaitu kehidupan tanpa mengalami kesulitan atau hambatan perilaku, yang dapat membuat ketidakpuasan dalam jangka panjang dan/atau mengalami konflik dengan kehidupan sosial.
- Mengubah perilaku salah dalam penyesuaian dengan cara-cara memperkuat perilaku yang diharapkan, dan meniadakan perilaku yang tidak diharapkan serta membantu menemukan cara-cara berperilaku yang tepat.
Ada
tiga fungsi tujuan konseling behavioral, yaitu : (1) sebagai refleksi masalah
klien dan dengan demikian sebagai arah bagi proses konseling, (2) sebagai
dasar pemilihan dan penggunaan strategi konseling, dan (3) sebagai kerangka
untuk menilai konseling.
Secara
operasional tujuan konseling behavioral dirumuskan dalam bentuk dan
istilah-istilah yang khusus, melalui : (1) definisi masalah, (2) sejarah
perkembangan klien, untuk mengungkapkan kesuksesan dan kegagalannya, kekuatan
dan kelemahannya, pola hubungan interpersonal, tingkah laku penyesuaian, dan
area masalahnya, (3) merumuskan tujuan-tujuan khusus, (4) menentukan metode
untuk mencapai perubahan tingkah laku.
Sedangkan
tujuan konseling menurut Krumboltz harus memperhatikan criteria berikut : (1)
tujuan harus diinginkan oleh klien , (2) konselor harus berkeinginan untuk
membantu klien mencapai tujuan dan (3) tujuan harus mempunyai kemungkinan untuk
dinilai pencapaiannya oleh klien .
Tujuan
konseling dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu (1) memperbaiki perilaku
salah sesui, (2) belajar tentang proses pembuatan keputusan, dan (3) Pencegahan
timbulnya masalah-masalah.
Adapun
tujuan dari pembahasan tentang teknik konseling behavioral ini adalah :
- Untuk mengetahui sejarah, konsep, dan teknik pelaksanaan konseling behavioral dengan baik dan benar.
- Memahami metode dan ciri khas yang terdapat dalam pelaksanaan konsep teori behavioral dalam format konseling kelompok.
- Menjelaskan kajian-kajian dan peranan konselor dan konseli dalam proses konseling kelompok behavioral.
Menurut
Corey (1986, 178) ada tiga tujuan dalam konseling behavioral yaitu (1) sebagai
refleksi masalah klien dan dengan demi dan sebagai arah bagi konseling , (2)
sebagai dasar pemilihan dan penggunaan strategi konseling , dan (3) sebagai
kerangka untuk menilai hasil konseling. Urutan pemilihan dan penetapan tujuan
yang digambarkan oleh Cormier and Cormier (Corey, 1986,178) sebagai salah satu
bentuk kerja sama antara konselor dengan klien , adalah sebagi berikut :
- Konselor menjelaskan hakekat dan maksud dari tujuan .
- Klien mengkhususkan perubahan –perubahan positif yang dikehendaki sebagai hasil konseling
- Klien dan konselor menetapkan tujuan yang telah ditetapkan apakah merupakan perubahan yang dimiliki oleh klien .
- Bersama-sama menjajagi apakah tujuan-tujuan itu
- Mereka mendiskusikan kemungkinan manfaat –manfaat tujuan .
- Mereka mendiskusikan kemungkinan kerugian-kerugian tujuan.
- Atas dasar informasi yang diperoleh tentang tujuan klien, konselor dan klien membuat salah satu keputusan berikut untuk melanjutkan konseling atau mempertimbangkan kembali tujuan akan mencari referal.
Mereka
mendiskusikan kemungkinan kerugian-kerugian tujuan atas dasar informasi yang
diperoleh tentang tujuan klien ,konselor dan klien membuat salah satu keputusan
berikut: untuk melanjutkan konseling ,atau mempertimbangkan kembali tujuan akan
mencari referral,
Bila
pemilihan tujuan di atas dapat diselesaikan, maka proses penentuan tujuan
dimiliki. Proses ini mencakup usaha bersama dimana konselor dan klien membahas
tingkah laku yang dihubungkan dengan tujuan-tujuan tersebut, kondisi-kondisi
perubahan, tingkat perubahan tingkah laku, hakikat sub-sub tujuan dan rencana
tindakan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Setelah
tujuan ditetapkan dan ditentukan, tugas terapis adalah untuk memilih strategi
terapeutik yang dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Dalam poin
itulah klien dan terapis melakukan kesepakatan terapeutik. Gotman dan Laiblum
(1973) menyatakan bahwa kesepakatan/persetujuan tertulis dan ditandatangani
dapat digunakan untuk menegaskan kesepakatan tujuan dan aturan-aturan
prosedural treatment. Dalam pandangan mereka, ada implikasi penting dari
memiliki kesepakatan seperti :
- Kesepakatan terapeutik meningkatkan kesepalatan-kesepakatan membuat konselor/klien alliance operational.
- Kesepakatan terapeutik menekankan pada klien pentingnya partisipasi aktif dalam proses terapeutik dan bukan membantu perkembangan sikap spektator pasif.
- Kesepakatan terapeutik adalah hubungan dasar antara prosedur-prosedur atau teknik-teknik yang digunakan dengan tujuan kongkrit klien.
Tujuan
konseling behavioral berorientasi pada pengubahan atau modifikasi perilaku
konseli, yang di antaranya :
- Menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar
- Penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif
- Memberi pengalaman belajar yang adaptif namun belum dipelajari
- Membantu konseli membuang respon-respon yang lama yang merusak diri atau maladaptif dan mempelajari respon-respon yang baru yang lebih sehat dan sesuai (adjustive).
- Konseli belajar perilaku baru dan mengeliminasi perilaku yang maladaptive, memperkuat serta mempertahankan perilaku yang diinginkan.
- Penetapan tujuan dan tingkah laku serta upaya pencapaian sasaran dilakukan bersama antara konseli dan konselor.
- Peran Konseling Behavioral
Menurut Corey (2003: 205) menyatakan bahwa terapis tingkah laku harus memainkan
peran aktif dan direktif dalam pemberian treatment, yaitu terapis menerapkan
pengetahuan ilmiah pada pencarian pemecahan-pemecahan bagi masalah manusia,
para kliennya. Terapis tingkah laku secara khas berfungsi sebagai guru,
pengarah, ahli dalam mendiagnosis tingkahlaku yang maladatif dan dalam
menentukan prosedur-prosedur penyembuhan yang diharapkan mengarah pada tingkah
laku yang baru dan adjustive.
Hakikatnya
fungsi dan peranan konselor terhadap konseli
dalam teori behavioral ini adalah :
- Mengaplikasikan prinsip dari mempelajari manusia untuk memberi fasilitas pada penggantian perilaku maladaptif dengan perilaku yang lebih adaptif.
- Menyediakan sarana untuk mencapai sasaran konseli, dengan membebaskan seseorang dari perilaku yang mengganggu kehidupan yang efektif sesuai dengan nilai demokrasi tentang hak individu untuk bebas mengejar sasaran yang dikehendaki sepanjang sasaran itu sesuai dengan kebaikan masyarakat secara umum.
Perubahan dalam perilaku itu harus di usahakan melalui suatu proses belajar
atau belajar kembali, yang berlangsung selama proses konseling. Oleh karena itu
,proses konseling di pandang sebagai suatu proses pendidikan yang berpusat pada
usaha membantu dan kesediaan di bantu untuk belajar perilaku baru dan dengan
demikian mengatasi berbagai macam permasalah. Perhatian di fokuskan pada
perilaku-perilaku tertentu yang dapat di amati ,yang selam aproses konseling
melalui berbagai prosedur dan aneka teknik tertentu akhirnya menghasilkan
perubahan yang nyata, yang juga dapat di saksikan dengan jelas. Semua usaha
untuk mendatangkan perubahan dalam tingkah laku di dasar kanpadateori belajar
yang di kenal dengan nama Behaviorism dan sudah di kembangkan sebelum lahirnya
aliran Behavioral dalam konseling. Konselor behavioral memiliki peran yang
sangat penting dalam membantu konseling. Wol pemengemukakan peran yang harus di
lakukan konselor, yaitu bersikap menerima, mencoba memahami konseli dan apa
yang di kemukakantan pamenilai atau mengkritiknya. Dalam hal menciptakan iklim
yang baik adalah sangat penting untuk mempermudah melakukan modifikasi
perilaku. Konselor lebih berperan sebagai guru yang membantu konseli melakukan
teknik-teknik modifikasi perilaku yang sesuai dengan masalah, tujuan yang
hendak dicapai
Terapi behavior memiliki prosedur kerja yang jelas, sehingga konselor dan konseli
memiliki peran yang jelas. Ini berarti untuk mencapai tujuan terapi sangat
dibutuhkan kerjasama yang baik antara konselor dan konseli. Adapun sikap, peran
dan tugas konseli dalam proses terapi ialah meliputi :
- Memiliki motivasi untuk berubah
- Kesadaran dan partisipasi konseli dalam proses terapi, baik selama sesi terapi maupun dalam kehidupan sehari-hari
- Klien terlibat dalam latihan perilaku baru dan umumnya menerima pekerjaan rumah yang aktif (seperti self-monitoring perilaku bermasalah) untuk menyelesaikan antara sesi terapi.
- Terus menerapkan perilaku baru setelah pengobatan resmi telah berakhir.
- Peran Konselor
Pada umumnya konselor yang mempunyai orientasi behavioral bersikap aktif dalam
proses konseling. Konseli belajar menghilangkan atau belajar kembali bertingkah
laku tertentu. Dalam proses ini, konselor berfungsi sebagai konsultan, guru,
pemberi dukungan dan fasilitator. Ia bisa juga memberi instruksi atau
mensupervisi orang-orang pendukung yang ada di lingkungan konseli yang membantu
dalam proses perubahan tersebut. Konselor behavioral yang efektif beroperasi
dengan perspektif yang luas dan terlibat dengan konseli dalam setiap fase
konseling (Gladding, 2004).
Sikap yang dimiliki oleh konselor behavior ialah menerima, dan mencoba memahami
apa yang dikemukakan konseli tanpa menilai atau mengkritiknya. Dalam proses
terapi, konselor berperan sebagai guru atau mentor. Tugas utama terapis adalah
untuk melakukan tindak lanjut penilaian untuk melihat apakah perubahan yang tahan
lama dari waktu ke waktu
Fungsi dan tugas konselor juga dijelaskan untuk mengaplikasikan
prinsip dari mempelajari manusia untuk memberi fasilitas pada
penggantian perilaku maladaptif dengan perilaku yang lebih adaptif.
Kemudian menyediakan sarana untuk mencapai sasaran konseli, dengan
membebaskan seseorang dari perilaku yang mengganggu
kehidupan yang efektif sesuai dengan nilai demokrasi tentang hak individu
untuk bebas mengejar sasaran yang dikehendaki sepanjang sasaran itu
sesuai dengan kebaikan masyarakat secara umum.
Lebih rincinya peranan seorang konselor dalam proses konseling kelompok ini,
antara lain adalah :
- Konselor berperan sebagai guru, pengarah, dan ahli dalam mendiagnosis tingkah laku yang ditunjukan oleh konseli.
- Konselor harus menerima dan memahami konseli tanpa mengadili atau mengkritik.
- Konselor juga harus dapat membuat suasana yang hangat, empatik dan memberikan kebebasan bagi konseli untuk mengekspresikan diri.
- Memberikan informasi dan menjelaskan proses yang dibutuhkan anggota untuk melakukan perubahan.
- Konselor harus memberikan reinforcement.
- Mendorong konseli untuk mentransfer tingkah lakunya dalam kehidupan nyata.
- Peran Konseli
Keberadaan konseli dalam konseling kelompok khususnya behavioral tidak harus
berasal dari konseli yang mempunyai permasalahan yang sama. Setiap anggota
kelompok diberikan kesempatan untuk menanggapi persoalan yang sedang dihadapi
oleh salah seorang anggota kelompok. Di sini, ada semacam sharing
pendapat di antara teman sebaya dalam memecahkan sebuah persoalan.
Terapi behavior memiliki prosedur kerja yang jelas, sehingga konselor dan
konseli memiliki peran yang jelas. Ini berarti untuk mencapai tujuan terapi
sangat dibutuhkan kerjasama yang baik antara konselor dan konseli. Adapun
sikap, peran dan tugas konseli dalam proses terapi ialah meliputi :
- Memiliki motivasi untuk berubah
- Kesadaran dan partisipasi konseli dalam proses terapi, baik selama sesi terapi maupun dalam kehidupan sehari-hari
- Klien terlibat dalam latihan perilaku baru dan umumnya menerima pekerjaan rumah yang aktif (seperti self-monitoring perilaku bermasalah) untuk menyelesaikan antara sesi terapi.
- Terus menerapkan perilaku baru setelah pengobatan resmi telah berakhir.
Adapun peranan atau hak seorang konseli dalam proses konseling kelompok
behavioral, antara lain adalah :
- Setiap anggota mengemukakan masalahnya secara khusus, meneliti variabel eksternal dan internal yang mungkin menstimulasi dan menguatkan perilakunya dan lebih lanjut membuat pernyataan perilaku baru yang diharapkan.
- Konseli dituntut memiliki kesadaran dan berpartisipasi dalam terapeutik.
- Konseli berani menanggung resiko atas perubahan yang ingin dicapai.
Dalam
kegiatan konseling, konselor memegang peranan aktif dan langsung. Hal ini
bertujuan agar konselor dapat menggunakan pengetahuan ilmiah untuk menemukan
masalah-masalah konseli sehingga diharapkan kepada perubahan perilaku yang
baru. Sistem dan prosedur konseling behavioral sangat terdefinisikan, juga demikian
pula peranan yang jelas dari konselor dan konseli.
Konseli
harus mampu berpartisipasi dalam kegiatan konseling, ia harus memiliki motivasi
untuk berubah, harus bersedia bekerjasama dalam melakukan aktivitas konseling,
baik ketika berlangsung konseling maupun diluar konseling.Dalam hubungan
konselor dengan konseli ada beberapa hal yang harus dilakukan, yaitu :
- Konselor memahami dan menerima konseli.
- Antara konselor dan konseli saling bekerjasama dalam satu kelompok.
- Konselor memberikan bantuan dalam arah yang diinginkan konseli.
- Teknik Konseling Behavioral
Teknik-teknik konseling yang bisa dan biasa digunakan dalam Konseling
behavioral adalah :
- Latihan Asertif (Assertive training)
Latihan asertif merupakan latihan mempertahankan
diri akibat perlakuan orang lain yang menimbulkan kecemasan. Klien yang
menunjukkan rasa cemas, diberi tahu bahwa dirinya mempunyai hak untuk
mempertahankan diri.Ia silatih untuk memelihara harga dirinya dengan berulang
kali diberi latihan mempertahankan diri. Lathian seperti ini memungkinkan klien
dapat mengendalikan lingkungannya. Apabila rangsangan dari lingkungan tersebut
terlalu kuat sehingga berat untuk mengendalikannya dapat dilakukan dengan
desensitisasi.
Menurut
Corey, (2011:213) latihan asertif akan membantu bagi orang-orang yang (1) tidak
mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung, (2) menunjukkan
kesopanan berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya (3)
memiliki kesulitan untuk mengatakan “tidak” (4) mengalami kesulitan untuk
mengungkapkan afeksi dan respons-repons positif lainnya (5) merasa tidak punya
hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri.
Latihan
asertif menggunakan prosedur-prosedur permainan peran. Suatu masalah yang khas
yang bisa dikemukakan sebagai contoh adalah kesulitan klien dalam menghadapi
atasannya di kantor. Terapi kelompok latihan asertif pada dasarnya merupakan
penerapan latihan tingkah laku pada kelompok dengan sasaran membantu
individu-individu dalam mengembangkan cara-cara berhubungan yang lebih langsung
dalam situasi-situasi interpersonal.Fokusnya adalah memprakterkan melalui
permainan peran, kecakapan-kecakapan bergaul yang baru diperoleh sehinggal
individu-individu diharapkan mampu mengatasi ketakmemadainya dan belajar
bagaimana mengungkapkan perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran mereka secara
lebih luas dan terbuka disertai keyakinan bahwa mereka berhak untuk menunjukkan
reaksi-reaksi yang terbuka. (Corey, 2010: 215)
Sehingga
dapat disimpulkan untuk latihan asertif ini lebih membentuk tingkah laku baru
dalam menghadapi hubungan dengan orang lain dan menghapus tingkah laku yang
lama yang memuat klien merasa cemas.
Contohnya,
seorang siswa yang takut kalau dimarahi gurunya, pertama-tama klien memainkan
peran sebagai gurunya dan konselor sebagai siswanya, lalu konselor meniru cara
siswa dalam berpikir dan cara menghadapi gurunya. Lalu antara keduanya saling
bertukar peran, konselor sebagai gurunya dengan arahan klien untuk menunjukkan
peran guru secara realistis, sambil konselor melatih dan mengarahkan klien
dalam menghadapi gurunya. Maka secara perlahan akan terbentuk tingkah laku baru
pada diri klien.
- Desensitisasi sistematis
Desensititasi berarti menenangkan ketegangan klien dengan jalan mengajri/melatih
klien untuk santai/rileks. Desensititasi sistematis merupakan teknik konseling
behavioral yang memfokuskan bantuan untuk menenangkan klien dari ketegangan
yang dialami dengan cara mengajarkan klien untuk rileks
Latihan rileks ini bisa dilakukan dalam lima atau enam sesi. Apabila klien
telah mampu melakukan rileks, klien dibantu untuk menyusun urutan stimulus yang
mencemaskan.Dalam hal ini, klien diminta secara bertahap membayangkan stimulus
mulai dari yang paling kurang menemaskan hingga yang paling mencemaskan; klien
dilatih untuk tetap rileks disaat mengahadapi stimulus yang mencemaskan itu.
Demikian seterusnya hingga ia dapat membayangkan stimulus itu tanpa adanya
kecemasan lagi. Jadi, dengan teknik ini dimaksudkan agar klien dapat mengganti
perasaan cemas terhadap stimulus tertentu dengan perasaan rileks terhadap
stimulus tertentu.
Menurut Gerald Corey dalam bukunya Konseling dan Psikoterapi hlm 210 bahwa
Desentisisasi sistematik adalah teknik yang cocok untuk menangani fobia-fobia,
tetapi keliru apabila menganggap teknik ini hanya bisa diterapkan pada
penanganan ketakutan-ketakutan. Desentisisasi sistematik bisa diterapkan secara
efektif pada berbagai situasi penghasil kecemasan, mencakup situasi
interpersonal, ketakutan menghadapi ujian, ketakutan-ketakutan yang
digeneralisasi.
Sehingga dapat disimpulkan teknik desentisisasi sistemik ini lebih membantu
klien dalam terapi penyembuhan kecemasan dalam diri klien yang lebih disebabkan
oleh fobia-fobia maupun ketakutan klien dengan mengajak klien untuk rileks
membayangkan hal-hal yang membuat takut dari hal yang paling mengerikan sampai
hal yang kurang mengerikan.
Contohnya, klien fobia dengan balon, selalu ketakutan kalau melihat balon, lalu
klien diajak rileks membayangkan bentuk balon, kecemasan ditingkatkan yaitu
dengan klien diajak melihat balon dari kejauhan, ditingkatkan lagi dengan
mengajak klien memegang balon disini kecemasan klien meningkat tajam sampai
akhirnya klien diajak untuk meletuskan balon disini tingkat kecemasan klien
sampai pada puncaknya dengan memberikan klien stimulus yang berupa motivasi,
musik atau air minum.
- Pengkondisian Aversi
Teknik
ini digunakan untuk menghilangkan kebiasaan buruk, dimaksudkan untuk
meningkatkan kepekaan klien agar mengganti respons pada stimulus yang disenangi
dengan kebalikan respons terhadap stimulus tersebut, dibarengi stimulus yang
merugikan atau tidak mengenakan dirinya.
Hal
ini dilakukan dengan cara menyajikan stimulus yang tidak menyenangkan (menyakitkan)
sehingga perilaku yang tidak dikehendaki tersebut terhambat kemunculannya.
Stimulus yang tidak menyenangkan disajikan tersebut diberikan secara bersamaan
dengan munculnya perilaku yang tidak dikehendaki kemunculannya. Pengkondisian
ini diharapkan terbentuk asosiasi antara perilaku yang tidak dikehendaki dengan
stimulus yang tidak menyenangkan.
Contoh,
untuk menyembuhkan pria homoseks. Kepada pria homoseks diperlihatkan foto pria
telanjang sambil mengalitkan setrum listrik pada kakinya yang tidak beralas.Dalam
terapi ini, setiap kali kepada klien diperlihatkan stimulus yang disenangi
(foto pria telanjang) diikuti dengan rasa sakit akibat di setrum listrik.Begitu
terus setiap melihat foto pria telanjang selalu dibarengi rasa sakit dan lama
kelamaan tidak tertarik lagi pada pria.
Teknik-
teknik pengkondisian aversi, yang telah digunakan secara luas untuk meredakan
gangguan-gangguan behavioral spesifik, melibatkan pengasosian tingkah laku yang
tidak diinginkan terhambat kemunculan.Stimulus-situmulus aversi biasanya berupa
hukuman dengan kejutan listrik atau pemberian ramua yang membuat mual.Kendali
aversi bisa melibatkan penarikan pemerkuat positif atau penggunaan berbagai
bentuk hukuman.
Contoh
pelaksanaan penarikan pemerkuat positif adalah mengabaikan ledakan kemarahan
anak guna menghapus kebiasaan mengungkapkan ledakan kemarahan pada si anak.Jika
perkuatan ditarik, tingkah laku yang tidak diharapkan cenderung berkurang
frekuensinya.
Contoh
penggunaan hukuman sebagai cara pengendalian adalah pemberian kejutan listrik
kepada anak autistik ketika tingkah laku spesifik yang tidak diinginkan muncul.
Butir yang penting adalah bahwa prosedur-prosedur aversif ialah menyajikan
cara-cara menahan respons-respons maladaptif dalam suatu periode sehingga
terdapat kesempatan untuk memperoleh tingkah laku alternatif yang adaptif dan
yang akan terbukti memperkuat dirinya (Corey, 2010:216-217)
Sehingga
dapat disimpulkan bahwa terapi aversif ini lebih membentuk tingkah laku baru
yang lebih spesifik yang adaptif dari yang semula maladaptif, atau tingkah laku
yang sesuai aturan.
- Pembentukan Tingkah laku Model
Teknik
ini dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku baru pada klien, dan
memperkuat tingkah laku yang sudah terbentuk. Dalam hal ini konselor
menunjukkan kepada klien tentang tingkah laku model, dapat menggunakan model
audio, model fisik, model hidup atau lainnya yang teramati dan dipahami jenis
tingkah laku yang hendak dicontoh. Tingkah laku yang berhasil dicontoh
memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran dapat berupa pujian sebagai
ganjaran sosial.
- Naskah dialog pelaksamaan konseling Behavioristik
Naskah
Dialog Behavioristik
- Tema : Phobia
- Ritme Cerita
- Pemeran : Nurmadita Sari sebagai konselor
Sofah Marwah sebagai konseli
Ade Peni Afifah sebagai sutradara
Enci Ranyu sebagai kameramen
Nur Khomisah sebagai editor
- Permasalahan : Sofah marwah memiliki phobia terhadap ulat yang berlebihan
- Latar : Tempat : Universitas Pancasakti Tegal
Waktu : Siang jam 11.00 WIB
- Attending
Konseli
: (Mengetuk pintu), “Assalamu’alaikum Wr. Wb.” Berjabat
tangan dengan konselor.
Konselor
: Wa’alaikum Salam, menghampiri klien dan mempersilahkan
duduk.
- Opening
Konseli :
(Duduk di kursi yang telah dipersiapkan) maaf bu, siang-iang
gini sudah mengganggu.
Konselor : Oh…, tidak
apa-apa mb sofah, oya bagaimana kabarnya mb ?
(senyum dan mulai percakapan).
Konseli :”
Alhamdulillah baik bu”.
Konselor : Syukurlah
kalau begitu, bagamana dengan kuliahnya?
Konseli :
Alhamdulillah lancar bu,
Konselor : Oya, ada yang
bisa ibu bantu.
- Acceptance
Konseli :Hmm…
gini bu, saya itu pobia dengan ulat, dan pobia
itu sangat mengganggu saya.
Konselor : Iya…ibu dapat
memahami perasaan mb sofah (sambil
mengangguhkan kepala).
Konseli : Iya
bu, bagaimana tidak mengganggu, saya terkadang di
bully oleh teman- teman saya, itu membuat saya ketakutan
bu.
Konselor : Konselor
mengangguk kepala dan memandangi konseli)
hmm…iya..iya..
- Restatement
Konseli
:Saya benar-benar merasa takut terhadap ulat bu. Yang hal
tersebut membuat saya sering dibully.
Konselor : Mba sofah
merasa takut.
- Reflection of feeling
Konseli
: Bu.. saya sudah berusaha mencoba agar tidak takut terhadap
ulat tapi tetap saja.
Konselor : Sepertinya
anda merasa kecewa terhadap usaha anda.
- Clarification
Konseli
: Dulu saya pernah kejatuhan ulat di pundaknya, muka ulat
tersebut menghadap ke muka.hal tersebut membuat saya
takut dan trauma hingga sekarang.
Konselor : Dengan kata
lain, anda takut karena pernah kejatuhan ulat.
- Paraphrashing
Konseli
: Hal ini membuat saya merasa takut dan trauma yang
berkepanjangan.
Konselor : “Tampaknya
anda merasa tertekan”
- Structuring
Konseli :
Saya sulit sekali menyesuaikan diri dengan teman-teman
yang membully saya.
Konselor : Anda kemari
untuk membahas masalah anda dengan saya.
Marilah kita manfaatkan waktu 45 menit itu dengan
sebaik-
baiknya, saya tidak dapat memberikan nasihat sebagaimana
yang anda minta. tetapi, marilah kita bicarakan masalah ini
bersama.
Konseli : Bu.
Saya sulit sekali untuk menghilangkan pobia ini, karena
pobia ini saya sering di bully oleh teman-teman, jadinya saya
terganggu.
Konselor : Dalam masalah
yang anda kemukakan tadi setidaknya ada 3
masalah yaitu pobia, di bully teman, dan terganggu.
Konseli : Bu,
bagaimana cara penanganannya agar pobia ini sembuh?
Konselor : Coba anda
tenangkan dulu, tarik nafas dan relaksasikan
pikiran anda.
Konseli :
(Diam) saya bingung bu harus bagaimana lagi.
Teknik
Konseling Thought Stopping
Konselor : Coba anda
tutup mata, bayangkan di depan anda ada sebuah
ulat. Kemudian katakan dalam hati “Saya tidak takut ulat”
berkali-kali (beberapa menit).
Konseli :
“(Diam dan membayangkan)”.
Konselor : Bagaimana
perasaanmu? Apakah lebih baik?
Konseli :
Saya masih merasa takut bu.
Konselor :Kalau begitu, ini
ada sebuah gambar. Coba anda lihat gambar
ini (sambil menunjukkan gambar ulat yang sebelumnya sudah
di browsing).
Konseli :
(Histeris)
Konselor : (mencoba
menenangkan klien)
Konseli :
(mulai tenang)
Konselor : Bagaimana mba
sofah apakah ingin berhenti sampai sini saja
atau di lanjut dilain hari?
Konseli :
Saya rasa cukup untuk hari ini dan diganti dilain hari saja
bagaimana bu?
Konselor : Iya saya bisa.
- Hari kedua
Konseli :
(Mengetuk pintu), “Assalamu’alaikum Wr. Wb.” Berjabat
tangan dengan konselor.
Konselor : Wa’alaikum
Salam, menghampiri klien dan mempersilahkan
duduk.
Konseli :
(Duduk di kursi yang telah dipersiapkan) maaf bu,
siang-
siang gini sudah mengganggu.
Konselor : Bagaimana mba sudah
siap untuk melanjutkan konseling?
Konseli : Ya
saya sudah siap bu
Konselor : Disini saya
akan menunjukan gambar ulat kembali, apakah
anda sudah siap?
Konseli : Iya
bu saya sudah siap
Konselor : (menunjukan
gambar ulat kepada konseli)
Konseli :
(histeris yang sudah mulai berkurang)
Konselor : coba anda pegang
foto ulat ini.
Konseli : (sudah
berani memegang gambar ulat)
Konselor : Anda untuk saat
ini sudah ada perubahan.
Saya
memiliki mainan ulat, apakah anda berani untuk
memegangnya?
Konseli :
(ekspresi ragu) baik saya akan mencoba bu
Konselor : Baik saya akan
mengambil mainan ulat dulu
Konseli : Silahkan
bu
Konselor : (menyodorkan
mainan ulat kepada konseli) coba anda sentuh
ulat ini
Konseli : (agak
ragu sambil menyentuh ulat secara perlahan-lahan)
Konselor : Coba anda tenang
dulu (sambil mengelus pundak klien).
Coba sekali
lagi anda coba untuk memegang ini
Konseli : Baiklah
Bu… (sambil memegang ulat dan berkurang
histerisnya)
Konselor : sejauh ini anda
sudah ada perubahan mengenai phobianya
dari melihat ulat sampai memegang ulat
Konseli : Terima
kasih bu sudah membuat saya untuk menghilangkan
phobia ulat
Konselor : Iya sama-sama bu.
Jangan sungkan-sungkan lagi ketika
meminta bantuan lagi.
Konseli :
(bersalaman dengan konselor dan meninggalkan ruang.
BAB
III
PENUTUP
- Saran
Demikianlah
makalah yang sederhana yang telah tersusun jika masih ada banyak kekurangan di
sana sini. Oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan makalah ini.
- Simpulan
Sejarah konseling behavioral bermula pada Ivan Sechenov (1829-1905), bapak
psikologi Rusia. Struktur hipotetiknya, dikembangkan sekitar 1863.
Konseling Behavioral pada mulanya disebut dengan Terapi Perilaku yang berasal
dari dua arah konsep yakni Pavlovian dari Ivan Pavlov dan Skinnerian dari B.F.
Skinner. Mula-mula terapi ini dikembangkan oleh Wolpe (1958) untuk
menanggulangi (treatment) neurosis. Tujuan terapi adalah untuk memodifikasi
koneksi-koneksi dan metode-metode Stimulus-Respon (S-R) sedapat mungkin.
Konseling behavioral dikenal juga dengan modifikasi perilaku yang dapat
diartikan sebagai tindakan yang bertujuan untuk mengubah perilaku
Dalam konsep behavioral, perilaku merupakan hasil belajar, sehinga dapat diubah
dengan manupulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi belajar. Pada dasarnya, proses
konseling merupakan suatu penataan proses atau pengalaman belajar untuk
membantu individu memngubah perilakunya agar dapat memecahkan masalah.
Tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan negatif
atau tingkah laku yang tidak tepat, yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan
tuntutan lingkungan. Tingkah laku yang salah hakikatnya terbentuk dari cara
belajar atau lingkungan yang salah.
Adapun tujuan khusus dari konseling behavioral adalah membantu klien menolong
diri sendiri, mengembalikan klien ke dalam masyarakat, meningkatkan
keterampilan sosial, memperbaiki tingkah laku yang menyimpang, membantu klien
mengembangkan sistem self management dan self control. Sehingga tujuan dari
konseling behavioral adalah membentuk perilaku baru yang adaptif melalui proses
belajar dan lingkungan.
Menurut Corey (2003: 205) menyatakan bahwa terapis tingkah laku harus memainkan
peran aktif dan direktif dalam pemberian treatment, yaitu terapis menerapkan
pengetahuan ilmiah pada pencarian pemecahan-pemecahan bagi masalah manusia,
para kliennya. Terapis tingkah laku secara khas berfungsi sebagai guru,
pengarah, ahli dalam mendiagnosis tingkahlaku yang maladatif dan dalam
menentukan prosedur-prosedur penyembuhan yang diharapkan mengarah pada tingkah
laku yang baru dan adjustive.
Teknik-teknik konseling yang bisa dan biasa digunakan dalam Konseling
behavioral adalah :
- Latihan Asertif (Assertive training)
- Desensitisasi sistematis
- Pengkondisian Aversi
Pendekatan dan Teknik Konseling Behavioral
A.
Konsep Dasar Konseling Behavioral
Manusia
adalah mahluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor dari
luar. Manusia memulai kehidupannya dengan memberikan reaksi terhadap
lingkungannya dan interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian
membentuk kepribadian. Tingkah laku seseorang ditentukan oleh banyak dan
macamnya penguatan yang diterima dalam situasi hidupnya. Tingkah laku
dipelajari ketika individu berinteraksi dengan lingkungan melalui hukum-hukum
belajar : (a) pembiasaan klasik; (b) pembiasaan operan; (c) peniruan. Tingkah
laku tertentu pada individu dipengaruhi oleh kepuasan dan ketidak puasan yang diperolehnya.
Manusia
bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar melainkan merupakan hasil belajar,
sehingga ia dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi
pembentukan tingkah laku.
Karakteristik
konseling behavioral adalah : (a) berfokus pada tingkah laku yang tampak dan
spesifik, (b) memerlukan kecermatan dalam perumusan tujuan konseling, (c)
mengembangkan prosedur perlakuan spesifik sesuai dengan masalah klien, dan (d)
penilaian yang obyektif terhadap tujuan konseling.
B.
Asumsi Tingkah Laku Bermasalah
- Tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan negatif atau tingkah laku yang tidak tepat, yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan.
- Tingkah laku yang salah hakikatnya terbentu dari cara belajar atau lingkungan yang salah.
- Manusia bermasalah itu mempunyai kecenderungan merespon tingkah laku negatif dari lingkungannya. Tingkah laku maladaptif terjadi juga karena kesalapahaman dalam menanggapi lingkungan dengan tepat.
- Seluruh tingkah laku manusia didapat dengan cara belajar dan juga tingkah laku tersebut dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar
C. Tujuan Konseling
Mengahapus/menghilangkan
tingkah laku maldaptif (masalah) untukdigantikan dengan tingkah laku baru yaitu
tingkah laku adaptif yang diinginkan klien.
Tujuan
yang sifatnya umum harus dijabarkan ke dalam perilaku yang spesifik : (a)
diinginkan oleh klien; (b) konselor mampu dan bersedia membantu mencapai tujuan
tersebut; (c) klien dapat mencapai tujuan tersebut; (d) dirumuskan secara
spesifik
Konselor
dan klien bersama-sama (bekerja sama) menetapkan/merumuskan tujuan-tujuan
khusus konseling.
D. Deskripsi Proses Konseling Behavioral
Proses
konseling adalah proses belajar, konselor membantu terjadinya proses belajar
tersebut.
Konselor
aktif :
- Merumuskan masalah yang dialami klien dan menetapkan apakah konselor dapat membantu pemecahannya atu tidak
- Konselor memegang sebagian besar tanggung jawab atas kegiatan konseling, khususnya tentang teknik-teknik yang digunakan dalam konseling
- Konselor mengontrol proses konseling dan bertanggung jawab atas hasil-hasilnya.
E.
Deskripsi langkah-langkah konseling Behavioral :
- Assesment, langkah awal yang bertujuan untuk mengeksplorasi dinamika perkembangan klien (untuk mengungkapkan kesuksesan dan kegagalannya, kekuatan dan kelemahannya, pola hubungan interpersonal, tingkah laku penyesuaian, dan area masalahnya) Konselor mendorong klien untuk mengemukakan keadaan yang benar-benar dialaminya pada waktu itu. Assesment diperlukan untuk mengidentifikasi motode atau teknik mana yang akan dipilih sesuai dengan tingkah laku yang ingin diubah.
- Goal setting, yaitu langkah untuk merumuskan tujuan konseling. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari langkah assessment konselor dan klien menyusun dan merumuskan tujuan yang ingin dicapai dalam konseling. Perumusan tujuan konseling dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : (a) Konselor dan klien mendifinisikan masalah yang dihadapi klien; (b) Klien mengkhususkan perubahan positif yang dikehendaki sebagai hasil konseling; (c) Konselor dan klien mendiskusikan tujuan yang telah ditetapkan klien : (a) apakah merupakan tujuan yang benar-benar dimiliki dan diinginkan klien; (b) apakah tujuan itu realistik; (c) kemungkinan manfaatnya; dan (d)k emungkinan kerugiannya; (e) Konselor dan klien membuat keputusan apakahmelanjutkan konseling dengan menetapkan teknik yang akan dilaksanakan, mempertimbangkan kembali tujuan yang akan dicapai, atau melakukan referal.
- Technique implementation, yaitu menentukan dan melaksanakan teknik konseling yang digunakan untuk mencapai tingkah laku yang diinginkan yang menjadi tujuan konseling.
- Evaluation termination, yaitu melakukan kegiatan penilaian apakah kegiatan konseling yang telah dilaksanakan mengarah dan mencapai hasil sesuai dengan tujuan konseling.
- Feedback, yaitu memberikan dan menganalisis umpan balik untuk memperbaiki dan meingkatkan proses konseling.
Teknik
konseling behavioral didasarkan pada penghapusan respon yang telah dipelajari
(yang membentuk tingkah laku bermasalah) terhadap perangsang, dengan demikian
respon-respon yang baru (sebagai tujuan konseling) akan dapat dibentuk.
F.
Prinsip Kerja Teknik Konseling Behavioral
- Memodifikasi tingkah laku melalui pemberian penguatan. Agar klien terdorong untuk merubah tingkah lakunya penguatan tersebut hendaknya mempunyai daya yang cukup kuat dan dilaksanakan secara sistematis dan nyata-nyata ditampilkan melalui tingkah laku klien.
- Mengurangi frekuensi berlangsungnya tingkah laku yang tidak diinginkan.
- Memberikan penguatan terhadap suatu respon yang akan mengakibatkan terhambatnya kemunculan tingkah laku yang tidak diinginkan.
- Mengkondisikan pengubahan tingkah laku melalui pemberian contoh atau model (film, tape recorder, atau contoh nyata langsung).
- Merencanakan prosedur pemberian penguatan terhadap tingkah laku yang diinginkan dengan sistem kontrak. Penguatannya dapat berbentuk ganjaran yang berbentuk materi maupun keuntungan sosial.
G.
Teknik-teknik Konseling Behavioral
1.
Latihan Asertif
Teknik
ini dugunakan untuk melatih klien yang mengalami kesulitan untuk menyatakan
diri bahwa tindakannya adalah layak atau benar. Latihan ini terutama berguna di
antaranya untuk membantu individu yang tidak mampu mengungkapkan perasaan
tersinggung, kesulitan menyatakan tidak, mengungkapkan afeksi dan respon
posistif lainnya. Cara yang digunakan adalah dengan permainan peran dengan
bimbingan konselor. Diskusi-diskusi kelompok juga dapat diterapkan dalam
latihan asertif ini.
2.
Desensitisasi Sistematis
Desensitisasi
sistematis merupakan teknik konseling behavioral yang memfokukskan bantuan
untuk menenangkan klien dari ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan
klien untuk rileks. Esensi teknik ini adalah menghilangkan tingkah laku yang
diperkuat secara negatif dan menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah
laku yang akan dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik respon-respon yang
tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap. Jadi desensitisasi
sistematis hakikatnya merupakan teknik relaksi yang digunakan untuk menghapus
tingkah laku yang diperkuat secara negatif biasanya merupakan kecemasan, dan ia
menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan.
3.
Pengkondisian Aversi
Teknik
ini dapat digunakan untuk menghilangkan kebiasaan buruk. Teknik ini dimaksudkan
untuk meningkatkan kepekaan klien agar mengamati respon pada stimulus yang
disenanginya dengan kebalikan stimulus tersebut.
Stimulus
yang tidak menyenangkan yang disajikan tersebut diberikan secara bersamaan
dengan munculnya tingkah laku yang tidak dikehendaki kemunculannya.
Pengkondisian ini diharapkan terbentuk asosiasi antara tingkah laku yang tidak
dikehendaki dengan stimulus yang tidak menyenangkan.
4.
Pembentukan Tingkah laku Model
Teknik
ini dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku baru pada klien, dan
memperkuat tingkah laku yang sudah terbentuk. Dalam hal ini konselor
menunjukkan kepada klien tentang tingkah laku model, dapat menggunakan model
audio, model fisik, model hidup atau lainnya yang teramati dan dipahami jenis
tingkah laku yang hendak dicontoh. Tingkah laku yang berhasil dicontoh
memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran dapat berupa pujian sebagai
ganjaran social
KONSELING BEHAVIORAL (SKINNER)
Hakekat Manusia
- Manusia adalah makhluk reaktif yan g tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor dari luar.
- Perubahan yang terjadi dalam diri manusia adalah sebagai indikasi adanya proses belajar.
- Manusia tidak ada dan tetap tidak akan ada kebebasan memilih, yang ada adalah hukum perangsang dan gambaran terhadap rangsangan tersebut(the laws of stimulus and response)
- Tingkah laku dipelajari ketika individu berinteraksi dengan lingkungan, melalui hukum-hukum belajar : pembiasaan klasik, pembiasaan operean dan peniruan.
Teori Perkembangan
Kepribadian
Behaviorisme mengikuti
metode eksperimen. Perhatian mereka hanya tertuju terhadap prilaku yang dapat
diamati secara ilmiah, hassil yang dapat diukur itulah yang diperhitungkan atau
yang menjadi fokus perhatian. Contoh anak kecil menangis karena lapar. Kaum
behavioralisme mengutamakan untuk mengubah perilaku bayi tersebut untuk tidak
menangis, bukan laparnya.
Selanjutnya perkembangan
kepribadian didasari atas tiga prinsip belajar yaitu:
Berikut perbandingan
antara Clasical or respondent dan Oprent conditioning
|
|
Konsep-konsep Penting dalam Behaviorisme
Reinforcement
- Reinforcement merupakan konsep dasar dalam perubahan prilaku aliran behavioral. Reinforcement ada bersifat positif dan negatif. Reinforcement negatif hanya memberitahu apa yang salah bukan apa yang benar. Contoh anak kecil ngompol di tempat tidur,lalu orang tua memarahi. Gunakanlah penguat negatif untuk menghentikan berlangsungnya prilaku yang tidak dikehendaki. Reinforcement positif, bertujuan untuk meneruskan/meningkatkan perilaku yang diinginkan. ketika anak menampilkan prilaku yang dikehendaki, lalu orang tua memberi hadiah.
- Dalam pemberian reinforcement ada yang bersifat ratio dan interval
- Proses perkembangan behavioral terdiri dari Extinction, generalization, discrimination and shaping.
- Extinction adalah perubahan prilaku yang awalnya tidak senang, laman kelamaan menjadi senang, Ex awalnya anak takut pada ayahnya, kemudian berangsur hilang . Hilangnya rasa takut pada ayah itulah yang disebut proses extintion.
- Generalization adalah prilaku tidak senang pada orang yang mirip dengan orang yang tidak disenanginya. Misal, takut pada ayah, juga takut pada polisi, guru dll.
- Diskriminasi adalah prilaku yang awalnya tidak senang, tapi tetap berusaha mengenali lebih dekat lagi, sehingga perasaan yang awalnya tidak senang berubah sedikit demi sedikit menyenangi.
Teori Kepribadian
Perbedaan antara tingkah
laku normal dan salah suai tidak terletak pada bagaimana tingkah laku-tingkah
laku itu dipelajari,melainkan pada tingkat kesesuaiannya terhadap tuntutan
lingkungan. Tingkat kesesuaian ini akan menentukan apakah individu tidak lagi
mendapat kepuasan dengan tingkah lakunya itu, dan ataukah akan timbul konflik
antara individu dan lingkungan.
Tujuan Konseling
Tujuan konseling harus
dinyatakan dalam bentuk dan istilah-istilah khusus, melalui:
- Problem Defenition. Ini penting sebagai inisial stetement, yang dianalis meliputi kapan, dimana, dan bagaimana serta sama siapa terjadinya pemampilan prilaku tersebut.
- Developmental and Social History, untuk mengungkapkan kesuksesan/kegagalan, kekuatan/kelemahan, pola hubungan interpersonal, dll
- Merumuskan tujuan-tujuan khusus
- Menentukan metode untuk mencapai perubahan tingkah laku
Teknik Konseling
- Teknik konseling behavioral didasarkan pada penghapusan respon yang telah dipelajari (yang membentuk pola tingkah laku) terhadap perangsang, dengan demikian respon-respon yang baru akan dapat dibentuk.
- Teknik Umum:
- Shaping: memodifikassi tingkah laku melalui pemberian penguatan.
- Extinction: mengurangi frekuensi berlangsungnya tingkah laku yang tidak diingini
- Reinforcing uncompatible behaviors: memberikan penguatan terhadap suatu respon yang akan mengakibatkan terhambatnya kemunculan tingkah laku yang tidak diingini.
- imitative learning: memberikan contoh atau model melalui film, tape recorder, contoh langsung,dll
- Contracting: merencanakan prosedur pemberian penguatan terhadap tingkah laku yang diharapkan
- Cognitive learning: memberikan penjelasan lisan tentang berbagai hal.
- Covert reinforcement: memberikan penguatan dengan jalan membayangkan hal-hal yang berhubungan dengan tingkah laku yang menjadi objek konseling.
MOZAIK BIMBINGAN KONSELING
BAHAGIA BERKARYA DALAM BIMBINGAN KONSELING your mind in my
mind is the power of my life
Kamis, 25 April 2013
jurnal kuliah : TEORI KONSELING BEHAVIOR (makalah)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Terapi tingkah
laku adalah penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berakar pada
berbagai teori tntang belajar, ia menyatakan penerapan yang sistematis
prinsip-prisip belajar pada pengubahan tingkah laku kearah cara-cara yang lebih
adaltif. Pendekatan ini telah memberikan sumbangan yang berarti baik kepada
bidang-bidang klinis maupun pendidikan.
Berlandaskan teori belajar, modifikasi tingkah laku dan penerapan terapi
tingkah laku adalah pendekatan-pendekatan terhadap konseling dan psikoterapi
yang berurusan dengan pengubahan tingkah laku, penting dicatat bahwa tidak ada
teori tunggal tentang belajar, yang mendominasi pratek terapi tingkah laku.
Sejumlaj teori belajar yang beragam memberikan andil terhadap pendekatan
terapeutik umum yang satu ini, ketimbang memandang terapi tunggal, lebih tepat
menggapnya sebai terapi-terapi tingkah laku yang mencangkup berbagai prinsip
dan metode yang belun dipadukan ke dalam suatu sistem yang dipersatukan.
Perkembangan-perkembangan terapi tingkah laku ditandi oleh satu
pertumbuhan yang fenomenal sejak akhir 1950-an, pada awal
1960-an,laporan-laporan tentang penggunaan teknik inisekali-sekali muncul dalam
kepustakaan profesinal. Kini modifikasi tingkah laku dan terapi ingkah
laku menduduki tempat yang penting dalam lapangan psikoterapi dan dalam banyak
area pendidikan. Kepustakaan profesional, baik berupa berkala maupun
berupa buku, membuktikan peningkatan popularitas pendekatan ini. Peningkatan
pengaruh terapi tingkah laku, juga dimanifestasikan dalam sejumlah besar
departement, psikologi yang melaksanakan psikologi klinis dan konseling dalam
metode-metode behavioral. Dewasa ini banyak program latihan yang dengan jelas
menitik beratkan terapi behavioral. Salah satu aspek paling penting dari
gerakan modifikasi terapi tingkah laku atau behavior adalah penekanannya
pada tingkah laku yang bisa didefinisikan secara operasional diamati dan
diukur. Tingkah laku bukan konstruk-konstruk yang tak bisa diukur yang
vital bagi pendekatan-pendekatan psikodinamik adalah fokus perhatian
terapeutik. Para tokoh terapi tingkah laku telah menyajikan suatu ubahan
tingkah laku, sebagai kriteria yang spesifik memberikan kemungkinan bagi evaluasi
langsung atas keberhasilan kerja dan kecepatan bergerak kearah tujuan-tujuan
terapeutik yang bisa dispesifikan dengan jelas. Bahwa pertumbuhan terapi
tingkah laku, ditunjukan oleh banyaknya penelitian yang dilaksanakan adalah
ciri lain dari gerakan ini. Prosedur-prosedur secara berkesinambungan
diperbaharui disebabkan karena adanya koitmen untuk menjadikan prosedur itu
sebagai sasaran pengujian yang ketat guna menentukan sejauh mana
prosedur-prosedur tersebut bisa bekerja dengan baik. Karena terapi tingkah laku
bersandar pada hasil-hasil eksperiment, tentang pernyataan-pernyataan
teoritisnya. Konsep-konsep utama terapi tingkah laku erus diperkuat dan di
kembangkan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang disampaiakan di atas, maka kami dapat merumuskan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah
konsep-konsep utama teori behavior atau tingkah laku terhadap manusia ?
2. Adakah
ciri-ciri unik dalam teori behavior atau tingkah laku ?
3. Bagaimanakah
tujuan terapeutik dari teori behavior atau tingkah laku ?
4. Apakah
fungsi dan peran terapis dalam teori behavior atau tingkah laku ?
5. Bagaiamanakah
pengalaman konseli dalam konseling penerapan teori behavior atau tingkah laku ?
6. Bagaiamanakah
hubungan antara konselor dengan konseli dalam teori behavior atau tingkah laku
?
7. Apasajakah
teknik-teknik dan prosedur-prosedur terapeutik dalam teori behavior atau teori
tingkah laku ?
1.3 Tujuan Penulisan
Sebagaimana
rumusan masalah yang telah disampaikan diatas maka tujuan dari penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk
mengetahui konsep-konsep utama serta pandangan teori behavior atau tingkah laku
terhadap manusia ?
2. Untuk
mengetahui ciri-ciri unik dalam teori behavior atau tingkah laku ?
3. Untuk
mengetahui tujuan terapeutik dari teori behavior atau tingkah laku ?
4. Untuk
mengetahui fungsi dan peran terapis dalam teori behavior atau tingkah laku ?
5. Untuk
mengetahui bagaiamanakah pengalaman konseli dalam konseling penerapan teori
behavior atau tingkah laku ?
6. Untuk
mengetahui hubungan antara konselor dengan konseli dalam teori behavior atau
tingkah laku ?
7. Untuk
mengetahui teknik-teknik dan prosedur-prosedur terapeutik dalam teori behavior
atau teori tingkah laku ?
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari
pembuatan makalah ini adalah :
1. Setelah makalah ini disusun, diharapkan dapat
bermanfaat nantinya dan digunakan sebagai masukan oleh dosen dan juga
mahasiswa.
2. Agar dapat memberikan informasi ataupun
pengetahuan tentang teori konseling behavior atau tingkah laku.
3. Sebagai acuan dalam penyusunan makalah
selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Konsep-Konsep Utama Teori Behavior atau Tingkah Laku
Terapi tingkah
laku atau behavioristik ini merupakan penerapan aneka ragam teknik dan prosedur
yang berakar pada berbagai teori tentang belajar. Teori belajar behavioristik
adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner
tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman
dan kematangan.
Teori
ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap
arah pengembangan teori dan praktik pendidikan
dan pembelajaran
yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada
terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori
behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang
yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan
menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan
semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.Belajar merupakan
akibat adanya interaksi
antara stimulus
dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika
dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar
yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon.
Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon
berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh
guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting
untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang
dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan
oleh guru (stimulus)
dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur.
Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting
untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor
lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan
(reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka
respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan
(negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.Beberapa prinsip dalam
teori belajar behavioristik, meliputi: (1)
Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3)
Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in
Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh
aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan
dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta
peranannya dalam pembelajaran.
Teori Belajar
Menurut THOMDIKE
Menurut
Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus
adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran,
perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan
respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat
pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah
laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati,
atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme
sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara
mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut
pula dengan teori koneksionisme
(Slavin, 2000).Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1)
hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991).
Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon
Teori Belajar Menurut Watson
Watson
mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon,
namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan
dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental
dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor
tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat
diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang
belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang
sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat
diamati dan diukur.
Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark
Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk
menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi
Charles
Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku
bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh
sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan
biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam
seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam
belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon
yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku
juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis
(Bell, Gredler, 1991).
Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Azas
belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan
stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali
cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie
juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan
terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang
dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat
terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak
hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara
stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta
didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan
respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment)
memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat
yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran
utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon
secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari.
Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan
oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
Teori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep
yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh
sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner
hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan
lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah
sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon
yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang
diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan
memengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki
konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya
memengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami
tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus
yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan
berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga
mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat
untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab
setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Jadi konsep dasar teori behavioristik ini adalah tentang perubahan
tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.
Tetapi tidak semua perubahan tingkah laku itu krnena belajar. Ada juga
perubahan tingkah laku karena kemtangan. Kematangan itu terjadi seiring
jalannya usia individu, karena itulah terjadilah kematangan.
2.2 Ciri-ciri
Unik Teori Behavior atau Teori tingkah laku
Terapi tingkah laku,berbeda dngan sebagian besar pendekatan terapi
lainnya,ditandai oleh: (a) Pemusatan perhatian kepada tingkah laku yg tampak
dan spesifik, (b) kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment, (c)
perumusan prosedur treatment yg spesifik yg sesuai dengan masalah dan (d)
penaksiran objektif atas hasil-hasil terapi.
Terapi tingkah laku tidak berlandaskan konsep yg sistematik,juga tidak berakar
pada suatu teori yang dikembangkan dengan baik. Sekalipun memiliki banyak
teknik,terapi tingkah laku hanya memiliki sedikit konsep. Ia adalah suatu
pendekatan induktif yg berlandaskan eksperimen-eksperimen,dan menerapkan metode
eksperimental pada proses terapiutik. Pertanyaan terapis boleh jadi, “Tingkah
laku spesifik apa yg oleh individu ini ingin diubah, dan tingkah laku baru yg
bagaimana yg ingin dipelajarinya?” kekhususan ini membutuhkan suatu pengamatan
yg cermat atas tingkah laku klien. Penjabaran-penjabaran yg kabur dan umum
tidak bisa diterima ,tingkah laku yg oleh klien di inginkan berubah dispesifikasi.
Yang juga penting adalah kondisi-kondisi yg menjadi penyebab timbulnya tingkah
laku masalah diidentifikasi sehingga kondisi-kondisi baru bisa diciptakan guna
memodifikasi tingkah laku. Urusan terapiutik utama adalah mengisolasi tingkah
laku masalah, dan kemudian menciptakan cara-cara untuk mengubahnya.
Pada dasarnya
terapi tingkah laku diarahkan pada tujuan-tujuan memperoleh tingkah laku baru ,
penghapusan tingkah laku yg maladaktif,serta memperkuat dan mempertahankan
tingkah laku yg diinginkan. Pernyataan yg tepat tentang tujuan-tujuan treatment
dispesifikasi,sedangkan pernyataan yg umum tentang tujuan ditolak. Klien
diminta untuk menyatakan dengan cara-cara yg kongkret jenis-jenis tingkah laku
masalah yang dia ingin mengubahnya. Setelah mengembangkan pernyataan yg tepat
tentang tujuan-tujuan treatment,terapis harus memilih prosedur-prosedur yang
paling sesuai untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Berbagai teknik tersedia,yg
keefektifannya bervariasi dalam menangani masalah-masalah tertentu. Misalnya,
teknik-teknik aversitampaknya paling berguna sebagai cara-cara untuk
mengembangkan kendali dorongan, orang yg mengalami hambatan dalam menampilkan
diri dan dalam bergaul bisa mengambil manfaat dari latihan asertif,pengulangan
tingkah laku berguna untuk memperkuat tingkah laku yg baru diperoleh
,desensitisasi tampaknya paling berguna dalam penanganan fobia-fobia
,percontohan yg digabungkan dengan perkuatan positif tampak cocok bagi
perolehan tingkah laku social yg kompleks.
Karena
tingkah laku yg dituju dispesifikasi dengan jelas,tujuan-tujuan treatment
dirinci, dan metode-metode terapiutik diterangkan,maka hasil-hasil terapi bisa
dievaluasi. Terapi tingkah laku memasukkan kriteria didefinisikan dengan baik
bagi perbaikan atau penyembuhan. Karena terapi tingkah laku menekankan evaluasi
tentang keevektifan teknik-teknik yg digunakan maka evaluasi dan perbaikan yg
berkesinambungan atas prosedur-prosedur treatment menandai proses terapeutik.
Pengondisian klasik versus
pengondisian operan
Dua
aliran utama membentuk esensi metode-metode dan teknik-teknik
pendekatan-pendekatan terapi yg berlandaskan teori belajar,pengkondisian klasik
dan pengkondisian operan.pada dasarnya pengondisian klasik itu melibatkan
stimulus tak berkondisi (UCS) yg secara otomatis membangkitkan respons
berkondisi (CR), yang sama dengan respons tak berkondisi (UCR) apabila
diasosiasikan dengan stimulus tak berkondisi. Jika UCS dipasangkan dengan suatu
stimulus berkondisi (CS), lambat laun CS mengarahkan kemunculan CR.dalam contoh
UCS (makanan kucing) membangkitkan UCR, pengeluaran air liur kucing. Pembukaan
kaleng makanan dengan membangkitkan CR,pengeluaran air liur kucing.
Baik karya
Satler maupun karya Wolpe sebagian besar berasal dari pengkondisian klasik.
Teknik-teknik yg spesifik seperti desensitisasi sistematik dan terapi aversi
berlandaskan pengondisian klasik. Teknik-teknik tersebut akan dijabarkan dalam
pembahasan tentang penerapan teknik-teknik dan prosedur-prosedur.pengondisian
operan,satu aliran utama lainnya dari pendekatan terapi yg berlandaskan teori
belajar,melibatkan pemberian ganjaran kepada individu atas pemunculan
tingkahlakunya (yang diharapkan) pada saat tingkah laku itu muncul.
Pengondisian operan ini dikenal juga dengan sebutan pengondisian instrumental
karena memperlihatkan bahwa tingkah laku instrumental bisa dimunculkan oleh
organisme yg aktif sebelum perkuatan diberikan untuk tingkah laku tersebut.
Skinner, yg dianggap sebagai pencetus gagasan pengkondisian operan,telah
mengembangkan prinsip-prinsip perkuatan yg digunakan pada upaya memperoleh
pola-pola tingkah laku tertentu yang dipelajari.
Banyak teknik
dan prosedur modifikasi tingkah laku yang berasal dari model pengondisian
operan. Contoh-contoh prosedur yg spesifik yang berasal dari pengondisian
operan adalah perkuatan positif, penghapusan, hukuman, pencontohan, dan
penggunaan token economy.
2.3
Tujuan-Tujuan Terapeutik Teori Behavior Atau Tingkah Laku
Tujuan-tujuan
konseling dan psikoterapi menduduki suatu tempat yang amat penting dalam terapi
tingkah laku. Klien menyeleksi tujuan-tujuan terapi yang secara spesifik
ditentukan pada permulan proses terapeutik. Penaksiran yang terus-menerus
dilakukan sepanjang terapi untuk menentukan sejauh mana tujuan-tujuan
terapeutik itu secara efektif tercapai.
Tujuan umum terapi tingkah laku adaiah menciptakan kondisi-kondisi baru bagi
proses belajar. Dasar alasanya ialah bahwa segenap tingkah laku adalah
dipelajari (learned), termasu tingkah laku yang maladaktif. Jika tingkah laku
neurotik learned , maka ia bisa unlearned (dihapus dari ingatan). Dan
tingkah laku yang lebih efektif bisa diperoleh. Terapi tingkah laku pada
hakekatnya terdiri atas proses penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif dan
pemberian pengalaman-pengalaman belajar yang didalamnya respons-respons yang
layak yang belum dipelajari.
Ada beberapa kesalahpahaman yang menyangkut masalah-masalah tentang
tujuan-tujuan masalah tentang tujuan-tujuan dalam terapi tingkah laku. Salah
satu kesalahpahaman yang umum adalah bahwa tujuan terapi semata-mata
menghilangkan gejala-gejala suatu gangguan tingkah laku dan bahwa setelah
gejala-gejala itu terhapus, gejala-gejala baru akan muncul karena
penyebab-penyebab yang mendasarinya tidak ditangani. Hampir semua terapis
tingkah laku akan menolak anggapan yang menyebutkan bahwa pendekatan mereka
hanya menangani gejala-gejala, sebab mereka melihat terapis sebagai pemikul
tugas menghapus tingkah laku yang maladaptif dan membantu klien untuk
menggantikannya dengan tingkah laku yang lebih adjustive(dapat
disesuaikan) (ullman & krasner, 1965).
Kesalahapahaman umum lainnya adalah bahwa tujuan-tujuan klien ditentukan dan
dipaksakan oleh terapis tingkah laku. Tampaknya ada unsur kebenaran dalam
anggapan tersebut, terutama jika menyinggung beberapa situasi, misalnya situasi
dirumah sakit jiwa. Bagaimanapun, kecendrungan yang ada dalam terapi tingkah
laku modern bergerak ke arah pelibatan klien dalam menyeleksi tujuan-tujuan dan
memandang hubungan kerja yang baik antara terapis dan klien sebagai diperlukan
( meski dipandang belum cukup) guna memperjelas tujuan-tujuan terapeutik dan
bagi kerja yang kooperatif ke arah pencapaian tujuan-tujuan terapeutik
tersebut.
Jika para tokoh perintis terapi tingkah laku tampaknya menitik beratkan
kecakapan terapis dalam menetapkan tujuan-tujuan dan tingkah laku, para
pemraktek kontemporer memberikan penekanan pada keaktifan klien dalam memilih
tujuan tujuan dan pada keterlibatan aktif klien dalam proses terapi.
Mereka menjelaskan bahwa terapi tidak bisa dipaksakan kepada klien yang tidak
berkesediaan dan bahwa terapis dan klien perlu bekerja sama untuk mencapai
sasaran-sasaran bersama. Dalam membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan
praktek terapi tingkah laku yang mutakhir ini (1973) mengajukan komentar
sebagai berikut:
Tak pelak lagi proses terapi tingkah laku bukan pengondisian ulang yang
terang-terangan atas pasien. Terapis tidak bisa memaksakan pengondisian atau
belajar ulang kepada siapa pun, sebab teknik-teknik yang paling manjur pun akan
tidak berguna tanpa kerja sama dan motivasi pasen. Teknik-teknik terapeutik apa
pun yang digunakan harus ditetapkan dalam konteks suatu “hubungan kerja” antar
terapis dan pasien. Hubungan kerja adalah suatu hubungan di mana terapis dan
pasien bekerja sama ke arah tujuan yang telah di sepakati bersama. Jika ini
tidak dilakukan maka, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak , terapi akan menjadi
tidak efektif(h, 220). Tujuan-tujuan yang luas dan umum tidak dapat
diterima oleh para terapis tingkah laku. Cotohnya, seorang klien mendatangi
terapi dengan tujuan mengaktualkan diri. Tujuan umum semacam itu perlu
ditrjemahkan ke dalam perubahan tingkah laku yang spesifik yang diinginkan
klien serta dianalisis ke dalam tindakan-tindakan spesifik yang diharapkan oleh
klien sehingga baik terapis maupun klien mampu menaksir secara lebih kongkret
ke mana dan bagaimana merka bergerak. Misalny tujuan mengaktualkan diri bisa
dipecah ke dalam beberapa subtujuan yang lebih kongkret sebagai berikut: (1)
membantu klien untuk menjadi lebih asertif dan mengeksperesikan
pemikiran-pemikiran dan hasrat-hasratnya dalam situasi-situasi yang
membangkitkan tingkah laku asertif, (2) membantu klien dalam menghpus
ketakutan- ketakutan yang tidak realistis yang menghambat dirinya dari
ketrlibatan dalam peristiwa-peristiwa sosial, dan (3) konfik batin yang
menghambat klien dari pembuatan putusan-putusan yang penting bagi kehidupannya
.
Krumboltz dan thorensen ( dikutip dari Huber& Millman 1972) telah
mengembangkan tiga kriteria bagi perumusan tujuan yang bisa diterima
dalam konseling tingkahlaku: “(1) tujuan yang
dirumuskan haruslah tujuan yang diinginkan oleh klien, (2) konselor
harus bersedia membantu klien dalam mencapai tujuan, dan .(3) harus
terdapat kemungkinan untuk menaksir sejauh mana klien bisa mencapai
tujuannya “ (h , 347). Akan tetapi, bagai mana jika klien tidak bisa
mendefinisikan masalahnya dengan jelas dan hanya bisa menghadirkan
tujuan-tujuan yang sama? Krumboltz dan thorensen sepakat bahwa pada
umumnya klien tidak menjabarkan masalah-masalah dalam bahasa yang
sederhana dan jelas. Tugas terapis adalah mendengarkan kesulitan klien. Secara
aktif dan empatik. Terapis memantulkan kembali apa yang di pahaminya untuk
memastikan apakah persepsiny tentang pemikiran-pemikiran dan perasan-perasan
klien denar . lebih dari itu, terapis membantu klien menjabarkan
bagaimana dia akan bertindak di luar cara-cara yang di tempuh sebelumnya.
Dengan berpokus pada itngkah laku yang spesipik yang ada pada kehidupan
klien sekarang, terapis membantu klien menerjemahkan
kebingungan yang dialaminya ke dalam suatu tujuan kongkret yang mungkin untuk
dicapai.
2.4
Fungsi Dan Peran Konselor Dalam Teori Behavior Atau
Tingkah Laku
Terapis tingkah laku harus memainkan peran aktif dan direktif dalam pemberian
treatmen, yakni terapis menerapkan pengtahuan ilmiyah pada pencarian
pemecahan-pemecahan bagi masalah-masalah manusia, pada kliennya. Terapis
tingkah laku secara khas berfungsi sebagai guru, pengaruh, dan ahli dalam
mendiagnosis tingkah laku yang maladaptif dan dalm menentukan prosedur-prosedur
penyembuhan yang,diharapkan,mengarah pada tingkah laku yang baru dan adjustive.
Sebagai
hasil tinjauannya yang seksama atas kepustakaan psikoterapi, Krasner (1967)
mengajukan argumen bahawa peran seorang terapis dari aliansi teoritisnya,
sesungguhnya adalah “mesin perkuatan”. Apa pun yang dilakukannya terapis pada
dasarnya terlibat dalam pemberian perkuatan-perkuatan sosial baik yang positif
maupun yang negatif. Bahkan meskipun mempersiapkan dirinya sebagai pihak yang
netral sehubungn dengan pertimbangan-pertimbangan nilai, terapis membentuk
tingkah lakuklien, baik melalui cara langsung maupun tidak secara langsung.
Krasner (1967) menandakan bahwa “ terapis atau pemberi pengaruh adalah suatu
‘mesin pengkuatan’. Yang dengan kehadirannya memasok perkuatan yang
dilegenerarisasikan pada setiap kesempatan dalam situasi terapi, terlepas dari
tekhnik ataw keperibadian yang terlibat” (h,202) ia menyatakn bahwa tingkah
laku klien tunduk pada manifulasi yang halus pada tingkah laku terapis yang
memperkuat. Hal itu acap kali tanpa di sadari, baik oleh klien maupun oleh
terapis. Krasner (1967), dengan mengutif kepustakaan,menunjukkan bahwa peran
terapis adalah memanipulasi dan mengendalikan psikoterapi dengan pengetahuan
dan kecakapannya menggunakan teknik-teknik belajar dalam suatu situasi
perkuatan sosial. Krasner lebih lanjut mennyatakan bahwa, meskipun sebagian
besar terapis tidak senang dengan peran “pengendalian” atau “manipulator”
tingkah laku, istilah-istilah tersebut menerangkan secara cermat apa
sesungguhnya apa peran terapis itu. Ia mengutip bukti untuk menunjukkan bahwa,
atas dasar perannya, terapis “ memiliki kekuatan untuk mempengaruhi dan
mengendalikan tingkah laku dan nilai-nilai manusia lain. Ketidaksedian terapis
untuk menerima situasi ini dan trus menerus tidak menyadari efek-efek tingkah
lakunya atas para pasiennya itu pun tidak etis” (h, 204).
Goodstein (1972)
juga menyabut peran terapis sebagai pemberi perkuatan. Menurut Goodstein,
“peran konselor adalah menunjangf perkembangan tingkah laku yang secara sosial
layak dengan secara sistematis memperkuat jenis tingkah laku klieb semacam itu”
(h,274). Minat, perhatian, dan persetujuan (ketidak berminatan dan ketidak
setujuan) terapis adalah pemerkuat-pemerkuat yang hebat bagi tingkah laku
klien. Pemerkuat-pemerkuat tersebut bersifat interpersonal dan melibatkan
bahasa, baik verbal maupun nonverbal, serta acap kali tanpa disertai kesadaran
yang penuh dari terapi. Goodstain menyatakan bahwa peran mengendalikan tingkah
laku klien yang dimainkan oleh terapis melalui perkuatan menjangkau situasi di
luar konseling serta di masukkan ke dalam tingkah laku klien dalam dunia nyata:
“konselor mengajar respon-respon tertentu yang di laporkan telah di tampilkan
telah di tampilkan oleh klien dalam situasi-situasi khidupan nyata dan
menghukum, respon-respon yang lainnya. Ganjaran-ganjaran itu adalah
persetujuan, minat, dan keprihatinan. . . perkuatan semacam itu penting
terutama pada periode ketika klien mencoba respon-respon atau tingkah laku baru
yang belum secara tetap di beri perkuatan oleh orang lain dalam kehidupan
klien” (h, 275). Salah satu penyebab munculnya hasil yang tidak memuaskan adalah
bahwa terapis tidak cukup memperkuat tingkah laku yang baru di kembangkan oleh
klien.
Satu fungsi
penting lainya adalah peran terapis sebagai model bagi klien. Banduara (1969)
menunjukkan bahwa sebagian besar proses belajar yang muncul melalui pengalaman
langsung juga bisa diperoleh melalui pengamatan terhadap tingkah laku orang
lain. Ia mengunkapkan bahwa salah satu proses fundamental yang memungkinkan
klien bisa mempelajari tingkah laku baru adalah imitasi atau contoh sosial yang
disajikan oleh terapis. Terapis sebagai pribadi , menjadi model yang penting
bagi klien. Karena klien sering memandang terapis sebagi orang yang patut di
taladani, klien acap kali meniru sikap-sikap, nilai-nilai, kepercayaan dan
tingkah laku terapis. Jadi, terapis harus menyadari peranan penting yang di
mainkannnya dalam proses identifikasi. Bagi terapis, tidak mennyadari kekuatan
dirinnya dalam mempengaruhi dan membentuk cara berpikir dan bertindak kliennya,
berarti mengabaikan arti penting kepribadiannya sendri dalam proses terapi.
2.5
Pengalaman Konseli Dalam Konseling Pada Teori Behavior Atau
Teori Tingkah Laku
Salah satu sumbangan yang unik dari terapi tingkah laku adalah suatu sistem
prosedur yang ditentukan dengan baik yang digunakan oleh terapis dalm hubungan
dengan peran yang jyga ditentukan dengan baik. Terapi tingkah laku juga
memberikan kepada klien peran yang ditentukan dengan baik, dan menekankan
pentingnya kesadaran dan partisipasi klien dalam proses terapeoutik. Carkhuff
dan Berenson (1967) menunjukkan bahwa sekalipun klien boleh jadi berada dalam
peran sebagai “penerima tekhnik-tekhnik yang pasti”. Ia diberi keterangan yang
cukup tentang tekhnik-tekhnik yang di gunakan. Mereka menyatakan bahwa
“sementara terapis memiliki tanggung jawab utama. Klien dalah fokus perhatian
disertai sedikit perhatian pada nilai-nilai sosial, pengaruh orangtua, dan
proses-proses tak sadar. Para terapis modifikasi tingkah laku pertama-tama
harus memberikan keterangan rinci mengenai apa yang ada dan akan dilakukan pada
setiap tahap proses treatment” (h,92).
Keterlibatan klien dalam prose terapeutik karenannya harus dianggap sebagai
kenyataan bahwa klien menjadi lebih aktif alih-alih menjadi penerima
tekhnik-tekhnik yang pasif seperti diisyratkan oleh Carkhuff dan berenson.
Jelas, klien harus secara aktif terlibat dalam pemilihan dan penentuan
tujuan-tujuan, harus memiliki motifasi untuk berubah, dan bersedia bekerja sama
dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan terapioutik baik selama
pertemuan-pertemuan terapi maupun di luar terapi, dalam situasi-situasi
kehidupan nyata. Jika klien tidak secara aktif terlibat dalam prose terapeutik,
maka terapi tidak akan membawa hasil-hasil yang memuaskan.
Marquis (1974), yang menggunakan prinsip-prinsip pendekatan behavioral untuk
menunjang pengubahan kepribadian yang efektif, memandang perlunya peran aktif
klien dalam proses terapi. Melalui model terapi tingkah laku, Marquis
menguraikan program tiga fase yang melibatkan partisipasi klien secara penuh
dan aktif. Pertama, tingkah laku klien sekarang di analisis dan “pemahaman yang
jelas menjangkau tingkah laku akhir dengan partisipasi aktif dari klien dalam
setiap bagian dari proses pemasangan tujuan-tujuan” (h, 368). Kedua, cara-cara
alternatif yang bisa di ambil oleh klien dalam upaya mencapai tujuan-tujuan,
dieksplorasi. Ketiga, suatu program treatment direncanakan, yang
biyasannya berlandaskan langkah-langkah kecil yang bertahap dari tingkah laku
klien yang sekarang menuju tingkah laku yang di harapkan membantu klien dalam
mencapai tujuannya.
Suatu aspek yang penting dari peran klien dalam terapi tingkah laku adalah,
klien di dorong untuk breksperimen dengan tingkah laku baru dengan maksud
memperluas perbendarahaan tingkah laku adaptifnya. Dalam terapi, klien dibantu
untuk menggeneralisasi dan mentransper belajar yang diperoleh di dalam situasi
terapi kedalam situasi di luar terapi. Lagi-lagi, pendekatan ini
menggarisbawahi pentingnnya keterlibatan aktif dan kesediaan klien untuk
memperluas dan menerapkan tingkah laku barunnya pada situasi-situasi kehidupan
nyata.
Terapi ini belum lengkap apabila verbalisasi-verbalisasi tidak atau belum
diikuti oleh tindakan-tindakan. Klien harus berbuat lebih dari sekedar
memperoleh pemahaman-pemahaman, sebab dalam terapi tingkah laku klien harus
bersedia mengambil resiko. Bahwa masalah-masalah kehidupan nyata harus
dipecahkan dengan tingkah laku baru di luar terapi, berarti fase tindakan
merupakan hal yang esensial. Keberhasilan dan kegagalan usaha-usaha menjalankan
tingkah laku baru adalah bagian yang vital dari perjalanan terapi.
2.6
Hubungan Antara Konselor Dan Konseli Dalam Teori Behavior Atau Teori
Tingkah Laku
Ada suatu
kecendrungan yang menjadi bagian dari sejumlah kritik untuk menggolongkan
hubungan antara terapis dank klien dalam terapi tingkah laku sebagai hubungan
yang mekanis, manipulatif, dan sangat impersonal. Bagaimanapun, sebagian besar
penulis di bidang terapi tingkah laku. Khususnya Wolpe (1958.1969). menyatakan
bahwa pembentukan hubungan pribadi yang baik adalah salah satu aspek yang
esensial dalam proses terapeutik. Sebagaimana di singgung di muka. Peran
terapis yang esensial adalah peran sebagai agen pemberi perkuatan. Para terapis
tingkah laku tidak di cetak untuk memainkan peran yang dingin dan impersonal
yang mengerdilkan mereka menjadi mesin – mesin yang deprogram yang memakakan
teknik – teknik kepada para klien yang mirip robot – robot.
Bagaimanapun,
tampak bahwa pada umumnya terapis tingkah laku tidak memberikan peran utama
kepada variable – variable hubunan terapis – klien. Sekalipun demikian.
Sebagian besar dari mereka mengakui bahwa faktor – faktor seperti kehangatan,
empati, keotentikan, sikap permisif, dan penerimaan adalan kondisi – kondisi
yang diperlukan, terapi tidak cukup. Bagi kemunculan perubahan tikah laku dalam
proses terapeutik. Tentang persoalan ini Goldstein (1973) menyatakan bahwa
pengembangan hubungan kerja membentuk tahap bagi kelangsunggan terapi. Ia
mencatat bahwa hubngan semacam itu dalam dan oleh dirinya sendiri tidak cukup
sebagai pemaksimal terapi yang efektif (h. 220). Sebelum intervensi terapeutik
tertentu bisa dimunculkan dengan suatu derajat keefektifan. Terapi terlebih
dahulu harus mengembangkan atmosfer kepercayaan dengan memperlihatkan bahwa
1. Ia
memahami dan menerima pasien
2. Kedua
orang di antara mereka bekerja sama dan
3. Terapi
memiliki alat yang berguna dalam membantu ke arah yang dikehendaki oleh pasien
(h. 221)
2.7
Teknik-Teknik Dan Prosedur-Prosedur Terapeutik Teori Behavior Atau
Teori Tingkah Laku
Salah satu
sumbangan terapi tingkah laku adalah pengembangan prosedur-prosedur terapeutik
yang spesifik yang memiliki kemungkinan untuk diperbaiki untuk metode ilmiah.
Teknik-teknik terapi tingkkah laku harus menunjukan keefektifannya melalui
alat-alat yang objektif. Adapun ada beberapa teknik dalam penerapan tepri
behavior atau tingkah laku ini, antara lain adalah :
1. Desensitisasi
Sistematik
Merupakan salah
satu teknik yang paling luas digunakan dalam konseling tingkah
laku.Desensitisasi sistematik di gunakan untuk mengapus tingkah laku yang di perkuat
secara negatif, dan ia menyatakan pemunculan tingkah laku yang hendak
dihapuskan itu. Desensitisasi sistematik juga melibatkan teknik- teknik
relaksasi. Konseli di latih untuk santai dan mengasosiasikan keadaan santai
dengan pengalaman-pengalaman pembangkit kecemasan yang divisualisasi.
Situasi-situasi dihadirkan dalam suatu rangkaindari yang sangat tidak mengancam
. Tingkatan stimulus-stimulus penghasil kecemasan dipasangkan
secara berulang-ulang dengan stimulus-stimulus penghasil kecemasan dipasangakan
secara berhulang-ulang dengan stimulus –stmulus penghasil keadaan santai
sampai kaitan antara stimulus-stimulus kecemasan respons kecemasan itu terhapus
. Dalam teknik ini Wolpe telah mengembangkan suatu respons-yakni
relaksasi, yang secarafisiologis bertentangan dengan kecemasan yang secara
sistematis diasosiasikan dengan aspek –aspek dari situasi yang mengancam
.Desensititasi sistematik adalah teknik yang cocok untuk menangani
fobia-fobia. Desensitisasi sistematik bisa di terapkan secara efektif pada
berbagai situasi peng hasil kecemasan, mencakup situasi interpersonal,
ketakutan menghadapi ujian, ketakutan-ketakutan yang generalisasi,
kecemasan-kecemasan neurotic, serta impotensa dan frigiditas seksual.
Wolpe (1969) mecatat 3 penyebab kegagalan dalam pelaksanaan desensitisasi sistematik
Wolpe (1969) mecatat 3 penyebab kegagalan dalam pelaksanaan desensitisasi sistematik
a. Kesulitan-kesulitan
dalam relaksasi , yang bisa jadi menunjuk kepa kesulitan-kesulitan dalam
komunikasi antara konselor dan konseli atau kepada keterhambatan yang ekstrem
yang di alami oleh konseli
b. Tingkatan-tingkatan
yang menyesatkan atau tidak relevan ,
c. Ketidak memadai dalam membayangkan .
2. Terapi
Implosif dan Pembanjiran
Teknik-teknik
pembanjiran berlandaskan paradigma mengenai penghapusan eksperimental. Teknik
ini terdiri atas pemunculan stimulus berkondisi secara berulang-ulang tanpa
pemberian perkuatan. Dalam teknik pembanjiran terapis
memunculkan stimulus-stimulus penghasil kecemasan, klien membayangkan situasi,
dan terapis berusaha mempertahankan kecemasan klien.
Stampfl (1975)
mengembangkan teknik yang berhubungan dengan teknik pembanjiran yang
disebut ‘ terapi implosif’ seperti halnya dengan desensitisasi
sistematik, terapi implosif berasumsi bahwa tingkah laku neurotik ( Penderita)melibatkan
penghindaran terkondisi atas stimulus-stimulus penghasil
kecemasan.
Alasan yang digunakan oleh teknik ini adalah bahwa, jika seseorang secara
berulang-ulang dimunculkan dalam setting terapi dimana konsekwensi-konsekwensi
yang di harapkan dan menakutkan tidak muncul, stimulus-stimulus yang mengancam
kehilangan daya menghasilkan kecemasannya, dan penghindaran neurotik pun
terhapus.
Stampfl (1975)
mencatat beberapa contoh bagaimana terapi implosif
berlangsung.
Ia melukiskan seorang klien yang mengalami kecendrungan-kecendrungan obsesif
kepada kebersihan. Klien mencuci tangannya lebih dari seratus kali sehari dan
memiliki ketakutan yang berlebihan terhadap kuman.
1. Prosedur-prosedur penanganan klien mencakup
Pencarian stimulus-stimulus apa yang memicu gejala-gejala apa
Pencarian stimulus-stimulus apa yang memicu gejala-gejala apa
2.
Menaksir bagaimana gejala-gejala berkaitan dan bagaimana gejala-gejala
itu membentuk tingkahlaku klien
3.
Meminta kepada klien untuk membayangkan sejelas-jelasnya apa yang
dijabarkannya tanpa disertai celaan atas kepantasan situasi yang dihadapinya
4.
Bergerak semakin dekat kepada ketakutan yang paling kuat yang dialami
klien dan meminta kepadanya untuk membayangkan apa yang paling ingin di hindarinya,
dan
Mengulang prosedur-prosedur
tersebut sampai kecemasan tidak lagi muncul dalam diri klien
Stampfl (1975) Mencatat sejumlah
studi yang membuktikan kemanjuran terapi implosif dalam menangani para pasien
gangguan jiwa yang dirumahsakitkan, para pasien neurotik, para pasien psikotik
dan orang-orang yang menderita fobia-fobia.Stampfl menyatakan bahwa terapi
implosif berbeda dengan terapi-terapi konvensional dalam arti terapi implosif
tidak menekankan pemahaman sebagai agen terapeutik.
3. Latihan
Asertif
Pendekatan
behavioral yang dengan cepat mencapai popularitas adalah latihan asertif, yang
bisa di terapkan terutama pada situasi interpersonal di mana individu mengalami
kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa menyatakan atau menegaskan diri adalah
tindakan yang layak atau benar. Latihan asertif akan membantu bagi orang- orang
yang:
1. Tidak
mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung.
2. Menunjukkan
kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinnya.
3. Memiliki
kesulitan untuk mengatakan ‘’ tidak’’
4. Mengalami
kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respon-respon positif lainnya
5. Merasa
tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri.
Bagaimana
pendekatan ini berlangsung? Latihan asertif menggunakan prosedur-prosedur
permainan peran. Suatu masalah yang khas yang bisa di kemukakan sebagai contoh
adalah kesulitan klien dalam menghadapi atasannya di kantor. Misalnya , klien
mengeluh bahwa dia acap kali merasa di tekan oleh atasannya untuk melakukan
hal-hal yang menurut penilaiannya buruk dan merugikan serta mengalami hambatan
untuk bersikap tegas di hadapan atasannya itu. Pertama-tama klien memainkan
peran sebagai atasan, member contoh bagi terapis , sementara terapis
mencotohkan cara berpikir daqn cara klien menghadapi atasan. Kemudian mereka
saling menukar peran sambil klien mencoba tingkah laku baru dan terapis
memainkan peran sebagai atasan. Klien boleh memberikan pengarahan kepada terapis
tentang bagaimana memainkan peran sebagai atasannya secara realities ,
sebaiknyaterapis melatih klien bagaimana bersifat tegas terhadap atasan. Proses
pembentukan terjadi ketika tingkah laku baru di capai dengan
penghampiran-penghampiran . juga terjadi penghapusan kecemasan dalam menghadapi
atasan dan sikap klien yang lebih tegas terhadap atasan menjadi lebih sempurna.
Tingkah
laku menegaskan diri pertama-tama di praktekan dalam situasi permainan peran .
dan dari sana di usahakan agar tingkah laku menegaskan diri itu di
praktekan dalam situasi situasi kehidupan nyata. Terapis memberikan bimbingan
dengan memperlihatkan bagaimana dan bila mana klien bisa kembali ke tingkah
laku semula. Tidak tegas serta memberikan pedoman untuk memperkuat tingkah laku
menegaskan diri yang baru diperolehnya.
Shaffer
dan Galinsky (1974) Menerangkan bagaimana kelompok-kelompok latihan asertif
atau latihan ekspresif di bentuk dan berfungsi. Kelompok terdiri dari delapan
sampai sepuluh anggota yang memiliki latar belakang yang sama. Dan season
terapi berlangsung selama dua jam. Terapis bertindak sebagai penyelenggara dan
pengarah permainan peran. Pelatih memberi penguatan dan sebagai model peran.
Dalam diskusi-diskusi kelompok terapis bertindak sebagai seorang ahli
memberikan bimbingan dalam situasi-situasi permainan peran. Dan memberikan
umpan balik kepada para anggota.
Seperti
kelompok- kelompok tingkah laku lainnya, kelompok latihan asertif
di tandai dengan stuktur yang mempunyai pemimpin. Secara khas sessions
berstruktur sebagai berikut : session pertama yang di mulai dengan pengenalan
didaktik tentang kecemasan social yang tidak realistis, pemusatan pada belajar
menghapuskan respon-respon interbnal yang tidak efektif yang telah
mengakibatkan kekurang tegasan dan pada belajar peran tingkah laku yang baru
asertif. Session kedua bisa memperkenalkan sejumlah latihan relaksasi, dan
masing- masing anggota menenrangkan tingkah laku spesifik dalam situasi-situasi
interpersonal yang di rasakannya menjadi masalah. Para anggota kemudian membuat
perjanjian untuk menjalankan tingakah laku menegaskan diri yang semula mereka
hindari sebelum memasuki session yang selanjutnya. Session ketiga, para
anggoata menerangkan tentang tingkah laku menegaskan diri yang telah diu coba
di jalankan oleh mereka dalam situasi-situasi kehidupan nyata. Mereka berusaha
mengepaluasi, jika mereka belum sepenuhnya berhasil, kelompok langsung
menjalankan permainan peran. Session selanjutnya terdiri atas penambahan
latihan relaksasi , pengulangan perjanjian untuk menbjalankan tingkah laku
menegaskan diri yang di ikuti oleh evaluasi. Session yang terakhir bisa di
sesuaikan dengan kebutuhan – kebutuhan individual para anggota. Sejumlah
kelompok cenderung berfokus pada permainan peran tambahan . evaluasi dan
latihan sedangkan kelompok yang lainnya berfokus pada usaha usaha mensiskusikan
sikap-sikap dan perasaan perasaan yang telah membuat tingkah laku menegaskan
diri sulit di jalankan.
Terapi
kelompok latihan asertif pada dasarnya merupakan penerapan latihan tingkah laku
pada kelompok dengan sasaran membantu individu dalam mengembangkan cara cara
berhubungan yang lebih langsung dalam situasi-situasi intrapersonal. Fokusnya
adalah mempraktekan memulai permaianan peran kecakapan-kecakapan bergaul yang
baru di peroleh sehingga individu belajar bagaimana mengungkapkan
perasaan-perasaan dan pikiran mereka secara lebih terbuka di sertai keyakinan
bahwa mereka berhak untuk menunjukan reaksi-reaksi yang terbuka itu.
4. Terapi
Aversi
Teknik-teknik
pengondisian aversi yang telah digunakan secara luas untuk meredakan
gangguan-gangguan behavioral yang spesifik, melibatkan pengasosiasian tingkah
laku simtomatik dengan suatu stimulus yang menyakitkan sampai tingkah laku yang
tidak diinginkan terhambat kemunculanya. Stimulus-stimulus aversi biasanya
berupa hukuman dengan kejutan listrik dan ramuan yang mengakibatkan mual.
Kendali aversi bisa melibatkan penarikan pemerkuat positif atau penggunaan
berbagai bentuk hukuman. Contoh pelaksanaan penarikan pemerkuat positif adalah
mengabaikan ledakan kemarahan anak guna menghapus kebiasaan mengungkapkan
ledakan kemarahan pada si anak. Jika perkuatan social di tarik, tingkah laku
yang tidak diharapkan cenderung berkurang frekwensinya. Contoh penggunaan
hukuman sebagai cara pengendalian adalah pemberian kejutan listrik terhadap
anak autistic ketika tingkah laku spesifik yang tidak diinginkan muncul.
Teknik-teknik
aversi adalah metode-metode yang paling controversial yang dimiliki oleh para
behavioris meskipun digunakan secara luas sebagai metode-metode untuk membawa
orang-orang kepada tingkah laku yang diinginkan. Kondisi-kondisi
diciptakan sehingga orang-orang melakukan apa yang diharapkan dari mereka
alam rangka menghindari konsekuensi-konsekuensi aversif. Sebagian besar
lembaga social menggunakan prosedur-prosedur aversi untuk mengendalikan para
anggotanya dan untuk membentuk tingkah laku individu agar sesuai dengan yang
telah di gariskan: gereja menggunakan pengucilan, perusahaan-perusahaan
menggunakan pemecatan dan penangguhan pembayaran upah, sedangkan pemerintah
menggunakan denda dan hukuman penjara.
Kendali aversi acap kali menandai
hubungan orang tua-anak. Kendali-kendali bisa bekerja secara langsung dan
disadari. Baik anak maupun orang tua bisa di kendalikan oleh apa yang terjadi
dalam situasi-situasi tertentu., dan boleh jadi situasi-situasi itu tidak bisa
di jelaskan. Seorang anak diberi hak istimewa jika dia menyelaraskan diri
dengan bertingkah laku sebagaimana yang di harapkan, dan sebaliknya.
Anakpun belajar menggunakan kendali aversif terhadap orang tuanya. Dia belajar
bahwa orang tuanya memiliki suatu taraf toleransi terhadap tangisan,
teriakan, permintaan, dan renekan anak, serta belajar bahwa pada akhirnya orang
tuanya itu akan memenuhi permintaanya.
Dalam setting
yang lebih formal dan terapeutik, teknik-teknik aversif sering di gunakan dalam
penanganan berbagai tingkah laku yang maladaptif, mencakup minumalkohol secara
berlebihan, ketergantungan pada obat bius, merokok, obsesi-obsesi,
kompulsi-kompulsi, fetisisme, berjudi, homoseksualitas, dan penyimpangan
seksual seperti pedofolia. Teknik ini merupkan metode yang utama dalam
penanganan alkoholisme. Seorang alkoholik tidak dipaksa untuk menjauhkan diri
dari alcohol, tetapi justru disuruh meminum alkohol. Akan tetapi, setiap
tegukan alkohol diseratai pemberian ramuan yang membuat alkoholik merasa mual,
dan kemudian muntah. Si alkoholik lambat laun akan merasa sakit bahkan meskipun
hanya melihat botol alkohol. Pengetahuan tentang pengaruh-pengaruh
buruk dari alkohol cenderung menghambat alkoholisme, tetapi terdapat
kemungkinan bahwa alkoholik kembali kepada kebiasaan semula setelah periode
penahanan diri yang singkat. Selain pada penanganan alkoholisme,
prosedur-prosedur aversi telah digunakan secara berhasil pada penanganan-penanganan
penyimpangan-penyimpangan seksual dengan mengasosiasikan stimulus yang
menyakitkan dengan objek atau tindakan seksual yang tidak layak.
Butir yang
penting adalah bahwa maksud prosedur-prosedur aversif iyalah menyajikan
cara-cara menahan respons-respons maladaftifdalam suatu periode sehingga
terdapat kesempatan untuk memperoleh tingkah laku alternative yang adaptif dan
yang akan terbukti memperkuat dirinya sendiri. Satu kesalahpahaman yang popular
adalah bahwa teknik-teknik yang berlandasan hukuman merupakan perangkat yang
paling penting bagi para terapis tingkah laku. tingkah laku.
Hukumanjangan sering digunakan meskipun mungkin para klien sendiri menginginkan
penghapusan tingkahlaku yang tak diinginkanya melalui penggunaan hukuman. Apabila
cara-cara yang merupakan alternatifbagi hukuman tersedia, maka hukuman jangan
digunakan. Cara-cara yang positif yang mengarahkan kerusak dari pada
tingkah lakuyang baru dan lebih layak harus dicari dan di gunakan sebelum
terpaksa menggunakan pemerkuat-pemerkuat negative. Acap kali tingkah laku bisa
di ubah hanya dengan menggunakan perkuatan positif yang mengurangi kemungkinan
terbentuknya efek-efek samping yang merusak dari hukuman. Di samping itu, jika
hukuman di gunakan, bentuk-bentuk tingkah laku adaptif yang merupakan
alternative perlu secara jelas dan secara spesifik di gambarkan secara hukuman
harus di gunakan dengan cara-cara yang tidak mengakibatkan klien merasa di
tolak sebagai pribadi. Yang juga penting adalah klien dibantu agar ia
mengetahui bahwa konsekuensi-konsekuensi aversif diasosiasikan hanya dengan
tingkah laku maladaptive yang spesifik.
Skinner
(1948-1971) Adalah salah seorang tokoh yang secara terang-terangan menentang
penggunaan hukuman sebagai cara untuk mengendalikan hubungan-hubungan manusia
ataupun untuk mencapai maksud-maksud lembaga-lembaga masyarakat. Menurut
Skinner perkuatan positif jauh lebih baik efektif dalam mengendalikan tingkah
laku karena hasil-hasilnya lebih bisa diramalkan serta kemungkinan timbulnya
tingkah laku yang tidak diingankan akan lebih kecil. Skinner berpendapat bahwa
hukuman adalah sesuatu yang buruk, meskipun bisa menekan tingkah laku yang
diinginkan, tidak melemahkankecenderungan untuk merespon bahkan kalaupun ia
untuk sementara menekan tingkah laku tertentu. Akibat-akibat yang tidak tidak
diinginkan, menurut Skinner, berkaitan dengan penggunaan pengendalian aversif
maupun penggunaan hukuman.
Apabila hukuman
digunakan, mak terdapat kemungkinan terbentuknya efek-efak samping
emosional tambahan seperti:
a. Emosional
tambahan seperti tingkah laku yang tidak diinginkan yang dihukum boleh jadi
akan ditekan hanya apa bila penghukum hadir
b. Jika tidak ada tingkah laku yang menjadi alternatif bagi tingkah
laku yang dihukum, maka individu ada kemungkinan menarik diri secara
berlebihan,
c. Pengaruh
hukuman boleh jadi digeneralisasikan kepada tingkah laku lain yang berkaitan
dengan tingkah laku yang dihukum, Misalnya; Seorang anak yang dihukum karena
kegagalannya di sekolah boleh jadi akan membenci semua pelajaran, sekolah,
semua guru, dan barangkali bahkan membenci belajar pada umumnya.
Jadi, seorang anak yang
dihukum karena kegagalanya di sekolah boleh jadi akan membenci semuapelajaran
sekolah, semua guru, dan barangkali bahkan membenci belajar pada umumnya.
5. Pengondisian Operan
Tingkah laku operan adalah tingkah
laku yang memancar yang menjadi ciri organisme yang aktif. Ia adalah tingkah
laku beroperasi di lingkungan untuk menghasilkan akibat-akibat. Tingkah laku
operan merupakan tingkah laku yang paling berarti dalam kehidupan sehari-hari
yang mencakup membaca, berarti dalam kehidupan sehari-hari, yang mencakup
membaca, berbicara, berpakaian, makan dan lain-lain.
Menurut Skinner (1971), jika suatu tingkah laku diganjar
maka probabilitas kemunculan kembali tingkah laku tersebut dimasa mendatang
akan tinggi.Perubahan tingkah laku yang dikondisikan, diberikan dalam kurun
waktu tertentu dan target tertentu.
Contonya pemberian hadiah jika seorang anak yang
mendapatkan ranking.
6. Perkuatan
positif
Perkuatan
positif adalah suatu pola tingkah laku dengan memberikan ganjaran atau
penghargaan positif setalah tingkah laku yang diharapkan itu muncul. Cara ini
sangat ampuh untuh mengubah tingkah laku yang tidak baik menjadi baik.
Ada pemerkuat – pemerkuat untuk perkuatan positif adalah sebagai berikut :
Pemerkuat primer adalah memuaskan
kebutuhan fisiologis. Contoh : makanan, minuman, tidur/istirahat, rumah, dan
pakaian.
Pemerkuat
skunder adalah memuaskan kebutuhan psikologis dan sosial. Pemerkuat skunder bias
menjadi alat yang sangat ampuh untuk merubah tingkah laku diharapkan dari tidak
baik menjadi baik. Contoh : memberikan senyuman, persetujuan, pujian,
bintang-bintang emas/ medali/ tanda penghargaan, uang, dan hadiah.
7. Pembentukan
respons
Pembentukan
respons berwujud pengembangan suatu respons yang pada mulanya tidak terdapat
dalam pembendaharaan tingkah laku individu. Perkuatan sering digunakan dalam
proses pembentukan respons ini. Jadi, misalnya, jika seorang guru ingin
membentuk tingkah laku kooperatif sebagai tingkah laku kompetitif, dia bisa
memberikan perhatian dan persetujuan kepada tingkah laku yang diinginkannya
itu. Pada anak autisik yang tingkah laku motorik, verbal, emosional, dan
sosialnya kurang adaptif, konselor bisa membentuk tingkah laku yang lebih
adaptif dengan memberikan pemerkuat-pemerkuat primer maupun sekunder.
Keempat komponen tersebut seperti
:
-Motorik :
Gerakan,Konselor melatih gerak gerik anak supaya anak tersebut mempunya
keterampilan.Latihan yang dilakukan misalnya dengan latihan melukis,atau
membuat suatu keterampilan-keterampilan yang lain.
-Verbal
:Kata-kata,Konselor membimbing anak tersebut dengan melatih perkataan yang
satun,supaya verbal yang terbentuk dalam diri anak tersebut menjadi lebih baik
-Emosional:Emosi/Perasaan
Konselor harus mampu mengerti emosi anak atau perasaan yang dimilikinya dengan
mengerti dengan emosi anak,Konselor bisa lebih mudah untuk membimbing anak
tersebut
Sosial:
Pergaulan. Konselor bisa memberikan pengarahan-pengarahan atau menghimbau anak
tersebut dalam hal bergaul dengan teman atau siapapun di masyarakat.
Keempat komponen
diatas dilakukan untuk membentuk sikap yg Adaptif(mampu menyesuaikan diri).
8. Perkuatan
intermiten
Di samping
membentuk, perkuatan-perkuatan bisa juga digunakan untuk memelihara tingkah
laku yang telah terbentuk. Untuk memaksimalkan nilai pemerkuat-pemerkuat,
konselor harus memahami kondisi-kondisi umum dimana perkuatan-perkuatan muncul.
Oleh karenanya jadwal-jadwal perkuatan merupakan hal yang penting. Perkuatan
terus menerus mengganjar tingkah laku setiap kali ia muncul. Sedangkan
perkuatan intermiten pada umumnya lebih tahan terhadap penghapusan dibanding
dengan tingkah laku yang dikondisikan melalui pemberian perkuatan yang terus
menerus. Misalkan dalam proses belajar mengajar pada pelajaran
matematika, tentu guru tersebut berharap untuk semua siswanya mengerti dengan
apa yang dijelaskan oleh guru. Hal ini diupayakan dengan cara memberikan perkuatan-perkuatan
positif kepada siswa seperti reward/pujian kepada siswa yang sudah mengerti
sehingga ia bisa mengubah tingkah lakunya dalam belajar sehingga sesuai dengan
harapan guru mata pelajaran tersebut, dan siswa yang tidak mengerti akan
berusaha untuk mengerti dengan menanyakan kepada teman yang sudah mengerti.
Dalam menerapkan
pemberian perkuatan pada pengubahan tingkah laku, pada tahap-tahap permulaan
konselor harus mengganjar setiap terjadi munculnya tingkah laku yang
diinginkan. Jika mungkin, perkuatan-perkuatan diberikan segera setelah tingkah
laku yang diinginkan muncul. Dengan cara ini, penerima perkuatan akan belajar,
tingkah laku spesifik apa yang diganjar. Bagaimanapun, setelah tingkah laku
yang diinginkan itu meningkat frekuensi kemunculannya, frekuensi pemberian
perkuatan bisa dikurangi. Seorang anak yang diberi pujian setiap berhasil
menyelesaikan soal-soal matematika, misalnya, memiliki kecenderungan yang lebih
kuat untuk berputus asa ketika menghadapi kegagalan dibanding dengan apabila si
anak hanya diberi pujian sekali-kali. Contoh: misalkan siswa mengalami
kesulitan belajar pada materi yang diajarkan, hal pertama yang bisa guru
lakukan yaitu dengan cara menanyakan dimana letak kesulitan yang mereka alami,
kemudian guru juga bisa memberikan contoh-contoh yang mudah agar siswa
dapat mengerjakannya, apabila siswa tersebut sudah bisa mengerjakan soal yang
mudah tersebut guru langsung meemberikan perkuatan positif seperti memberikan
tepuk tangan dan selamat kepada anak tersebut agar siswa itu dapat
mempertahankan bahkan meningkatkan kemampuannya.
9. Penghapusan
Apabila
suatu respons terus menerus dibuat tanpa perkuatan , maka respons tersebut
cenderung menghilang. Dengan demikian, karena pola-pola tingkah laku yang
dipelajari cenderung melemah dan terhapus setelah suatu periode, cara untuk
menghapus tingkah laku yang maladaptif adalah menarik perkuatan dari tingkah
laku yang maladaptif itu. Penghapusan dalam kasus semacam ini boleh jadi
berlangsung lambat karena tingkah laku yang akan dihapus telah dipelihara oleh
perkuatan intermiten dalam jangka waktu lama. Wolpe (1969) menekankan bahwa
pengehentian pemberian perkuatan harus serentak akan penuh. Misalnya, jika
seseorang anak menunjukkan kebandelan di rumah atau di sekolah, orang tua dan guru
si anak bisa menghindari pemberian perhatian sebagai cara untuk menghapus
kebandelan anak tersebut. Pada saat yang sama perkuatan positif bisa berikan
kepada si anak agar belajar tingkah laku yang diinginkan.
Terapis, guru
dan orang tua yang menggunakan penghapusan sebagai tehnik utama dalam menghapus
tingkah laku yang tidak diinginkan harus mencatat bahwa tingkah laku yang tiak
diinginkan itu pada mulanya bisa menjadi lebih buruk sebelum akhirnya terhapus
atau dikurangi. Contohnya, seorang anak yang telah belajar bahwa dia dengan
mengomel biasanya memperoleh apa yang diinginkan, mungkin akan memperhebat
omelannya ketika permintaannya tidak segera dipenuhi. Jadi kesabaran menghadapi
periode peralihan amat diperlukan.
10. Percontohan
Dalam
percontohan, individu mengamati seorang model dan kemudian diperkuat untuk
mencontoh tingkah laku sang model. Bandura ( 1969) menyatakan bahwa segenap
belajar yang bisa diperoleh melalui pengalaman langsung bisa pula diperoleh
secara tidak langsung dengan menga,ati tingkah laku orang lain berikut
konsekuensi- konsekuensinya. Jadi kecakapan- kecakapan sosial tertentu bisa
diperoleh engan mengamati dan mencontoh tingkah laku model- model yang ada.
Juga reaksi- reaksi emosional yang terganggu yng dimiliki seseorang bisa dihapus
dengan cara orang itu mengamati orang lain yang mendekati objek- objek atau
situasi- situasi yang di takuti tanpa mengalami akibat- akibat yang menakutkan
dengan tindakan yang dilakukannya . pengendalian diripun bisa dipelajarari
melalui pengamatan atas model yang dikenai hukuman. Status dan kehormatan
model amat berarti, dan orang- orang pada umumnya dipengaruhi oleh tingkah laku
model- model yang menepati status yang tinggi dan terhormat di mata mereka
sebagai pengamat.
11. Token Economy
Token ekonomy adalah sistem perlakuan kepada
tiap individu untuk mendapatkan bukti target perilaku setelah mengumpulkan
sejumlah prilaku tertentu sehingga mencapai kondisi yang diharapkan. Contoh
seperti pada lembar bukti prestasi. Siswa mendapatkan bukti dalam bentuk rewads
atau hadiah dari pekerjaan yang dapat ditunjukannya. (Jason, 2009 ; 35).
Token Economy merupakakan sistem perlakuan
pemberian penghargaan kepada siswa yang diwujudkan secara visual. Token
Economy adalah usaha mengembangkan prilaku sesuai dengan tujuan yang
diharapkan melalui penggunaan penghargaan. Setiap individu mendapat penghargaan
setelah menunjukan prilaku yang diharapkan. Hadiah dikumpul selanjutnya setelah
hadiah terkumpul ditukar dengan penghargaan yang bermakna. (Joson, 2009 ; 66).
Menurut Wallin (1991), Token Economy yang
diberikan kepada siswa merupakan dukungan sekunder untuk memperkuat suasana
belajar supaya lebih kondusif. Oleh karena itu, penghargaan harus menjadi
rangsangan yang netral atau tidak berpihak. Siswa berkompetisi untuk memperolehnya
dengan cara mengumpulkan token sebanyak-banyaknya dalam proses kegiatan belajar
mengajar.
Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa Token
economy adalah sistem perlakuan kepada tiap individu untuk mendapatkan
bukti target perilaku setelah mengumpulkan sejumlah prilaku tertentu sehingga
mencapai kondisi yang diharapkan, dengan cara subyek mendapat penghargaan
setelah menunjukan prilaku yang diharapkan. Hadiah dikumpul selanjutnya setelah
hadiah terkumpul ditukar dengan penghargaan yang bermakna.
Tujuan Token
Economy Bukti Token Economy dapat digunakan untuk
memenuhi berbagai tujuan pendidikan dalam membangun perilaku siswa. Penggunaan
sistem time token ekonomi memiliki tujuan :
a. Meningkatnya
kepuasan dalam mendorong peningkatan kompetensi siswa melalui penghargaan yang
kongkrit atau visual sehingga tingkat kesenangan siswa melakukan sesuatu
prestasi benar-benar tampak.
b. Meningkatnya
efektivitas waktu dalam pelaksanaan pembelajaran. Belajar yang efektif adalah
yang menggunakan waktu yang pendek dengan hasil yang terbaik dan terbanyak.
Siswa harus menyadari berapa lama mereka telah belajar dan berapa banyak waktu
yang telah mereka gunakan secara efektif untuk melaksanakan aktivitas belajar.
c. Berkurangnya
kebosanan – Suasana belajar yang kolaboratif, rivalitas, kompetitif yang diberi
penguatan oleh pendidik dapat meningkatkan menurunkan tingkat di kebosanan
siswa sehingga siswa dapat berpartisipasi dalam jangka waktu yang yang lama.
d. Meningkatnya daya
respon – Suasana belajar yang kompetitif akan meningkatkan kecepatan siswa
meberikan respon. Setiap respon yang sesuai dengan tujuan akan segera mendapat
penguatan sehingga suasana belajar menjadi cair, komunikatif dan lebih
menyengkan.
e. Berkembangnya
penguatan yang lebih alami, – melalui pemberian penguatan yang tepat waktu akan
dan disesuaikan dengan tingkat prestasi setiap siswa atau setiap kelompok siswa
memungkinkan
f. Meningkatnya
penguatan untuk sehingga motivasi belajar berkembang – setiap siswa atau setiap
kelompok siswa dalam kelas selalu dalam keadaan terpacu untuk mewujudkan dan
daya pacu ini akan semakin berkembang jika siswa juga mendapat layanan untuk
mengabadikan daya kompetisinya seperti dengan dukungan rekaman video.
Komponen Token
Economy. Sebelum kegiatan belajar dilaksanakan pendidik menyiapkan
beberapa komponen yang dibutuhkan, di antaranya:
a. Token atau simbol
praktis dan atraktif untuk memicu tumbuhnya motivasi belajar. Yang dapat
digunakan sebagai simbol penghargaan seperti stiker, guntingan kertas, simbol
bintang, atau uang mainan. Token sendiri tidak selalu dalam bentuk yang
berharga, namun setelah siswa mengoleksinya setelah menunjukan prilaku yang
diharapkan mereka dapat menukarkan token itu dengan sesuatu yang berharga. Dengan
demikian setelah satu rentang waktu tertentu guru harus menyediakan barang
penukar token yang berharga untuk siswa. Yang paling mudah seperti permen, alat
tulis atau benda berharga lain yang dapat sekolah biayai.
b. Definisi target prilaku
jelas. Hal itu berarti guru maupun siswa perlu memahami dengan baik prilaku
yang diharapkan. Siswa memahami benar prilaku seperti apa yang harus
ditunjukannya sebagai hasil belajar. Penjelasan harus singkat namun cukup
sebagai dasar pemahaman siswa mengenai hadiah yang dapat diperlehnya setelah
menunjukan prestasi.
c. Dukungan
penguatan (reinforcers) dengan barang yang berharga. Dukungan itu dapat dalam
bentuk barang berharga, hak istimewa, atau aktivitas individu yang dapat
ditukar dengan makanan, perangkat permainan, waktu ekstra.
d. Sistem penukaran token
atau simbol. Sukses penyelenggaraan token ekonomi sangat bergantung pada sukses
dalam memberikan penguatan yang dapat ditukarkan dengan nilai yang sebanding
dengan prestasi yang dicapai.
e. Sistem
dokumentasi atau perekaman data. Pemberian penghargaan yangtepat sangat
bergantung pada ketepatan menghimpun data. Oleh karena itu alat perekam dapat
membantu meningkatkan proses ini sehingga informasi dari proses pembelajaran
dapat dikelola dengan tingkat akurasi yang tinggi.
f. Konsistensi dalam
implementasi, untuk menjunjung konsistensi itu sebaiknya terdapat panduan
teknis yang tertulis sebagai pegangan pelaksanaan tugas sehingga apa yang
direncanakan itulah yang dilaksanakan.
Langkah-langakah
pelaksanaan Token Economy
Mengacu pada pemikiran Robinson T.J. Newby dan S.L.
Ganzell, (1981) merumusakan bahwa langkah utama dalam pelaksanaan sistem token
ekonomi dapat dikembangkan sebagai berikut :
a. Menentukan target
prilaku atau kompetensi yang dapat siswa tunjukan. Guru memilih masalah penting
sebagai target. Definisikan dengan jelas, harus dalam bentuk penyataan positif,
dan harus dalam prilaku hasil belajar yang dikembangkan dalam bimbingan
pembelajaran dalam kelas.
b. Menentukan motode
bagaimana langkah-langkah untuk memperoleh penghargaan dan nilai dari setiap
penghargaan. Barkley (1990) memberi contoh untuk anak-anak umur 4-7 thaun
menggunakan guntingan kartu berbentuk bintang, model perangko atau stiker.
Setiap perangkat penghargaan diletakan siswa di atas meja belajarnya dalam
kelas.
c. Identifikasi
nilai atraktif penghargaan. Mengembangkan penghargaan sebagai sesuatu yang
berarti, praktis dan atraktif sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar
siswa. Hal penting yang dapat meningkatkan makna adalah keterlibatan siswa
dalam proses memilih dan menyusun jenis dan nilai penghargaan. Dalam hal ini
siswa dapat memperoleh kebebasan menentukan waktu
d. Menentukan Tujuan,
jumlah token yang dapat diperoleh serta nilai yang diperoleh untuk setiap
penghargaan yang diperoleh.
Implementasi kegiatan ini memerlukan langkah lanjut :
a. Penjelasan
Program Kepada Siswa. Penjelasan mengenai program harus jelas. Siswa harus
memahami aturan main sebelum belajar dimualai agar mereka dapat memanfaatkan
waktu belajar secara optimal. Sejumlah penghargaan kepada siswa diberikan di
antaranya karena ketepatan dan kecepatan menunjukan prilaku positif yang
diharapkan.
b. Guru memberikan
masukan. Guru harus menentukan kapan hadiah akan didistribusikan, dengan
ketentuan seperti apa, dan bagaimana siswa dapat memperoleh penghargaan, tata
tertib seperti bagaimana? Pemberian penghargaan dapat guru lakukan tidak hanya
sebatas dalam kurun waktu satu dua jam pelajaran, namun dapat pula menggunakan
waktu berharihari, berminggu-minggu atau dalam satu semester sepanjang guru
dapat memelihara kondisi tingkat revalitas, persaingan dan daya kolaborasi
dapat terus dikobarkan sehingga berdampak positif terhadap hasil belajar siswa.
c. Guru pengatur
penghargaan. Guru memberikan penghargaan dengan memperhatikan tercapainya
tujuan pembelajaran. Kejuaraan diperoleh dari pengumpul hadiah terbanyak. Hal
itu berarti menjadi siswa yang berlajar paling efektif sehingga mencapai
prilaku yang diharapkan. Jika siswa berhasil dalam satu hari dan ia tidak
mendapatkan di waktu lain adalah sesuatu yang baiasa.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
1.
Terapi tingkah laku atau behavioristik ini merupakan penerapan aneka
ragam teknik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar.
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner
tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman
dan kematangan.
2.
Terapi tingkah laku,berbeda dngan sebagian besar pendekatan terapi
lainnya,ditandai oleh: (a) Pemusatan perhatian kepada tingkah laku yg tampak
dan spesifik, (b) kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment, (c)
perumusan prosedur treatment yg spesifik yg sesuai dengan masalah dan (d)
penaksiran objektif atas hasil-hasil terapi.
3.
Tujuan umum terapi tingkah laku adaiah menciptakan kondisi-kondisi baru
bagi proses belajar. Dasar alasanya ialah bahwa segenap tingkah laku adalah
dipelajari (learned), termasu tingkah laku yang maladaktif. Jika tingkah laku
neurotik learned , maka ia bisa unlearned (dihapus dari ingatan). Dan
tingkah laku yang lebih efektif bisa diperoleh. Terapi tingkah laku pada
hakekatnya terdiri atas proses penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif dan
pemberian pengalaman-pengalaman belajar yang didalamnya respons-respons yang
layak yang belum dipelajari.
4.
Terapis tingkah laku harus memainkan peran aktif dan direktif dalam
pemberian treatmen, yakni terapis menerapkan pengtahuan ilmiyah pada pencarian
pemecahan-pemecahan bagi masalah-masalah manusia, pada kliennya. Terapis
tingkah laku secara khas berfungsi sebagai guru, pengaruh, dan ahli dalam
mendiagnosis tingkah laku yang maladaptif dan dalm menentukan prosedur-prosedur
penyembuhan yang,diharapkan,mengarah pada tingkah laku yang baru dan adjustive
5.
Peran terapis yang esensial adalah peran sebagai agen pemberi perkuatan.
Para terapis tingkah laku tidak di cetak untuk memainkan peran yang dingin dan
impersonal yang mengerdilkan mereka menjadi mesin – mesin yang deprogram yang
memakakan teknik – teknik kepada para klien yang mirip robot – robot. Sedangkan
aspek yang penting dari peran klien dalam terapi tingkah laku adalah, klien di
dorong untuk breksperimen dengan tingkah laku baru dengan maksud memperluas
perbendarahaan tingkah laku adaptifnya
6.
Terapi terlebih dahulu harus mengembangkan atmosfer kepercayaan dengan
memperlihatkan bahwa
a. Ia
memahami dan menerima pasien
b. Kedua
orang di antara mereka bekerja sama dan
c. Terapi
memiliki alat yang berguna dalam membantu ke arah yang dikehendaki oleh pasien
(h. 221)
7.
Ada beberapa teknik-teknik dan prosedur-prosedur dalam teori atau terapi
tingkah laku, yaitu :
a.
Teknik Desensitisasi Sistematik
b.
Teknik Terapi Implosif dan Pembanjiran
c.
Teknik Latihan Asertif
d.
Teknik Terapi Aversi
e.
Teknik Pengondisian Operan
f.
Teknik Perkuatan Positif
g.
Teknik Perkuatan Respons
h.
Teknik Perkuatan Intermiten
i.
Teknik Penghapusan
j.
Teknik Percontohan
k.
Teknik Token Economy
EmoticonEmoticon