konsep behavioral



  1. Konsep dasar pendekatan konseling behavioral
            Konseling Behavioral adalah salah satu  dari teori-teori konseling yang ada pada saat  ini. Konseling  behavioral  merupakan  bentuk  adaptasi  dari  aliran  psikologi behavioristik, yang menekankan perhatiannya pada perilaku yang tampak.
            Behaviorisme adalah aliran dalam psikologi yang didirikan oleh John B. Watson pada tahun 1913 dan digerakkan oleh Burrhus Frederic Skinner. Behaviorisme lahir sebagai reaksi atas psikoanalisis yang berbicara tentang alam bawah yang tidak tampak.  Behaviorisme ingin menganalisis bahwa perilaku yang tampak saja yang dapat diukur, dilukiskan dan diramalkan. Terapi perilaku ini lebih mengkonsentrasikan pada modifikasi tindakan, dan berfokus pada perilaku saat ini daripada masa lampau. Belakangan kaum behavioris lebih dikenal dengan teori belajar, karena menurut mereka, seluruh perilaku manusia adalah hasil belajar. Belajar artinya perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan ( Rakhmat, 1994:21).
            Behaviorisme memandang bahwa ketika dilahirkan, pada dasarnya manusia tidak memiliki bakat apa-apa. Manusia akan berkembang berdasarkan stimulus yang diterimanya dari lingkungan di sekitarnya. Tingkah laku ., pada individu dipengaruhi oleh kepuasan dan ketidak puasan yang diperolehnya.
             Istilah behavioral conseling pertama sekali dikemukakan oleh Krumboltz.Ciri-ciri utama behavioral conseling ini adalah
  1. Proses pendidikan :Konseling membantu klien mempelajari tingkah laku baru untuk memecahkan masalahnya.
  2. Teknik rakit secara individual: Dalam proses konseling, menentukan tujuan konseling, proses asesmen,dan teknik-teknik dibangun oleh klien dengan bantuan konselor.
  3. Metodologi ilmiah: Konseling behavioral dilandasi oleh metode ilmiah dalam melakukan assesmen dan evaluasi konseling.
                          Pendekatan behavioral didasari oleh pandangan ilmiah tentang tingkah laku manusia yaitu pendekatan yang sistematik dan terstruktur dalam konseling. Pandangan ini melihat individu sebagai produk dari kondisioning sosial, sedikitsekali melihat potensi individu sebagai prosedur lingkungan. Pada awal pendekatan ini hanya mempercayai hal yang dapat diamati dan diukur sebagaisesuatu yang sah dalam pengukuran kepribadian (radical behaviorism), dan dikembangkan lebih lanjut yang mulai menerima fenomena yang abstrak seperti id, ego, super ego dan ilusi. Pendekatan ini memandang perilaku yang malajustru sebagai hasil belajar dari lingkungan secara keliru.
                          Konseling behavioral dikenal juga dengan modifikasi perilaku yang dapat diartikan sebagai tindakan yang bertujuan untuk mengubah perilaku.Modifikasi perilaku memiliki kelebihan dalam menangani masalah-masalah yang di alami oleh individu, yaitu :
  1. Langkah-langkah dalam memodifikasi perilaku dapat direncanakan terlebih dahulu.
  2. Perincian pelaksanaan dapat diubah selama treatmen disesuaikan dengan kebutuhan konseling.
  3. Bila berdasarkan evaluasi sebuah teknik gagal memberikan perubahan pada klien, teknik tersebut dapat diganti dengan teknik lain.
  4. Teknik-teknik konseling dapat dijelaskan dan diatur secara rasional sertadapat diprediksi dan dievaluasi secara objektif.
  5. Waktu yang dibutuhkan lebih singkat
                         Dalam memahami tingkah laku, terdapat beberapa model tingkah laku yang dipengaruhi oleh teori-teori psikologi. Model-model tersebut antara lain:
  1. Model psikodinamika yaitu tingkah laku manusia ditentukan kehidupandinamika intra-psikis individu (id, ego, superego).
  2. Model biofisik yaitu tingkah laku ditentukan oleh organisasi neurologi,belajar perseptual motor, kesiapan fisiologis, integrasi dan perkembangansensori.
  3. Model lingkungan yaitu tingkah laku ditentukan oleh interaksi antaraindividu dan lingkungan.
  4. Model tingkah laku yaitu tingkah laku dapat diobservasi dan diukur.
            Konselor behavioral membatasi perilaku sebagai fungsi interaksi antara pembawaan dengan lingkungan. Perilaku yang dapat diamati merupakan suatu kepedulian dari para konselor sebagai kriteria pengukuran keberhasilan konseling. Menurut pandangan ini manusia manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar seperti yang di kemukakan oleh Freud.
            Dalam konsep behavioral, perilaku merupakan hasil belajar, sehinga dapat diubah dengan manupulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi belajar. Pada dasarnya, proses konseling merupakan suatu penataan proses atau pengalaman belajar untuk membantu individu memngubah perilakunya agar dapat memecahkan masalah.
            Menurut Pavlov, Belajar merupakan proses perubahan perilaku yang disebabkan oleh pengalaman. perubahan Anak yang merasa ketakutan ketika berjalan sendiri pada malam hari merupakan hasil dari belajar anak telah belajar menghubungkan kegelapan dengan suatu keadaan yang menyeramkan. Reaksi ini dapat diperoleh secara tidak sadar maupun secara sadar dan juga dapat diperoleh dari hasil belajar
            Thoresen (shertzer & Stone, 1980, 188) memberi ciri konseling Behavioral sebagai berikut:
  1. Kebanyakan perilaku manusia dipelajari dan karna itu dapat di ubah.
  2. Perubahan-perubahan khusus terhadap lingkungan individu dapat membantu dalam mengubah perilaku-perilaaku yang relevan. Prosedur-prosedur konseling beerusaha membawa perubahan-perubahan yang relevan dalam perilaku klien dengan mengubah lingkungan.
  3. Prinsip-prinsip belajar sepesial seperti “reinforcement” dan “social modelling”, dapat digunakan untuk mengembangkan prosedur-prosedur konseling.
  4. Keefektifan konselingdan hasil konseling dinilai dari perubahan dalam perilaku-perilaku khusus diluar wawancara prosedur-prosedur konseling.
  5. Posedur-prosedur konseling tidak statis , tetap atau ditentukan sebelumnya, tetapi dapat secara khusus di disain untuk klien dalam memecahkan masalah khusus.
Selanjutnya dikatakan bahwa terapi Behavioral berusaha menerapkan metode dan prosedur eksperimental ke dalam praktek klinis. Oleh karena itu maka terapi yang baik adalah dari ilmu yang baik.
Hal yang mendasar dalam konseling Behavioral adalah prinsip penguatan (rainforcement) sebagai suatu kreasi dalam upaya memperkuat atau mendukung suatu perilaku yang dikendaki. Konsep penguatan ini berasal dari percobaan Pavlov (teori classical conditioning), dan Skinner (teori intrumental conditioning). Ada tiga macam hal yang yang dapat memberi pengguatan yaitu (1) posistive reinvorcer. (2) negative reinvorcer. (3) no consequence and neutral stimuli.
  • Pendangan tentang manusia
Dalam pandangan behavioral manusia pada hakikatnya bersifat mekanistik atau merespon kepada lingkungan dengan kontrol yang terbatas, hidup dalam alam deterministik dan sedikit peran aktifnya dalam memilih martabatnya. Manusia memulai kehidupannya dengan memberikan reaksi terhadap lingkungannya dan interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadian. Tingkah laku seseorang ditentukan oleh banyak dan macamnya penguatan yang diterima dalam situasi hidupnya.
Tingkah laku dipelajari ketika individu berinteraksi dengan lingkungan, melalui hukum-hukum belajar pembiasaan klasik, pembiasaan operan, dan peniruan. Manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar melainkan merupakan hasil belajar, sehingga ia dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi pembentukan tingkah laku.
Manusia cenderung akan mengambil stimulus yang menyenangkan dan menghindarkan stimulus yang tidak menyenangkan, sehingga dapat menimbulkan tingkah laku yang salah atau tidak sesuai. Banyak tingkah laku yang menyimpang karena individu hanya mengambil sesuatu yang disenangi dan menghindar dari yang tidak disenangi.
Menurut Corey (2003: 198) menyatakan bahwa pendekatan behavior tidak menguraikan asumsi-asumsi filosofis tertentu tentang manusia secara langsung. Setiap manusia dipandang  memiliki kecenderungan-kecenderungan positif dan negative yang sama. Manusia pada dasarnya di dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan social budayanya. Segenap tingkahlaku manusia itu dipelajari.
Sementara itu, Winkel (2004: 420) menyatakan bahwa konseling behavioristik berpangkal pada beberapa keyakinan tentang martabat manusia, yang sebagian bersifat falsafah dan sebagian bersifat psikologis, yaitu:
  • Manusia pada dasarnya tidak berakhlak baik atau buruk, bagus atau jelek.
  • Manusia mampu untuk berefleksi atas tingkahlakunya sendiri, menangkap apa yang dilakukannya, dan mengatur serta mengontrol perilakunya sendiri.
  • Manusia mampu untuk memperoleh dan membentuk sendiri suatu pola tingkahlaku yang baru melalui proses belajar.
  • Manusia dapat mempengaruhi perilaku orang lain dan dirinya pun dipengaruhi oleh perilaku orang lain.
Berdasarkan dua pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa hakikat manusia pada pandangan behavioris yaitu pada dasarnya manusia tidak memiliki bakat apapun, semua tingkahlaku manusia adalah hasil belajar. Manusia pun dapat mempengaruhi orang lain, begitu pula sebaliknya. Manusia dapat menggunakan orang lain sebagai model pembelajarannya.
Hakikat manusia menurut pandekatan konseling behavioral adalah pasif dan mekanistik, manusia dianggap sebagai sesuatu yang dapat dibentuk dan diprogram sesuai dengan keinginan lingkungan yang membentuknya. Manusia merespon lingkungan dengan kontrol terbatas, hidup dalam alam deterministik dan memiliki sedikit peran aktif dalam memilih martabatnya. Manusia memulai kehidupannya dengan memberikan reaksi terhadap lingkungannya, dan interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadian.
Dalam pandangan behavioristik, kepribadian manusia merupakan perilaku yang terbentuk berdasarkan hasil pengalaman yang diperoleh dari interaksi seseorang dengan lingkungannya. Kepribadian merupakan pengalaman seseorang akibat proses belajar. Aliran behavioristik memiliki asumsi-asumsi dasar terhadap perilaku manusia sebagai berikut; (1)manusia memiliki potensi untuk segala jenis perilaku, (2)manusia mampu mengkonsepsikan dan mengendalikan perilakunya,(3)manusia mampu mendapatkan perilaku baru, (4)manusia dapat mempengaruhi perilaku orang lain sebagaimana perilakunya juga dipengaruhi oleh orang lain.
  • Pandangan tentang Kepribadian
        Hakikat kepribadian menurut pendekatan behavioral adalah tingkah laku. Selanjutnya diasumsikan bahwa tingkah laku dibentuk berdasarkan hasil dari segenap pengalamannya yang berupa interaksi invidu dengan lingkungannya. Kepribadian seseorang merupakan cerminan dari pengalaman, yaitu situasi atau stimulus yang diterimanya. Merujuk asumsi ini maka untuk memahami kepribadian manusia tidak lain adalah mempelajari dan memahami bagaimana terbentuknya suatu tingkah laku.
  1. Teori Pengkondisian  Klasik
              Menurut teori ini tingkah laku manusia merupakan fungsi dari stimulus. Eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap anjing telah menunjukkan bahwa tingkah laku belajar terjadi karena adanya asosiasi antara tingkah laku dengan lingkungannya. Belajar dengan asosiasi ini biasanya disebut classical conditioning. Pavlov mengklasifikasikan lingkungan menjadi dua jenis, yaitu Unconditioning Stimulus(UCS) dan Conditioning Stimulus (CS). UCS adalah lingkungan yang secara alamiah menimbulkan respon tertentu yang disebut sebagai Unconditionting Respone (UCR), sedangkan CS tidak otomatis menimbulkan respon bagi individu, kecuali ada pengkondisian tertentu. Respon yang terjadi akibat pengkondisian CS disebut Conditioning Respone (CR).
              Dalam eksperimen tersebut ditemukan bahwa tingkah laku tertentu dapat terbentuk dengan suatu CR, dan UCR dapat memperkuat hubungan CS dengan CR. Hubungan CS dengan CR dapat saja terus berlangsung dan dipertahankan meskipun individu tidak disertai oleh UCS dan dalam keadaan lain asosiasi ini dapat melamah tanpa diikuti oleh UCS.
              Eksperimen yang dilakukan Pavlov ini dapat digunakan untuk menjelaskan pembentukan tingkah laku manusia. Gangguan tingkah laku neurosis khususnya gangguan kecemasan dan phobia banyak terjadi karena aosiasi antara stimulus dengan respon individu. Pada mulanya lingkungan yang menjadi sumber itu bersifat netral bagi individu, tetapi karene terkondisikan bersamaan dengan UCS tertentu, maka dapat memunculkan tingkah laku penyesuaian diri yang salah. Dalam pembentukan tingkah laku yang normal dapat terjadi dalam perilaku rajin belajar misalnya, yang terbentuk karena adanya asosiasi.
  1. Teori Pengkondisian Operan
              Teori pengkondian yang dikembangkan oleh Skinner ini menekankan pada peran lingkungan dalam bentuk konsekuensi-konsekuensi yang mengikuti dari suatu tingkah laku.
              Menurut teori ini, tingkah laku individu terbentuk atau dipertahankan sangat ditentukan oleh konsekuensi yang menyertainya. Jika konsekuensinya menyenangkan maka tingkah lakunya cenderung dipertahankan dan diulang, sebaliknya jika konsekuensinya tidak menyenangkan maka tingkah lakunya akan dikurangi atau dihilangkan.                    Dari prinsip ini dapat dipahami bahwa tingkah laku bermasalah dapat terjadi dan dipertahankan oleh individu di antaranya karena memperoleh konsekuensi yang menyenangkan yang berupa ganjaran dari lingkungan.  Konsekuensi yang tidak tidak menyenangkan yang berupa hukuman tidak cukup kuat untuk mengurangi atau melawan ganjaran yang diperoleh dari lingkungan lainnya. Dipertegas oleh Skinner bahwa tingkah laku operan sebagai tingkah laku belajar merupakan tingkah laku yang non reflektif, yang memiliki prinsip-prinsip yang lebih aktif dibandingkan dengan pengkondisian klasik.
  1. Teori Peniruan
              Asumsi dasar teori yang dikembangkan oleh Bandura ini adalah bahwa tingkah laku dapat terbentuk melalui observasi model secara langsung yang disebut dengan imitasi dan melalui pengamatan tidak langsung yang disebut denganvicarious conditioning. Tingkah laku yang terbentuk karena mencontoh langsung maupun mencontoh tidak langsung akan menjadi kuat kalau mendapat ganjaran.
              Paparan kerangka teori behavioral di atas menunjukkan bahwa tingkah laku yang tampak lebih diutamakan dibadingkan dengan sikap atau perasaan individu.
              Pandangan para behavioris juga menganggap manusia sama saja, tidak ada yang baik dan tidak ada yang jahat. Semasa lahirnya mereka adalah sama, masing-masing mempunyai potensi seimbang ke arah menjadi sama ada baik ataupun jahat. Hasilnya, ahli-ahli teori tingkah laku tidak sepenuhnya memberikan definisi tabiat asas kemanusiaan itu yang boleh membantu teori-teori mereka sendiri. Bagaimanapun, Dustin dan George menyenaraikan empat andaian berhubung dengan tabiat kemanusiaan dan bagaimana manusia berubah yang menjadi inti kepada konseling tingkah 





w laku itu sendiri, diantaranya adalah :
  • Manusia itu dilihat sebagai manusia biasa, tidak ada yang sepenuh-penuhnya jahat atau sepenuh-penuhnya baik, tetapi adalah sebagai organisme berpengalaman yang mempunyai potensi kepada semua jenis tingkah laku.
  • Manusia berupaya memahami konsep serta mengawal tingkah lakunya sendiri.
  • Manusia berupaya memperoleh tingkah lakunya yang baru.
  • Manusia mempunyai keupayaan untuk mempengaruhi tingkah laku lain sebagaimana ia dipengaruhi oleh orang lain terhadap tingkah lakunya sendiri.
              Bagi konselor tingkah laku, individu adalah hasil daripada pengalaman. Ahli-ahli tingkah laku melihat tingkah laku yang salah terima itu sebagai makhluk yang mempelajari tingkah lakunya, perkembangan dan pembaikannya adalah sama dengan sebarang tingkah laku lain. Satu implikasi daripada pandangan ini ialah tidak adanya tingkah laku yang salah terima bagi diri mereka itu. Selain itu sesuatu tingkah laku itu menjadi wajar disebabkan seseorang itu menganggapnya tidak begitu. Setengah-setengah tingkah laku mungkin dianggap wajar di rumah, tetapi tidak wajar di sekolah, begitu juga sebaliknya.
  1. Asumsi Perilaku Bermasalah
Tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan negatif atau tingkah laku yang tidak tepat, yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan. Tingkah laku yang salah hakikatnya terbentuk dari cara belajar atau lingkungan yang salah.Manusia bermasalah mempunyai kecenderungan merespon tingkah laku negatif dari lingkungan.
Tingkah laku maladaftif terjadi karena kesalah pahaman dalam menanggapi lingkungan dengan tepat. Seluruh tingkah laku manusia didapat dengan cara belajar dan dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar
Perilaku yang bermasalah dalam pandangan Behavioris dapat dimaknakan sebagai perilaku atau kebiasaan-kebiasaan negative atau perilaku yang tidak tepat, yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Perilaku yang salah suai terbentuk melalui proses interaksi dengan lingkungannya. Artinya bahwa perilaku individu itu meskipun secara social adalah tidak tepat, dalam beberapa saat memperoleh ganjaran dari pihak tertentu Dari cara demikian akhirnya perilaku yang tidak diharapkan secara sosial atau perilaku yang tidak tepat itu menguat pada individu
Perilaku yang salah suai dalam penyesuaian dengan demikian berbeda dengan perilaku normal. Perbedaan ini tidak terletak pada cara mempelajarinya, tetapi pada tingkatannya yaitu tidak wajar dipandang. Perilaku yang perlu dipertahankan atau dibentuk pada individu adalah perilaku yang bukan sekedar memperoleh kepuasan pada jangka pendek, tetapi perilaku yang tidak menghadapi kesulitan-kesulitan yang lebih luas, dan dalam jangka yang lebih panjang.
Manusia bermasalah itu mempunyai kecenderungan merespon tingkah laku negatif dari lingkungannya. Tingkah laku maladaptif terjadi juga karena kesalapahaman dalam menanggapi lingkungan dengan tepat. Seluruh tingkah laku manusia didapat dengan cara belajar dan juga tingkah laku tersebut dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar.
Dilihat dari sudut pandang behavioris, perilaku bermasalah dapat dimaknai sebagai perilaku atau kebiasaan yang negatif atau dapat dikatakan sebagai perilaku yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan yang diharapkan.     Masalah perilaku yang biasanya sering terjadi pada konseli meliputi serangan panik, membantu anak untuk mengatasi rasa takut terhadap gelap, meningkatkan produktivitas kreatif, mengelola kecemasan dalam situasi sosial, mendorong berbicara di depan kelas, pengendalian merokok, dan berurusan dengan depresi
Munculnya perilaku bermasalah disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
  • adanya salah penyesuaian melalui proses interaksi dengan lingkungan.
  • adanya pembelajaran yang salah dalam keluarga, lingkungan sekolah, tempat bermain dan lain-lain. Seperti halnya kehidupan di kota-kota besar pada saat ini begitu kompleks dan bervariasi. Sikap hidup menjadi individualistis, egois, apatis dan hubungan sosial menjadi renggang.
Dalam suasana hidup seperti di atas, banyak orang menggunakan mekanisme pelarian dan mekanisme pertahanan diri yang negatif. Untuk dapat bertahan dan menghindari kesulitan hidup tidak sedikit terjadi tindakan kriminal. Bentuk mekanisme yang negatif menyebabkan timbulnya tingkah laku yang tidak normal (patologis).
Menurut pandangan behavioral, perilaku bermasalah adalah kebiasaan negatif atau perilaku yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Perilaku bermasalah ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah adanya salah suai dalam proses interaksi dengan lingkungan, adanya pembelajaran yang salah dalam rumah tangga, tempat bermain, lingkungan sekolah, dan lingkungan lainnya. Perilaku dikatakan salah suai jika perilaku tersebut tidak membawa kepuasan bagi individu, atau membawa individu kepada konflik dengan lingkungannya.
Terbentuknya suatu perilaku dikarenakan adanya pembelajaran, perilaku itu akan dipertahankan atau dihilangkan tergantung pada peran lingkungan dalam bentuk konsekuensi yang menyertai perilaku tersebut. Misalnya perilaku merusak (destructif) di kelas dapat bertahan karena adanya ganjaran (reinforcement) berupa pujian dan dukungan dari sebagian teman-temannya dan merasa puas dengan ganjaran itu, sedangkan hukuman (punishment) yang diberikan oleh guru tidak cukup kuat untuk melawan kekuatan ganjaran yang diperolehnya. Perubahan perilaku yang diharapkan dapat terjadi jika pemberian ganjaran atau hukuman dapat diberikan secara tepat.
Terbentuknya perilaku yang dicontohkan di atas disebabkan karena adanya peran lingkungan dalam bentuk konsekuensi-konsekuensi yang mengikuti dari suatu perilaku dan hal itu termasuk dalam teori belajar perilaku operan dari Skinner. Selain teori belajar Skinner, Bandura juga mencontohkan perilaku agresif di kalangan anak-anak.
Timbulnya perilaku bermasalah yang ditandai dengan tindakan melukai atau menyerang baik secara fisik maupun verbal, dikarenakan adanya proses mencontoh atau modeling baik secara langsung yang disebut imitasi atau melalui pengamatan tidak langsung (vicarious). Misalnya anak bersikap agresif karena sering dipukuli atau anak sering melihat orang tuanya bertengkar bahkan lewat media televisi anak dapat mencontoh adegan-adegan yang bersifat kekerasan.
Perilaku yang salah dalam penyesuaian berbeda dengan perilaku normal. Perbedaan ini tidak terletak pada cara mempelajarinya, tetapi pada tingkatannya, yaitu tidak wajar dipandang, dengan kata lain perilaku dikatakan mengalami salah penyesuaian jika tidak selamanya membawa kepuasan bagi individu atau akhirnya membawa individu pada konflik dengan lingkunganya. Rasa puas yang dirasakan bukanlah ukuran bahwa perilaku itu harus dipertahankan, karena boleh jadi perilaku itu akan menimbulkan kesulitan di kemudian hari. Perilaku yang perlu dipertahankan atau dibentuk pada individu adalah perilaku yang tidak menimbulkan kesulitan-kesulitan yang lebih luas dan dalam jangka yang lebih panjang.
Menurut Latipun (2008: 135) menyatakan bahwa perilaku yang bermasalah dalam pandangan behavioris dapat dimaknai sebagai perilaku atau kebiasaan-kebiasaan negative atau perilaku yang tidak tepat, yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Konsleing behavioral digunakan untuk membantu masalah konseli yang terkait dengan perilaku-perilaku maladaptif. perilaku yang bermasalah dalam pandangan behaviorist dapat dimaknai sebagai perilaku atau kebiasaan-kebiasaan negatif atau perilaku yang tidak tepat, yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. konseling behavioral juga dapat menangani masalah perilaku mulai dari kegagalan individu untuk belajar merespon secara adaptif hingga mengatasi gejala neurosis Sedangkan menurut Feist & Feist (2008: 398) menyatakan bahwa perilaku yang tidak tepat meliputi:
  1. Perilaku terlalu bersemangat yang tidak sesuai dengan situasi yang dihadapi, tetapi mungkin cocok jika dilihat berdasarkan sejarah masa lalunya.
  2. Perilaku yang terlalu kaku, digunakan untuk menghindari stimuli yang tidak diinginkan terkait dengan hukuman.
  3. Perilaku yang memblokir realitas, yaitu mengabaikan begitu saja stimuli yang tidak diinginkan.
  4. Pengetahuan akan kelemahan diri yang termanifestasikan dalam respon-respon-respon menipu diri.
Bagi individu tingkah laku yang tidak tepat akan menimbulkan berbagai kesulitan baik bagi diri individu itu sendiri, maupun terhadap lingkungan sekitarnya. Menurut aliran behavioral tingkah laku yang tidak tepat dipelajari dengan cara yang sama dengan tingkah laku yang tepat. Tingkah laku ini dipelajari karena pada perkembangan tertentu pernah menjadi jalan untuk memperoleh kepuasan.
Misalnya siswa berbuat kenakalan dikelas karena mereka belajar bahwa cara itulah yang perlu efektif untuk menarik perhatian guru. Hukuman guru diterima anak sebagai hadist yang memberi kepuasan kebutuhan perhatian. Walaupun orang lain memandang tingkah laku itu tidak tepat, namun bagi siswa dapat memberi reinforcement yang diharapkannya. Sama halnya, orang yang menarik diri, yang di pandang terisolir secara sosial. Hadiah dari tingkah laku menarik diri adalah tidak perlu berpartisipasi dengan situasi yang menakutkan, dimana takut ini juga dipelajari melalui pengalaman yang tidak menyenangkan di masa lalu.
Contoh lain : seorang anak yang tidak mengerjakan soal-soal mata pelajaran matematika, bagi siswa lain tentu keadaan ini merugikan, karena tidak boleh mengikuti mata pelajaran. Namun bagi siswa tersebut merasa puas karena ia tidak senang dengan mata pelajaran matematika sebagai pekerjaan rumah. Guru menyuruhnya keluar tidak mengikuti pelajaran matematika, ia merasa puas karena dapat memberikan reinforcement yang diharapkan.
Tingkah laku yang tidak tepat berbeda dengan yang tepat, hanya dalam derajat tingkah laku itu mengecewakan individu dan lingkungannya. secara luas, kebudingayaan ikut menentukan mana tingkah laku yang tepat dan tidak tepat.dari interaksi dengan kebudayaan impuls individu belajar merangsang apa saja yang dapat memuaskan dan tidak dapat memuaskan diri dan lingkungannya, dan menyususnnya dalam hirarki khasanah tingkah laku.
Tingkah laku manusia dapat dilihat dari aspek kondisi yang menyertai atau akibat yang menyertai tingkah laku setelah terbentuk dengan anticedent yang disebut dengan consequence.
            Tingkah laku dipelajari ketika individu berinteraksi dengan lingkungan melalui hukum-hukum belajar : (Alwisol, 2011 : 322)
  1. Pembiasaan klasik, yang ditandai dengan satu stimulus yang menghasilkan satu respon. Misalnya bayi merespon suara keras dengan takut.
  2. Pembiasaan operan, ditandai dengan adanya satu stimulus yang menghasilkan banyak respon. Pengondisian operan memberikan penguatan positif yang bisa memperkuat tingkah laku. Sebaliknya penguatan negatif bisa memperlemah tingkah laku. Munculnya perilaku akan semakin kuat apabila diberikan penguatan positif dan akan menghilang apabila dikenai hukuman.
  3. Peniruan, yaitu orang tidak memerlukan reinforcement agar bisa memiliki tingkah laku melainkan ia meniru. Syarat dalam meniru tingkah laku yaitu:Tingkah laku yang ditiru memang mampu untuk ditiru oleh individu yang bersangkutan dan tingkah laku yang ditiru adalah perbuatan yang dinilai publik positif.
Konseling Behavioral sebagai model konseling yang memiliki pendekatan yang berorientas pada perubahan perilaku menyimpang dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar. Perilaku manusia termasuk perilaku yang menyimpang terbentuk karena belajar dan perilaku itu dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar. Belajar yang dimaksud disini adalah perubahan perilaku yang relatif permanen sebagai hasil dari latihan atau pengalaman.
Teoritisi belajar berpendapat, tingkah laku yang tidak tepat dapat diterangkan dengan prinsip yang sama dengan pola tingkah laku yang tidak tepat, karena pada dasarnya semua tingkah laku adalah usaha individu untuk memodifikasi situasi sehingga dapat memberikan kepuasan setiggi-tingginya.
Semua tingkah laku dibentuk melalui proses belajar, tetapi tidak peduli hasilnya nanti adaptif dan maladaptif. Individu memantapkan pola tingkah lakunya karena dapat memperoleh kepuasan-kepuasan. Ini yang akan menjadi salah satu kunci proses konseling behavioral, yakni kemampuan konselor membantu klien menentukan kepuasan bagaimana yang bakal diperolehnya dari suatu tingkah laku.
Berdasarkan uraian diatas, dapat di simpulkan bahwa tingkah laku yang tidak dapat diperoleh dan dikembangkan oleh seseorang karena ia belajar dengan salah, sehingga tingkah lakunya tidak tepat, kurang, dan berlebihan. Misalnya menyendiri, belajar hanya dengan waktu yang paling minimal, merokok berlebihan, pobia, tidur berlebihan, ngeluyur, tidsk ksruan dan sebagainya
Banyak tingkah laku yang menyimpang karena individu itu hanya mengambil sesuatu yang disenangi, dan menghindari yang tidak disenangi. Psikoterapi melatih klien untuk dapat bertingkah laku yang menurut pendapatnya tidak menyenangkan. Bila seorang klien datang pada seorang psikoterapis bahwa ia mengalami suatu kecemasan. Salah satu cara untuk menghindarkan kecemasan itu dengan memanipulasi stimulus sehingga menimbulkan respon yang mendatangkan suatu ganjaran, maka terapis itu menolong klien mengurangi kecemasan.
Hal ini terjadi karena stimulus yang tidak menyenangkan (menyakitkan) sehingga perilaku yang tidak dikehendaki (simtomatik) tersebut terhambat kemunculannya. Stimulus yang tidak menyenangkan disajikan tersebut diberikan secara bersamaan dengan munculnya perilaku yang tidak dikehendaki kemunculannya. Pengkondisian ini diharapkan terbentuk asosiasi antara perilaku yang tidak dikehendaki dengan stimulus yang tidak menyenangkan.
Perilaku bermasalah adalah perilaku individu yang negative dan / atau perilaku yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, perilaku yang tidak membawa kepuasaan bagi individu, atau perilaku yang menyebabkan konflik antara individu dengan lingkungannya. Perilaku bermasalah terjadi karena adanya salah suai dalam proses interaksi individu dengan lingkungannya. Perilaku bermasalah terjadi karena proses belajar, terbentuk oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya.
Manusia bermasalah itu mempunyai kecenderungan merespon tingkah laku negatif dari lingkungannya. Tingkah laku maladaptif terjadi juga karena kesalapahaman dalam menanggapi lingkungan dengan tepat. Seluruh tingkah laku manusia didapat dengan cara belajar dan juga tingkah laku tersebut dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar.
Perilaku bermasalah juga dapat terbentuk karena modeling, perilaku mencontoh, baik berupa pengamatan langsung (imitasi), atau secara tidak langsung (vicarious). Teori belajar dengan mencontoh ini dapat dilakukan dengan modeling dan vicarious. Modeling merupakan proses belajar individu dengan menirukan atau mengulangi apa yang dilakukan oleh orang lain sebagai model dengan melibatkan penambahan atau pengurangan tingkah laku yang diamati, menggeneralisir berbagai pengamatan sekaligus melibatkan proses kognitif. Vicarious classical conditioning merupakan modeling yang digabung dengan conditioning classic. Modeling ini digunakan untuk mempelajari respon emosional. Proses vicarious classical conditioning ini dapat dilihat dari kemunculan respon emosional yang sama dalam diri seseorang dan respon tersebut ditujukan ke obyek yang ada didekatnya saat dia mengamati model ituAnak yang sering dihukum fisik, ditampar, dipukul, menyaksikan kedua orangtuanya bertengkar, maka anak akan belajar dan mencontoh perilaku agresif tersebut. Perilaku bermasalah dapat juga terjadi karena mencontoh adegan-adengan dalam games, TV, atau film.
Perilaku bermasalah ini akan tetap atau berubah tergantung pada konsekuensi-konsekuensi yang menyertai perilaku tersebut dalam lingkungan dimana individu berada. Seorang anak yang membuat gaduh di kelas, akan terus berulah jika lingkungan, guru dan teman sekelas, melakukan pembiaran, pujian atau bahkan dukungan (reinforcement), sebaliknya jika lingkungan memberikan punishment (hukuman) maka perilaku tersebut akan berhenti. Perubahan perilaku terjadi jika punishment dan reinforcement diberikan dengan tepat. Punishment yang diberikan menjadi tidak efektif jika tidak mampu meredam kekuatan reinforcement.
Perilaku bermasalah adalah perilaku individu yang negative dan / atau perilaku yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, perilaku yang tidak membawa kepuasaan bagi individu, atau perilaku yang menyebabkan konflik antara individu dengan lingkungannya.
Perilaku bermasalah terjadi karena adanya salah suai dalam proses interaksi individu dengan lingkungannya. Perilaku bermasalah terjadi karena proses belajar, terbentuk oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya. Perilaku akan terbentuk dan dipertahankan jika diberi ganjaran. Sebaliknya perilaku akan berkurang dan hilang jika diberi hukuman.
Secara general menurut Skinner bahwa pribadi manusia dapat mempengaruhi tingkah lakunya melalui manipulasi lingkungan. Asumsi yang mendasari pendekatan behavioral ini adalah bahwa karena individu yang terganggu oleh berbagai masalah spesifik maka dibutuhkan banyak strategi untuk menghasilkan perubahan
Konseling behavioral berasusmsi bahwa perilaku yang salah akibat dari pembelajaran dan pendidikan yang salah, baik sebagai akibat dari pengaruh lingkungan maupun aspek sosial lainya. Sebagai contoh, ketika menangani anak yang senang minum-minuman keras, maka yang akan dilakukan adalah memberikan terapi yang realistis dengan permasalahan yang ada. Seperti memberikan tahap-tahap dalam mengatasi kecenderungan minuman keras, disamping itu dengan merubah kebiasaan yang dari klien.
Dari penjelasan mengenai asumsi perilaku bermasalah yang telah di jelaskan tersebut dapat disimpulkan bahwa
  1. Tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan negatif atau tingkah laku yang tidak tepat, yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan.
  2. Tingkah laku yang salah hakikatnya terbentu dari cara belajar atau lingkungan yang salah.
  3. Manusia bermasalah itu mempunyai kecenderungan merespon tingkah laku negatif dari lingkungannya. Tingkah laku maladaptif terjadi juga karena kesalapahaman dalam menanggapi lingkungan dengan tepat.
  4. Seluruh tingkah laku manusia didapat dengan cara belajar dan juga tingkah laku tersebut dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belaj
  1. Tujuan Konseling
Tujuan  konseling behavioral  adalah membantu klien untuk mendapatkan tingkah laku baru. Dasar alasannya adalah bahwa segenap tingkah laku adalah dipelajari (learned), termasuk tingkah laku maladaptive (salah usai). Jika tingkah laku neurotik learned, maka ia bisa unlearned (dihapus dari ingatan)Konseling behavioral pada hakikatnya terdiri atas proses penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif dan pemberian pengalaman-pengalaman belajar yang didalamnya respon-respon yang layak yang belum dipelajari. (Corey, 2010 : 199)
Dari tujuan diatas dapat dibagi menjadi beberapa sub tujuan yang lebih konkrit yaitu:
  1. Membantu klien untuk menjadi asertif dan mengekspresikan pemikiran-pemikiran dan hasrat-hasrat ke dalam situasi yang membangkitkan tingkah laku asertif (mempunyai ketegasan dalam bertingkah laku).
  2. Membantu klien menghapus ketakutan-ketakutan yang tidak realistis yang menghambat dirinya dari keterlibatan peristiwa-peristiwa sosial.
  3. Membantu untuk menyelesaikan konflik batin yang menghambat klien dari pembuatan pemutusan yang penting bagi hidupnya.
Adapun tujuan khusus dari konseling behavioral adalah membantu klien menolong diri sendiri, mengembalikan klien ke dalam masyarakat, meningkatkan keterampilan sosial, memperbaiki tingkah laku yang menyimpang, membantu klien mengembangkan sistem self management dan self control. (Sutarno, 2003 : 8) Sehingga tujuan dari konseling behavioral adalah membentuk perilaku baru yang adaptif melalui proses belajar dan lingkungan.
Tingkah laku tertentu pada individu dipengaruhi oleh kepuasan dan ketidakpuasan yang diperolehnya. Manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar melainkan merupakan hasil belajar, sehingga ia dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi pembentukan tingkah laku. Adapun karakteristik konseling behavioral menurut Corey (1997) dan George dan Cristiani (1990) adalah :
  1. berfokus pada tingkah laku yang tampak dan spesifik
  2. Memerlukan kecermatan dalam perumusan tujuan konseling
  3. Mengembangkan prosedur perlakuan spesifik sesuai dengan masalah klien
  4. Penilaian yang obyektif terhadap tujuan konseling.
Berdasarkan karakteristik ini dapat dipahami bahwa tujuan dari terapi tingkah laku dalam konseling adalah :
  1. Mencapai kehidupan tanpa mengalami perilaku simtomatik, yaitu kehidupan tanpa mengalami kesulitan atau hambatan perilaku, yang dapat membuat ketidakpuasan dalam jangka panjang dan/atau mengalami konflik dengan kehidupan sosial.
  2. Mengubah perilaku salah dalam penyesuaian dengan cara-cara memperkuat perilaku yang diharapkan, dan meniadakan perilaku yang tidak diharapkan serta membantu menemukan cara-cara berperilaku yang tepat.
Ada tiga fungsi tujuan konseling behavioral, yaitu : (1) sebagai refleksi masalah klien dan dengan demikian sebagai arah bagi proses konseling,  (2) sebagai dasar pemilihan dan penggunaan strategi konseling, dan (3) sebagai kerangka untuk menilai konseling.
Secara operasional tujuan konseling behavioral dirumuskan dalam bentuk dan istilah-istilah yang khusus, melalui : (1) definisi masalah, (2) sejarah perkembangan klien, untuk mengungkapkan kesuksesan dan kegagalannya, kekuatan dan kelemahannya, pola hubungan interpersonal, tingkah laku penyesuaian, dan area masalahnya, (3) merumuskan tujuan-tujuan khusus, (4) menentukan metode untuk mencapai perubahan tingkah laku.
Sedangkan tujuan konseling menurut Krumboltz harus memperhatikan criteria berikut : (1) tujuan harus diinginkan oleh klien , (2) konselor harus berkeinginan untuk membantu klien mencapai tujuan dan (3) tujuan harus mempunyai kemungkinan untuk dinilai pencapaiannya oleh klien .
Tujuan konseling dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu (1) memperbaiki perilaku salah sesui, (2) belajar tentang proses pembuatan keputusan, dan (3) Pencegahan timbulnya masalah-masalah.
Adapun tujuan dari pembahasan tentang teknik konseling behavioral ini adalah :
  • Untuk mengetahui sejarah, konsep, dan teknik pelaksanaan konseling behavioral dengan baik dan benar.
  • Memahami metode dan ciri khas yang terdapat dalam pelaksanaan konsep teori behavioral dalam format konseling kelompok.
  • Menjelaskan kajian-kajian dan peranan konselor dan konseli dalam proses konseling kelompok behavioral.
Menurut Corey (1986, 178) ada tiga tujuan dalam konseling behavioral yaitu (1) sebagai refleksi masalah klien dan dengan demi dan sebagai arah bagi konseling , (2) sebagai dasar pemilihan dan penggunaan strategi konseling , dan (3) sebagai kerangka untuk menilai hasil konseling. Urutan pemilihan dan penetapan tujuan yang digambarkan oleh Cormier and Cormier (Corey, 1986,178) sebagai salah satu bentuk kerja sama antara konselor dengan klien , adalah sebagi berikut :
  1. Konselor menjelaskan hakekat dan maksud dari tujuan .
  2. Klien mengkhususkan perubahan –perubahan positif yang dikehendaki sebagai hasil konseling
  3. Klien dan konselor menetapkan tujuan yang telah ditetapkan apakah merupakan perubahan yang dimiliki oleh klien .
  4. Bersama-sama menjajagi apakah tujuan-tujuan itu
  5. Mereka mendiskusikan kemungkinan manfaat –manfaat tujuan .
  6. Mereka mendiskusikan kemungkinan kerugian-kerugian tujuan.
  7. Atas dasar informasi yang diperoleh tentang tujuan klien, konselor dan klien membuat salah satu keputusan berikut untuk melanjutkan konseling atau mempertimbangkan kembali tujuan akan mencari referal.
Mereka mendiskusikan kemungkinan kerugian-kerugian tujuan atas dasar informasi yang diperoleh tentang tujuan klien ,konselor dan klien membuat salah satu keputusan berikut: untuk melanjutkan konseling ,atau mempertimbangkan kembali tujuan akan mencari referral,
Bila pemilihan tujuan di atas dapat diselesaikan, maka proses penentuan tujuan dimiliki. Proses ini mencakup usaha bersama dimana konselor dan klien membahas tingkah laku yang dihubungkan dengan tujuan-tujuan tersebut, kondisi-kondisi perubahan, tingkat perubahan tingkah laku, hakikat sub-sub tujuan dan rencana tindakan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Setelah tujuan ditetapkan dan ditentukan, tugas terapis adalah untuk memilih strategi terapeutik yang dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Dalam poin itulah klien dan terapis melakukan kesepakatan terapeutik. Gotman dan Laiblum (1973) menyatakan bahwa kesepakatan/persetujuan tertulis dan ditandatangani dapat digunakan untuk menegaskan kesepakatan tujuan dan aturan-aturan prosedural treatment. Dalam pandangan mereka, ada implikasi penting dari memiliki kesepakatan seperti :
  • Kesepakatan terapeutik meningkatkan kesepalatan-kesepakatan membuat konselor/klien alliance operational.
  • Kesepakatan terapeutik menekankan pada klien pentingnya partisipasi aktif dalam proses terapeutik dan bukan membantu perkembangan sikap spektator pasif.
  • Kesepakatan terapeutik adalah hubungan dasar antara prosedur-prosedur atau teknik-teknik yang digunakan dengan tujuan kongkrit klien.
Tujuan konseling behavioral berorientasi pada pengubahan atau modifikasi perilaku konseli, yang di antaranya :
  1. Menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar
  2. Penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif
  3. Memberi pengalaman belajar yang adaptif namun belum dipelajari
  4. Membantu konseli membuang respon-respon yang lama yang merusak diri atau maladaptif dan mempelajari respon-respon yang baru yang lebih sehat dan sesuai (adjustive).
  5. Konseli belajar perilaku baru dan mengeliminasi perilaku yang maladaptive, memperkuat serta mempertahankan perilaku yang diinginkan.
  6. Penetapan tujuan dan tingkah laku serta upaya pencapaian sasaran dilakukan bersama antara konseli dan konselor.
  7. Peran Konseling Behavioral
                        Menurut Corey (2003: 205) menyatakan bahwa terapis tingkah laku harus memainkan peran aktif dan direktif dalam pemberian treatment, yaitu terapis menerapkan pengetahuan ilmiah pada pencarian pemecahan-pemecahan bagi masalah manusia, para kliennya. Terapis tingkah laku secara khas berfungsi sebagai guru, pengarah, ahli dalam mendiagnosis tingkahlaku yang maladatif dan dalam menentukan prosedur-prosedur penyembuhan yang diharapkan mengarah pada tingkah laku yang baru dan adjustive.
Hakikatnya  fungsi dan peranan  konselor  terhadap  konseli  dalam  teori  behavioral  ini adalah  :
  1. Mengaplikasikan  prinsip  dari  mempelajari  manusia  untuk  memberi fasilitas  pada  penggantian  perilaku  maladaptif  dengan  perilaku  yang  lebih adaptif.
  2. Menyediakan sarana untuk mencapai sasaran konseli, dengan membebaskan  seseorang dari  perilaku yang  mengganggu  kehidupan  yang efektif sesuai dengan nilai demokrasi tentang hak individu untuk bebas mengejar sasaran yang dikehendaki  sepanjang sasaran itu  sesuai  dengan  kebaikan masyarakat secara umum.
            Perubahan dalam perilaku itu harus di usahakan melalui suatu proses belajar atau belajar kembali, yang berlangsung selama proses konseling. Oleh karena itu ,proses konseling di pandang sebagai suatu proses pendidikan yang berpusat pada usaha membantu dan kesediaan di bantu untuk belajar perilaku baru dan dengan demikian mengatasi berbagai macam permasalah. Perhatian di fokuskan pada perilaku-perilaku tertentu yang dapat di amati ,yang selam aproses konseling melalui berbagai prosedur dan aneka teknik tertentu akhirnya menghasilkan perubahan yang nyata, yang juga dapat di saksikan dengan jelas. Semua usaha untuk mendatangkan perubahan dalam tingkah laku di dasar kanpadateori belajar yang di kenal dengan nama Behaviorism dan sudah di kembangkan sebelum lahirnya aliran Behavioral dalam konseling. Konselor behavioral memiliki peran yang sangat penting dalam membantu konseling. Wol pemengemukakan peran yang harus di lakukan konselor, yaitu bersikap menerima, mencoba memahami konseli dan apa yang di kemukakantan pamenilai atau mengkritiknya. Dalam hal menciptakan iklim yang baik adalah sangat penting untuk mempermudah melakukan modifikasi perilaku. Konselor lebih berperan sebagai guru yang membantu konseli melakukan teknik-teknik modifikasi perilaku yang sesuai dengan masalah, tujuan yang hendak dicapai
            Terapi behavior memiliki prosedur kerja yang jelas, sehingga konselor dan konseli memiliki peran yang jelas. Ini berarti untuk mencapai tujuan terapi sangat dibutuhkan kerjasama yang baik antara konselor dan konseli. Adapun sikap, peran dan tugas konseli dalam proses terapi ialah meliputi :
  • Memiliki motivasi untuk berubah
  • Kesadaran dan partisipasi konseli dalam proses terapi, baik selama sesi terapi maupun dalam kehidupan sehari-hari
  • Klien terlibat dalam latihan perilaku baru dan umumnya menerima pekerjaan rumah yang aktif (seperti self-monitoring perilaku bermasalah) untuk menyelesaikan antara sesi terapi.
  • Terus menerapkan perilaku baru setelah pengobatan resmi telah berakhir.
  • Peran Konselor
            Pada umumnya konselor yang mempunyai orientasi behavioral bersikap aktif dalam proses konseling. Konseli belajar menghilangkan atau belajar kembali bertingkah laku tertentu. Dalam proses ini, konselor berfungsi sebagai konsultan, guru, pemberi dukungan dan fasilitator. Ia bisa juga memberi instruksi atau mensupervisi orang-orang pendukung yang ada di lingkungan konseli yang membantu dalam proses perubahan tersebut. Konselor behavioral yang efektif beroperasi dengan perspektif yang luas dan terlibat dengan konseli dalam setiap fase konseling (Gladding, 2004).
            Sikap yang dimiliki oleh konselor behavior ialah menerima, dan mencoba memahami apa yang dikemukakan konseli tanpa menilai atau mengkritiknya. Dalam proses terapi, konselor berperan sebagai guru atau mentor. Tugas utama terapis adalah untuk melakukan tindak lanjut penilaian untuk melihat apakah perubahan yang tahan lama dari waktu ke waktu
            Fungsi dan tugas konselor juga dijelaskan untuk mengaplikasikan  prinsip  dari  mempelajari manusia untuk memberi fasilitas pada penggantian perilaku maladaptif  dengan perilaku yang lebih adaptif. Kemudian menyediakan sarana untuk mencapai sasaran konseli, dengan membebaskan  seseorang dari  perilaku yang  mengganggu  kehidupan  yang efektif sesuai dengan nilai demokrasi tentang hak individu untuk bebas mengejar sasaran yang dikehendaki  sepanjang sasaran itu  sesuai  dengan  kebaikan masyarakat secara umum.
            Lebih rincinya peranan seorang konselor dalam proses konseling kelompok ini, antara lain adalah :
  1. Konselor berperan sebagai guru, pengarah, dan ahli dalam mendiagnosis tingkah laku yang ditunjukan oleh konseli.
  2. Konselor harus menerima dan memahami konseli tanpa mengadili atau mengkritik.
  3. Konselor juga harus dapat membuat suasana yang hangat, empatik dan memberikan kebebasan bagi konseli untuk mengekspresikan diri.
  4. Memberikan informasi dan menjelaskan proses yang dibutuhkan anggota untuk melakukan perubahan.
  5. Konselor harus memberikan reinforcement.
  6. Mendorong konseli untuk mentransfer tingkah lakunya dalam kehidupan nyata.
  • Peran Konseli
            Keberadaan konseli dalam konseling kelompok khususnya behavioral tidak harus berasal dari konseli yang mempunyai permasalahan yang sama. Setiap anggota kelompok diberikan kesempatan untuk menanggapi persoalan yang sedang dihadapi oleh salah seorang anggota kelompok. Di sini, ada semacam sharing pendapat di antara teman sebaya dalam memecahkan sebuah persoalan.
            Terapi behavior memiliki prosedur kerja yang jelas, sehingga konselor dan konseli memiliki peran yang jelas. Ini berarti untuk mencapai tujuan terapi sangat dibutuhkan kerjasama yang baik antara konselor dan konseli. Adapun sikap, peran dan tugas konseli dalam proses terapi ialah meliputi :
  • Memiliki motivasi untuk berubah
  • Kesadaran dan partisipasi konseli dalam proses terapi, baik selama sesi terapi maupun dalam kehidupan sehari-hari
  • Klien terlibat dalam latihan perilaku baru dan umumnya menerima pekerjaan rumah yang aktif (seperti self-monitoring perilaku bermasalah) untuk menyelesaikan antara sesi terapi.
  • Terus menerapkan perilaku baru setelah pengobatan resmi telah berakhir.
            Adapun peranan atau hak seorang konseli dalam proses konseling kelompok behavioral, antara lain adalah :
  1. Setiap anggota mengemukakan masalahnya secara khusus, meneliti variabel eksternal dan internal yang mungkin menstimulasi dan menguatkan perilakunya dan lebih lanjut membuat pernyataan perilaku baru yang diharapkan.
  2. Konseli dituntut memiliki kesadaran dan berpartisipasi dalam terapeutik.
  3. Konseli berani menanggung resiko atas perubahan yang ingin dicapai.
Dalam kegiatan konseling, konselor memegang peranan aktif dan langsung. Hal ini bertujuan agar konselor dapat menggunakan pengetahuan ilmiah untuk menemukan masalah-masalah konseli sehingga diharapkan kepada perubahan perilaku yang baru. Sistem dan prosedur konseling behavioral sangat terdefinisikan, juga demikian pula peranan yang jelas dari konselor dan konseli.
Konseli harus mampu berpartisipasi dalam kegiatan konseling, ia harus memiliki motivasi untuk berubah, harus bersedia bekerjasama dalam melakukan aktivitas konseling, baik ketika berlangsung konseling maupun diluar konseling.Dalam hubungan konselor dengan konseli ada beberapa hal yang harus dilakukan, yaitu :
  • Konselor memahami dan menerima konseli.
  • Antara konselor dan konseli saling bekerjasama dalam satu kelompok.
  • Konselor memberikan bantuan dalam arah yang diinginkan konseli.
  1. Teknik Konseling Behavioral
            Teknik-teknik konseling yang bisa dan biasa digunakan dalam Konseling behavioral adalah :
  1. Latihan Asertif (Assertive training)
            Latihan asertif merupakan latihan mempertahankan diri akibat perlakuan orang lain yang menimbulkan kecemasan. Klien yang menunjukkan rasa cemas, diberi tahu bahwa dirinya mempunyai hak untuk mempertahankan diri.Ia silatih untuk memelihara harga dirinya dengan berulang kali diberi latihan mempertahankan diri. Lathian seperti ini memungkinkan klien dapat mengendalikan lingkungannya. Apabila rangsangan dari lingkungan tersebut terlalu kuat sehingga berat untuk mengendalikannya dapat dilakukan dengan desensitisasi.
Menurut Corey, (2011:213) latihan asertif akan membantu bagi orang-orang yang (1) tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung, (2) menunjukkan kesopanan berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya (3) memiliki kesulitan untuk mengatakan “tidak” (4) mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respons-repons positif lainnya (5) merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri.
Latihan asertif menggunakan prosedur-prosedur permainan peran. Suatu masalah yang khas yang bisa dikemukakan sebagai contoh adalah kesulitan klien dalam menghadapi atasannya di kantor. Terapi kelompok latihan asertif pada dasarnya merupakan penerapan latihan tingkah laku pada kelompok dengan sasaran membantu individu-individu dalam mengembangkan cara-cara berhubungan yang lebih langsung dalam situasi-situasi interpersonal.Fokusnya adalah memprakterkan melalui permainan peran, kecakapan-kecakapan bergaul yang baru diperoleh sehinggal individu-individu diharapkan mampu mengatasi ketakmemadainya dan belajar bagaimana mengungkapkan perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran mereka secara lebih luas dan terbuka disertai keyakinan bahwa mereka berhak untuk menunjukkan reaksi-reaksi yang terbuka. (Corey, 2010: 215)
Sehingga dapat disimpulkan untuk latihan asertif ini lebih membentuk tingkah laku baru dalam menghadapi hubungan dengan orang lain dan menghapus tingkah laku yang lama yang memuat klien merasa cemas.
Contohnya, seorang siswa yang takut kalau dimarahi gurunya, pertama-tama klien memainkan peran sebagai gurunya dan konselor sebagai siswanya, lalu konselor meniru cara siswa dalam berpikir dan cara menghadapi gurunya. Lalu antara keduanya saling bertukar peran, konselor sebagai gurunya dengan arahan klien untuk menunjukkan peran guru secara realistis, sambil konselor melatih dan mengarahkan klien dalam menghadapi gurunya. Maka secara perlahan akan terbentuk tingkah laku baru pada diri klien.
  1. Desensitisasi sistematis
            Desensititasi berarti menenangkan ketegangan klien dengan jalan mengajri/melatih klien untuk santai/rileks. Desensititasi sistematis merupakan teknik konseling behavioral yang memfokuskan bantuan untuk menenangkan klien dari ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan klien untuk rileks
            Latihan rileks ini bisa dilakukan dalam lima atau enam sesi. Apabila klien telah mampu melakukan rileks, klien dibantu untuk menyusun urutan stimulus yang mencemaskan.Dalam hal ini, klien diminta secara bertahap membayangkan stimulus mulai dari yang paling kurang menemaskan hingga yang paling mencemaskan; klien dilatih untuk tetap rileks disaat mengahadapi stimulus yang mencemaskan itu. Demikian seterusnya hingga ia dapat membayangkan stimulus itu tanpa adanya kecemasan lagi. Jadi, dengan teknik ini dimaksudkan agar klien dapat mengganti perasaan cemas terhadap stimulus tertentu dengan perasaan rileks terhadap stimulus tertentu.
            Menurut Gerald Corey dalam bukunya Konseling dan Psikoterapi hlm 210 bahwa Desentisisasi sistematik adalah teknik yang cocok untuk menangani fobia-fobia, tetapi keliru apabila menganggap teknik ini hanya bisa diterapkan pada penanganan ketakutan-ketakutan. Desentisisasi sistematik bisa diterapkan secara efektif pada berbagai situasi penghasil kecemasan, mencakup situasi interpersonal, ketakutan menghadapi ujian, ketakutan-ketakutan yang digeneralisasi.
            Sehingga dapat disimpulkan teknik desentisisasi sistemik ini lebih membantu klien dalam terapi penyembuhan kecemasan dalam diri klien yang lebih disebabkan oleh fobia-fobia maupun ketakutan klien dengan mengajak klien untuk rileks membayangkan hal-hal yang membuat takut dari hal yang paling mengerikan sampai hal yang kurang mengerikan.
            Contohnya, klien fobia dengan balon, selalu ketakutan kalau melihat balon, lalu klien diajak rileks membayangkan bentuk balon, kecemasan ditingkatkan yaitu dengan klien diajak melihat balon dari kejauhan, ditingkatkan lagi dengan mengajak klien memegang balon disini kecemasan klien meningkat tajam sampai akhirnya klien diajak untuk meletuskan balon disini tingkat kecemasan klien sampai pada puncaknya dengan memberikan klien stimulus yang berupa motivasi, musik atau air minum.
  1. Pengkondisian Aversi
Teknik ini digunakan untuk menghilangkan kebiasaan buruk, dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan klien agar mengganti respons pada stimulus yang disenangi dengan kebalikan respons terhadap stimulus tersebut, dibarengi stimulus yang merugikan atau tidak mengenakan dirinya.
Hal ini dilakukan dengan cara menyajikan stimulus yang tidak menyenangkan (menyakitkan) sehingga perilaku yang tidak dikehendaki tersebut terhambat kemunculannya. Stimulus yang tidak menyenangkan disajikan tersebut diberikan secara bersamaan dengan munculnya perilaku yang tidak dikehendaki kemunculannya. Pengkondisian ini diharapkan terbentuk asosiasi antara perilaku yang tidak dikehendaki dengan stimulus yang tidak menyenangkan.
Contoh, untuk menyembuhkan pria homoseks. Kepada pria homoseks diperlihatkan foto pria telanjang sambil mengalitkan setrum listrik pada kakinya yang tidak beralas.Dalam terapi ini, setiap kali kepada klien diperlihatkan stimulus yang disenangi (foto pria telanjang) diikuti dengan rasa sakit akibat di setrum listrik.Begitu terus setiap melihat foto pria telanjang selalu dibarengi rasa sakit dan lama kelamaan tidak tertarik lagi pada pria.
Teknik- teknik pengkondisian aversi, yang telah digunakan secara luas untuk meredakan gangguan-gangguan behavioral spesifik, melibatkan pengasosian tingkah laku yang tidak diinginkan terhambat kemunculan.Stimulus-situmulus aversi biasanya berupa hukuman dengan kejutan listrik atau pemberian ramua yang membuat mual.Kendali aversi bisa melibatkan penarikan pemerkuat positif atau penggunaan berbagai bentuk hukuman.
Contoh pelaksanaan penarikan pemerkuat positif adalah mengabaikan ledakan kemarahan anak guna menghapus kebiasaan mengungkapkan ledakan kemarahan pada si anak.Jika perkuatan ditarik, tingkah laku yang tidak diharapkan cenderung berkurang frekuensinya.
Contoh penggunaan hukuman sebagai cara pengendalian adalah pemberian kejutan listrik kepada anak autistik ketika tingkah laku spesifik yang tidak diinginkan muncul. Butir yang penting adalah bahwa prosedur-prosedur aversif ialah menyajikan cara-cara menahan respons-respons maladaptif dalam suatu periode sehingga terdapat kesempatan untuk memperoleh tingkah laku alternatif yang adaptif dan yang akan terbukti memperkuat dirinya (Corey, 2010:216-217)
Sehingga dapat disimpulkan bahwa terapi aversif ini lebih membentuk tingkah laku baru yang lebih spesifik yang adaptif dari yang semula maladaptif, atau tingkah laku yang sesuai aturan.
  1. Pembentukan Tingkah laku Model
Teknik ini dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku baru pada klien, dan memperkuat tingkah laku yang sudah terbentuk. Dalam hal ini konselor menunjukkan kepada klien tentang tingkah laku model, dapat menggunakan model audio, model fisik, model hidup atau lainnya yang teramati dan dipahami jenis tingkah laku yang hendak dicontoh. Tingkah laku yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran dapat berupa pujian sebagai ganjaran sosial.
  1. Naskah dialog pelaksamaan konseling Behavioristik
Naskah Dialog Behavioristik
  • Tema : Phobia
  • Ritme Cerita
  1. Pemeran : Nurmadita Sari sebagai konselor
                                  Sofah Marwah sebagai konseli
           Ade Peni Afifah sebagai sutradara
           Enci Ranyu sebagai kameramen
             Nur Khomisah sebagai editor
  1. Permasalahan : Sofah marwah memiliki phobia terhadap ulat                                     yang berlebihan
  2. Latar             : Tempat : Universitas Pancasakti Tegal
           Waktu   : Siang jam 11.00 WIB
  1. Attending
Konseli            : (Mengetuk pintu), “Assalamu’alaikum Wr. Wb.” Berjabat                             tangan dengan konselor.
Konselor          : Wa’alaikum Salam, menghampiri klien dan mempersilahkan
                                       duduk.
  1. Opening
            Konseli            : (Duduk di kursi yang telah dipersiapkan) maaf bu, siang-iang                                  gini sudah mengganggu.
            Konselor          : Oh…, tidak apa-apa mb sofah, oya bagaimana kabarnya mb ?                                    (senyum dan mulai percakapan).
            Konseli            :” Alhamdulillah baik bu”.
            Konselor          : Syukurlah kalau begitu, bagamana dengan kuliahnya?
            Konseli            : Alhamdulillah lancar bu,
            Konselor          : Oya, ada yang bisa ibu bantu.
  1. Acceptance
            Konseli            :Hmm… gini bu, saya itu pobia dengan ulat, dan pobia                                             itu sangat mengganggu saya.
            Konselor          : Iya…ibu dapat memahami perasaan mb sofah (sambil                                               mengangguhkan kepala).
            Konseli            : Iya bu, bagaimana tidak mengganggu, saya terkadang di                                          bully oleh teman- teman saya, itu membuat saya ketakutan                                   bu.
            Konselor          : Konselor mengangguk kepala dan memandangi konseli)                                         hmm…iya..iya..
  1. Restatement
Konseli            :Saya benar-benar merasa takut terhadap ulat bu. Yang hal              tersebut membuat saya sering dibully.
            Konselor          : Mba sofah merasa takut.
  1. Reflection of feeling
Konseli            : Bu.. saya sudah berusaha mencoba agar tidak takut terhadap                                  ulat tapi tetap saja.
            Konselor          : Sepertinya anda merasa kecewa terhadap usaha anda.
  1. Clarification
Konseli            : Dulu saya pernah kejatuhan ulat di pundaknya, muka ulat                                        tersebut menghadap ke muka.hal tersebut membuat saya                                               takut dan trauma hingga sekarang.
            Konselor          : Dengan kata lain, anda takut karena pernah kejatuhan ulat.
  1. Paraphrashing
Konseli            : Hal ini membuat saya merasa takut dan trauma yang                                                 berkepanjangan.
            Konselor          : “Tampaknya anda merasa tertekan”
  1. Structuring
            Konseli            : Saya sulit sekali menyesuaikan diri dengan teman-teman                                          yang membully saya.
            Konselor          : Anda kemari untuk membahas masalah anda dengan saya.                                      Marilah kita manfaatkan waktu 45 menit itu dengan sebaik-                          baiknya, saya tidak dapat memberikan nasihat sebagaimana                               yang anda minta. tetapi, marilah kita bicarakan masalah ini                                       bersama.
            Konseli            : Bu. Saya sulit sekali untuk menghilangkan pobia ini, karena                                     pobia ini saya sering di bully oleh teman-teman, jadinya saya                             terganggu.
            Konselor          : Dalam masalah yang anda kemukakan tadi setidaknya ada 3                                   masalah yaitu pobia, di bully teman, dan terganggu.
            Konseli            : Bu, bagaimana cara penanganannya agar pobia ini sembuh?
            Konselor          : Coba anda tenangkan dulu, tarik nafas dan relaksasikan                                            pikiran anda.
            Konseli            : (Diam) saya bingung bu harus bagaimana lagi.
Teknik Konseling Thought Stopping
            Konselor          : Coba anda tutup mata, bayangkan di depan anda ada sebuah                                 ulat. Kemudian katakan dalam hati “Saya tidak takut ulat”                                  berkali-kali (beberapa menit).
            Konseli            : “(Diam dan membayangkan)”.
            Konselor          : Bagaimana perasaanmu? Apakah lebih baik?
            Konseli            : Saya masih merasa takut bu.
            Konselor          :Kalau begitu, ini ada sebuah gambar. Coba anda lihat gambar                                  ini (sambil menunjukkan gambar ulat yang sebelumnya sudah                             di browsing).
            Konseli            : (Histeris)
            Konselor          : (mencoba menenangkan klien)
            Konseli            : (mulai tenang)
            Konselor          : Bagaimana mba sofah apakah ingin berhenti sampai sini saja                                    atau di lanjut dilain hari?
            Konseli            : Saya rasa cukup untuk hari ini dan diganti dilain hari saja                             bagaimana bu?
            Konselor          : Iya saya bisa.
  • Hari kedua
            Konseli            : (Mengetuk pintu), “Assalamu’alaikum Wr. Wb.” Berjabat                           tangan dengan konselor.
            Konselor          : Wa’alaikum Salam, menghampiri klien dan mempersilahkan                                    duduk.
            Konseli            : (Duduk di kursi yang telah dipersiapkan) maaf bu, siang-                                         siang gini sudah mengganggu.
            Konselor          : Bagaimana mba sudah siap untuk melanjutkan konseling?
            Konseli            : Ya saya sudah siap bu
            Konselor          : Disini saya akan menunjukan gambar ulat kembali, apakah                                       anda sudah siap?
            Konseli            : Iya bu saya sudah siap
            Konselor          : (menunjukan gambar ulat kepada konseli)
            Konseli            : (histeris yang sudah mulai berkurang)
            Konselor          : coba anda pegang foto ulat ini.
            Konseli            : (sudah berani memegang gambar ulat)
            Konselor          : Anda untuk saat ini sudah ada perubahan.
                                     Saya memiliki mainan ulat, apakah anda berani untuk                                               memegangnya?
            Konseli            : (ekspresi ragu) baik saya akan mencoba bu
            Konselor          : Baik saya akan mengambil mainan ulat dulu
            Konseli            : Silahkan bu
            Konselor          : (menyodorkan mainan ulat kepada konseli) coba anda sentuh                                  ulat ini
            Konseli            : (agak ragu sambil menyentuh ulat secara perlahan-lahan)
            Konselor          : Coba anda tenang dulu (sambil mengelus pundak klien).
                                    Coba sekali lagi anda coba untuk memegang ini
            Konseli            : Baiklah Bu… (sambil memegang ulat dan berkurang                                                 histerisnya)
            Konselor          : sejauh ini anda sudah ada perubahan mengenai phobianya                                         dari melihat ulat sampai memegang ulat
            Konseli            : Terima kasih bu sudah membuat saya untuk menghilangkan                                      phobia ulat
            Konselor          : Iya sama-sama bu. Jangan sungkan-sungkan lagi ketika                                           meminta bantuan lagi.
            Konseli            : (bersalaman dengan konselor dan meninggalkan ruang.
BAB III
PENUTUP

  1. Saran
Demikianlah makalah yang sederhana yang telah tersusun jika masih ada banyak kekurangan di sana sini. Oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah ini.
  1. Simpulan
       Sejarah konseling behavioral bermula pada Ivan Sechenov (1829-1905), bapak psikologi Rusia. Struktur hipotetiknya, dikembangkan sekitar 1863.
         Konseling Behavioral pada mulanya disebut dengan Terapi Perilaku yang berasal dari dua arah konsep yakni Pavlovian dari Ivan Pavlov dan Skinnerian dari B.F. Skinner. Mula-mula terapi ini dikembangkan oleh Wolpe (1958) untuk menanggulangi (treatment) neurosis. Tujuan terapi adalah untuk memodifikasi koneksi-koneksi dan metode-metode Stimulus-Respon (S-R) sedapat mungkin.
       Konseling behavioral dikenal juga dengan modifikasi perilaku yang dapat diartikan sebagai tindakan yang bertujuan untuk mengubah perilaku
       Dalam konsep behavioral, perilaku merupakan hasil belajar, sehinga dapat diubah dengan manupulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi belajar. Pada dasarnya, proses konseling merupakan suatu penataan proses atau pengalaman belajar untuk membantu individu memngubah perilakunya agar dapat memecahkan masalah.
       Tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan negatif atau tingkah laku yang tidak tepat, yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan. Tingkah laku yang salah hakikatnya terbentuk dari cara belajar atau lingkungan yang salah.
       Adapun tujuan khusus dari konseling behavioral adalah membantu klien menolong diri sendiri, mengembalikan klien ke dalam masyarakat, meningkatkan keterampilan sosial, memperbaiki tingkah laku yang menyimpang, membantu klien mengembangkan sistem self management dan self control. Sehingga tujuan dari konseling behavioral adalah membentuk perilaku baru yang adaptif melalui proses belajar dan lingkungan.
       Menurut Corey (2003: 205) menyatakan bahwa terapis tingkah laku harus memainkan peran aktif dan direktif dalam pemberian treatment, yaitu terapis menerapkan pengetahuan ilmiah pada pencarian pemecahan-pemecahan bagi masalah manusia, para kliennya. Terapis tingkah laku secara khas berfungsi sebagai guru, pengarah, ahli dalam mendiagnosis tingkahlaku yang maladatif dan dalam menentukan prosedur-prosedur penyembuhan yang diharapkan mengarah pada tingkah laku yang baru dan adjustive.
       Teknik-teknik konseling yang bisa dan biasa digunakan dalam Konseling behavioral adalah :
  1. Latihan Asertif (Assertive training)
  2. Desensitisasi sistematis
  3. Pengkondisian Aversi




Pendekatan dan Teknik Konseling Behavioral
A. Konsep Dasar Konseling Behavioral
Manusia adalah mahluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor dari luar. Manusia memulai kehidupannya dengan memberikan reaksi terhadap lingkungannya dan interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadian. Tingkah laku seseorang ditentukan oleh banyak dan macamnya penguatan yang diterima dalam situasi hidupnya. Tingkah laku dipelajari ketika individu berinteraksi dengan lingkungan melalui hukum-hukum belajar : (a) pembiasaan klasik; (b) pembiasaan operan; (c) peniruan. Tingkah laku tertentu pada individu dipengaruhi oleh kepuasan dan ketidak puasan yang diperolehnya.
Manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar melainkan merupakan hasil belajar, sehingga ia dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi pembentukan tingkah laku.
Karakteristik konseling behavioral adalah : (a) berfokus pada tingkah laku yang tampak dan spesifik, (b) memerlukan kecermatan dalam perumusan tujuan konseling, (c) mengembangkan prosedur perlakuan spesifik sesuai dengan masalah klien, dan (d) penilaian yang obyektif terhadap tujuan konseling.
B. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah
  1. Tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan negatif atau tingkah laku yang tidak tepat, yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan.
  2. Tingkah laku yang salah hakikatnya terbentu dari cara belajar atau lingkungan yang salah.
  3. Manusia bermasalah itu mempunyai kecenderungan merespon tingkah laku negatif dari lingkungannya. Tingkah laku maladaptif terjadi juga karena kesalapahaman dalam menanggapi lingkungan dengan tepat.
  4. Seluruh tingkah laku manusia didapat dengan cara belajar dan juga tingkah laku tersebut dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar
C. Tujuan Konseling
Mengahapus/menghilangkan tingkah laku maldaptif (masalah) untukdigantikan dengan tingkah laku baru yaitu tingkah laku adaptif yang diinginkan klien.
Tujuan yang sifatnya umum harus dijabarkan ke dalam perilaku yang spesifik : (a) diinginkan oleh klien; (b) konselor mampu dan bersedia membantu mencapai tujuan tersebut; (c) klien dapat mencapai tujuan tersebut; (d) dirumuskan secara spesifik
Konselor dan klien bersama-sama (bekerja sama) menetapkan/merumuskan tujuan-tujuan khusus konseling.
D. Deskripsi Proses Konseling Behavioral
Proses konseling adalah proses belajar, konselor membantu terjadinya proses belajar tersebut.
Konselor aktif :
  1. Merumuskan masalah yang dialami klien dan menetapkan apakah konselor dapat membantu pemecahannya atu tidak
  2. Konselor memegang sebagian besar tanggung jawab atas kegiatan konseling, khususnya tentang teknik-teknik yang digunakan dalam konseling
  3. Konselor mengontrol proses konseling dan bertanggung jawab atas hasil-hasilnya.
E. Deskripsi langkah-langkah konseling Behavioral :
  1. Assesment, langkah awal yang bertujuan untuk mengeksplorasi dinamika perkembangan klien (untuk mengungkapkan kesuksesan dan kegagalannya, kekuatan dan kelemahannya, pola hubungan interpersonal, tingkah laku penyesuaian, dan area masalahnya) Konselor mendorong klien untuk mengemukakan keadaan yang benar-benar dialaminya pada waktu itu. Assesment diperlukan untuk mengidentifikasi motode atau teknik mana yang akan dipilih sesuai dengan tingkah laku yang ingin diubah.
  2. Goal setting, yaitu langkah untuk merumuskan tujuan konseling. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari langkah assessment konselor dan klien menyusun dan merumuskan tujuan yang ingin dicapai dalam konseling. Perumusan tujuan konseling dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : (a) Konselor dan klien mendifinisikan masalah yang dihadapi klien; (b) Klien mengkhususkan perubahan positif yang dikehendaki sebagai hasil konseling; (c) Konselor dan klien mendiskusikan tujuan yang telah ditetapkan klien : (a) apakah merupakan tujuan yang benar-benar dimiliki dan diinginkan klien; (b) apakah tujuan itu realistik; (c) kemungkinan manfaatnya; dan (d)k emungkinan kerugiannya; (e) Konselor dan klien membuat keputusan apakahmelanjutkan konseling dengan menetapkan teknik yang akan dilaksanakan, mempertimbangkan kembali tujuan yang akan dicapai, atau melakukan referal.
  3. Technique implementation, yaitu menentukan dan melaksanakan teknik konseling yang digunakan untuk mencapai tingkah laku yang diinginkan yang menjadi tujuan konseling.
  4. Evaluation termination, yaitu melakukan kegiatan penilaian apakah kegiatan konseling yang telah dilaksanakan mengarah dan mencapai hasil sesuai dengan tujuan konseling.
  5. Feedback, yaitu memberikan dan menganalisis umpan balik untuk memperbaiki dan meingkatkan proses konseling.
Teknik konseling behavioral didasarkan pada penghapusan respon yang telah dipelajari (yang membentuk tingkah laku bermasalah) terhadap perangsang, dengan demikian respon-respon yang baru (sebagai tujuan konseling) akan dapat dibentuk.
F. Prinsip Kerja Teknik Konseling Behavioral
  1. Memodifikasi tingkah laku melalui pemberian penguatan. Agar klien terdorong untuk merubah tingkah lakunya penguatan tersebut hendaknya mempunyai daya yang cukup kuat dan dilaksanakan secara sistematis dan nyata-nyata ditampilkan melalui tingkah laku klien.
  2. Mengurangi frekuensi berlangsungnya tingkah laku yang tidak diinginkan.
  3. Memberikan penguatan terhadap suatu respon yang akan mengakibatkan terhambatnya kemunculan tingkah laku yang tidak diinginkan.
  4. Mengkondisikan pengubahan tingkah laku melalui pemberian contoh atau model (film, tape recorder, atau contoh nyata langsung).
  5. Merencanakan prosedur pemberian penguatan terhadap tingkah laku yang diinginkan dengan sistem kontrak. Penguatannya dapat berbentuk ganjaran yang berbentuk materi maupun keuntungan sosial.
G. Teknik-teknik Konseling Behavioral
1. Latihan Asertif
Teknik ini dugunakan untuk melatih klien yang mengalami kesulitan untuk menyatakan diri bahwa tindakannya adalah layak atau benar. Latihan ini terutama berguna di antaranya untuk membantu individu yang tidak mampu mengungkapkan perasaan tersinggung, kesulitan menyatakan tidak, mengungkapkan afeksi dan respon posistif lainnya. Cara yang digunakan adalah dengan permainan peran dengan bimbingan konselor. Diskusi-diskusi kelompok juga dapat diterapkan dalam latihan asertif ini.
2. Desensitisasi Sistematis
Desensitisasi sistematis merupakan teknik konseling behavioral yang memfokukskan bantuan untuk menenangkan klien dari ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan klien untuk rileks. Esensi teknik ini adalah menghilangkan tingkah laku yang diperkuat secara negatif dan menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik respon-respon yang tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap. Jadi desensitisasi sistematis hakikatnya merupakan teknik relaksi yang digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif biasanya merupakan kecemasan, dan ia menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan.
3. Pengkondisian Aversi
Teknik ini dapat digunakan untuk menghilangkan kebiasaan buruk. Teknik ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan klien agar mengamati respon pada stimulus yang disenanginya dengan kebalikan stimulus tersebut.
Stimulus yang tidak menyenangkan yang disajikan tersebut diberikan secara bersamaan dengan munculnya tingkah laku yang tidak dikehendaki kemunculannya. Pengkondisian ini diharapkan terbentuk asosiasi antara tingkah laku yang tidak dikehendaki dengan stimulus yang tidak menyenangkan.
4. Pembentukan Tingkah laku Model
Teknik ini dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku baru pada klien, dan memperkuat tingkah laku yang sudah terbentuk. Dalam hal ini konselor menunjukkan kepada klien tentang tingkah laku model, dapat menggunakan model audio, model fisik, model hidup atau lainnya yang teramati dan dipahami jenis tingkah laku yang hendak dicontoh. Tingkah laku yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran dapat berupa pujian sebagai ganjaran social

KONSELING BEHAVIORAL (SKINNER)

Hakekat Manusia
  • Manusia adalah makhluk reaktif yan g tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor dari luar.
  • Perubahan yang terjadi dalam diri manusia adalah sebagai indikasi adanya proses belajar.
  • Manusia tidak ada dan tetap tidak akan ada kebebasan memilih, yang ada adalah hukum perangsang dan gambaran terhadap rangsangan tersebut(the laws of stimulus and response)
  • Tingkah laku dipelajari ketika individu berinteraksi dengan lingkungan, melalui hukum-hukum belajar : pembiasaan klasik, pembiasaan operean dan peniruan.
Teori Perkembangan Kepribadian
Behaviorisme mengikuti metode eksperimen. Perhatian mereka hanya tertuju terhadap prilaku yang dapat diamati secara ilmiah, hassil yang dapat diukur itulah yang diperhitungkan atau yang menjadi fokus perhatian. Contoh anak kecil menangis karena lapar. Kaum behavioralisme mengutamakan untuk mengubah perilaku bayi tersebut untuk tidak menangis, bukan laparnya.
Selanjutnya perkembangan kepribadian didasari atas tiga prinsip belajar yaitu:
  • Clasical or respondent, Oprent conditioning,
  • dan Imitative learning.
Berikut perbandingan antara Clasical or respondent dan Oprent conditioning
  • Pengkondisian klasik
  • Pavlov
  • Stimulus yang terlihat: respon
  • Manusia berespon tapi tidak dapat Mengubah lingkungannya
  • pengkondisian operan
  • Skinner
  • Stimulus tidak terlihat: respon (refleks) (tidak reflek)
  • Manusia dapat mengatur lingkungannya                                      
Konsep-konsep Penting dalam Behaviorisme
Reinforcement
  • Reinforcement merupakan konsep dasar dalam perubahan prilaku aliran behavioral. Reinforcement ada bersifat positif dan negatif. Reinforcement negatif hanya memberitahu apa yang salah bukan apa yang benar. Contoh anak kecil ngompol di tempat tidur,lalu orang tua memarahi. Gunakanlah penguat negatif untuk menghentikan berlangsungnya prilaku yang tidak dikehendaki. Reinforcement positif, bertujuan untuk meneruskan/meningkatkan perilaku yang diinginkan. ketika anak menampilkan prilaku yang dikehendaki, lalu orang tua memberi hadiah.
  • Dalam pemberian reinforcement ada yang bersifat ratio dan interval
  • Proses perkembangan behavioral terdiri dari Extinction, generalization, discrimination and shaping.
  • Extinction adalah perubahan prilaku yang awalnya tidak senang, laman kelamaan menjadi senang, Ex awalnya anak takut pada ayahnya, kemudian berangsur hilang . Hilangnya rasa takut pada ayah itulah yang disebut proses extintion.
  • Generalization adalah prilaku tidak senang pada orang yang mirip dengan orang yang tidak disenanginya. Misal, takut pada ayah, juga takut pada polisi, guru dll.
  • Diskriminasi adalah prilaku yang awalnya tidak senang, tapi tetap berusaha mengenali lebih dekat lagi, sehingga perasaan yang awalnya tidak senang berubah sedikit demi sedikit menyenangi.
Teori Kepribadian
Perbedaan antara tingkah laku normal dan salah suai tidak terletak pada bagaimana tingkah laku-tingkah laku itu dipelajari,melainkan pada tingkat kesesuaiannya terhadap tuntutan lingkungan. Tingkat kesesuaian ini akan menentukan apakah individu tidak lagi mendapat kepuasan dengan tingkah lakunya itu, dan ataukah akan timbul konflik antara individu dan lingkungan.
Tujuan Konseling
Tujuan konseling harus dinyatakan dalam bentuk dan istilah-istilah khusus, melalui:
  • Problem Defenition. Ini penting sebagai inisial stetement, yang dianalis meliputi kapan, dimana, dan bagaimana serta sama siapa terjadinya pemampilan prilaku tersebut.
  • Developmental and Social History, untuk mengungkapkan kesuksesan/kegagalan, kekuatan/kelemahan, pola hubungan interpersonal, dll
  • Merumuskan tujuan-tujuan khusus
  • Menentukan metode untuk mencapai perubahan tingkah laku
Teknik Konseling
  • Teknik konseling behavioral didasarkan pada penghapusan respon yang telah dipelajari (yang membentuk pola tingkah laku) terhadap perangsang, dengan demikian respon-respon yang baru akan dapat dibentuk.
  • Teknik Umum:
    • Shaping: memodifikassi tingkah laku melalui pemberian penguatan.
    • Extinction: mengurangi frekuensi berlangsungnya tingkah laku yang tidak diingini
    • Reinforcing uncompatible behaviors: memberikan penguatan terhadap suatu respon yang akan mengakibatkan terhambatnya kemunculan tingkah laku yang tidak diingini.
    • imitative learning: memberikan contoh atau model melalui film, tape recorder, contoh langsung,dll
    • Contracting: merencanakan prosedur pemberian penguatan terhadap tingkah laku yang diharapkan
    • Cognitive learning: memberikan penjelasan lisan tentang berbagai hal.
    • Covert reinforcement: memberikan penguatan dengan jalan membayangkan hal-hal yang berhubungan dengan tingkah laku yang menjadi objek konseling.



MOZAIK BIMBINGAN KONSELING

BAHAGIA BERKARYA DALAM BIMBINGAN KONSELING your mind in my mind is the power of my life

Kamis, 25 April 2013

jurnal kuliah : TEORI KONSELING BEHAVIOR (makalah)

  BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Terapi tingkah laku adalah penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori tntang belajar, ia menyatakan penerapan yang sistematis prinsip-prisip belajar pada pengubahan tingkah laku kearah cara-cara yang lebih adaltif. Pendekatan ini telah memberikan sumbangan yang berarti baik kepada bidang-bidang klinis maupun pendidikan.
            Berlandaskan teori belajar, modifikasi tingkah laku dan penerapan terapi tingkah laku adalah pendekatan-pendekatan terhadap konseling dan psikoterapi yang berurusan dengan pengubahan tingkah laku, penting dicatat bahwa tidak ada teori tunggal tentang belajar, yang mendominasi pratek terapi tingkah laku. Sejumlaj teori belajar yang beragam memberikan andil terhadap  pendekatan terapeutik umum yang satu ini, ketimbang memandang terapi tunggal, lebih tepat menggapnya sebai terapi-terapi tingkah laku yang mencangkup berbagai prinsip dan metode yang belun dipadukan ke dalam suatu sistem yang dipersatukan.
            Perkembangan-perkembangan terapi tingkah laku ditandi oleh satu  pertumbuhan yang fenomenal sejak akhir 1950-an, pada awal 1960-an,laporan-laporan tentang penggunaan teknik inisekali-sekali muncul dalam kepustakaan  profesinal. Kini modifikasi tingkah laku dan terapi ingkah laku menduduki tempat yang penting dalam lapangan psikoterapi dan dalam banyak area pendidikan.  Kepustakaan profesional, baik berupa berkala maupun berupa buku, membuktikan peningkatan popularitas pendekatan ini. Peningkatan pengaruh terapi tingkah laku, juga dimanifestasikan dalam sejumlah besar  departement, psikologi yang melaksanakan psikologi klinis dan konseling dalam metode-metode behavioral. Dewasa ini banyak program latihan yang dengan jelas menitik beratkan terapi behavioral. Salah satu aspek paling penting dari gerakan modifikasi terapi  tingkah laku atau behavior adalah penekanannya pada tingkah laku yang bisa didefinisikan  secara operasional diamati dan diukur. Tingkah laku bukan konstruk-konstruk yang  tak bisa diukur yang vital bagi pendekatan-pendekatan psikodinamik adalah fokus perhatian terapeutik. Para tokoh terapi tingkah laku telah menyajikan suatu ubahan tingkah laku, sebagai kriteria  yang spesifik memberikan kemungkinan bagi evaluasi langsung atas keberhasilan kerja dan kecepatan bergerak kearah tujuan-tujuan terapeutik yang bisa dispesifikan dengan jelas. Bahwa pertumbuhan terapi tingkah laku, ditunjukan oleh banyaknya penelitian yang dilaksanakan adalah ciri lain dari gerakan ini. Prosedur-prosedur secara berkesinambungan diperbaharui disebabkan karena adanya koitmen untuk menjadikan prosedur itu sebagai sasaran pengujian yang ketat guna menentukan sejauh mana prosedur-prosedur tersebut bisa bekerja dengan baik. Karena terapi tingkah laku bersandar pada hasil-hasil eksperiment, tentang pernyataan-pernyataan teoritisnya. Konsep-konsep utama terapi tingkah laku erus diperkuat dan di kembangkan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang disampaiakan di atas, maka kami dapat merumuskan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah konsep-konsep utama teori behavior atau tingkah laku terhadap manusia ?
2.      Adakah ciri-ciri unik dalam teori behavior atau tingkah laku ?
3.      Bagaimanakah tujuan terapeutik dari teori behavior atau tingkah laku ?
4.      Apakah fungsi dan peran terapis dalam teori behavior atau tingkah laku ?
5.      Bagaiamanakah pengalaman konseli dalam konseling penerapan teori behavior atau tingkah laku ?
6.      Bagaiamanakah hubungan antara konselor dengan konseli dalam teori behavior atau tingkah laku ?
7.      Apasajakah teknik-teknik dan prosedur-prosedur terapeutik dalam teori behavior atau teori tingkah laku ?
1.3 Tujuan Penulisan
Sebagaimana rumusan masalah yang telah disampaikan diatas maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui konsep-konsep utama serta pandangan teori behavior atau tingkah laku terhadap manusia ?
2.      Untuk mengetahui  ciri-ciri unik dalam teori behavior atau tingkah laku ?
3.      Untuk mengetahui tujuan terapeutik dari teori behavior atau tingkah laku ?
4.      Untuk mengetahui fungsi dan peran terapis dalam teori behavior atau tingkah laku ?
5.      Untuk mengetahui bagaiamanakah pengalaman konseli dalam konseling penerapan teori behavior atau tingkah laku ?
6.      Untuk mengetahui hubungan antara konselor dengan konseli dalam teori behavior atau tingkah laku ?
7.      Untuk mengetahui teknik-teknik dan prosedur-prosedur terapeutik dalam teori behavior atau teori tingkah laku ?
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari pembuatan makalah ini adalah :
1.      Setelah makalah ini disusun, diharapkan dapat bermanfaat nantinya dan digunakan sebagai masukan oleh dosen dan juga mahasiswa.
2.      Agar dapat memberikan informasi ataupun pengetahuan tentang teori konseling behavior atau tingkah laku.
3.      Sebagai acuan dalam penyusunan makalah selanjutnya.












BAB II
PEMBAHASAN

2.1              Konsep-Konsep Utama Teori Behavior atau Tingkah Laku
Terapi tingkah laku atau behavioristik ini merupakan penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar. Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman dan kematangan.
Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran.
Teori Belajar Menurut THOMDIKE
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon

Teori Belajar Menurut Watson

Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.

Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).
 Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).

Teori Belajar Menurut Skinner

Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan memengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya memengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Jadi konsep dasar teori behavioristik ini adalah tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Tetapi tidak semua perubahan tingkah laku itu krnena belajar. Ada juga perubahan tingkah laku karena kemtangan. Kematangan itu terjadi seiring jalannya usia individu, karena itulah terjadilah kematangan.
2.2   Ciri-ciri Unik Teori Behavior atau Teori tingkah laku
            Terapi tingkah laku,berbeda dngan sebagian besar pendekatan terapi lainnya,ditandai oleh: (a) Pemusatan perhatian kepada tingkah laku yg tampak dan spesifik, (b) kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment, (c) perumusan prosedur treatment yg spesifik yg sesuai dengan masalah dan (d) penaksiran objektif atas hasil-hasil terapi.
            Terapi tingkah laku tidak berlandaskan konsep yg sistematik,juga tidak berakar pada suatu teori yang dikembangkan dengan baik. Sekalipun memiliki banyak teknik,terapi tingkah laku hanya memiliki sedikit konsep. Ia adalah suatu pendekatan induktif yg berlandaskan eksperimen-eksperimen,dan menerapkan metode eksperimental pada proses terapiutik. Pertanyaan terapis boleh jadi, “Tingkah laku spesifik apa yg oleh individu ini ingin diubah, dan tingkah laku baru yg bagaimana yg ingin dipelajarinya?” kekhususan ini membutuhkan suatu pengamatan yg cermat atas tingkah laku klien. Penjabaran-penjabaran yg kabur dan umum tidak bisa diterima ,tingkah laku yg oleh klien di inginkan berubah dispesifikasi. Yang juga penting adalah kondisi-kondisi yg menjadi penyebab timbulnya tingkah laku masalah diidentifikasi sehingga kondisi-kondisi baru bisa diciptakan guna memodifikasi tingkah laku. Urusan terapiutik utama adalah mengisolasi tingkah laku masalah, dan kemudian menciptakan cara-cara untuk mengubahnya.
Pada dasarnya terapi tingkah laku diarahkan pada tujuan-tujuan memperoleh tingkah laku baru , penghapusan tingkah laku yg maladaktif,serta memperkuat dan mempertahankan tingkah laku yg diinginkan. Pernyataan yg tepat tentang tujuan-tujuan treatment dispesifikasi,sedangkan pernyataan yg umum tentang tujuan ditolak. Klien diminta untuk menyatakan dengan cara-cara yg kongkret jenis-jenis tingkah laku masalah yang dia ingin mengubahnya. Setelah mengembangkan pernyataan yg tepat tentang tujuan-tujuan treatment,terapis harus memilih prosedur-prosedur yang paling sesuai untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Berbagai teknik tersedia,yg keefektifannya bervariasi dalam menangani masalah-masalah tertentu. Misalnya, teknik-teknik aversitampaknya paling berguna sebagai cara-cara untuk mengembangkan kendali dorongan, orang yg mengalami hambatan dalam menampilkan diri dan dalam bergaul bisa mengambil manfaat dari latihan asertif,pengulangan tingkah laku berguna untuk memperkuat tingkah laku yg baru diperoleh ,desensitisasi tampaknya paling berguna dalam penanganan fobia-fobia ,percontohan yg digabungkan dengan perkuatan positif tampak cocok bagi perolehan tingkah laku social yg kompleks.
Karena tingkah laku yg dituju dispesifikasi dengan jelas,tujuan-tujuan treatment dirinci, dan metode-metode terapiutik diterangkan,maka hasil-hasil terapi bisa dievaluasi. Terapi tingkah laku memasukkan kriteria didefinisikan dengan baik bagi perbaikan atau penyembuhan. Karena terapi tingkah laku menekankan evaluasi tentang keevektifan teknik-teknik yg digunakan maka evaluasi dan perbaikan yg berkesinambungan atas prosedur-prosedur treatment menandai proses terapeutik.
Pengondisian klasik versus pengondisian operan
Dua aliran utama membentuk esensi metode-metode dan teknik-teknik pendekatan-pendekatan terapi yg berlandaskan teori belajar,pengkondisian klasik dan pengkondisian operan.pada dasarnya pengondisian klasik itu melibatkan stimulus tak berkondisi (UCS) yg secara otomatis membangkitkan respons berkondisi (CR), yang sama dengan respons tak berkondisi (UCR) apabila diasosiasikan dengan stimulus tak berkondisi. Jika UCS dipasangkan dengan suatu stimulus berkondisi (CS), lambat laun CS mengarahkan kemunculan CR.dalam contoh UCS (makanan kucing) membangkitkan UCR, pengeluaran air liur kucing. Pembukaan kaleng makanan dengan membangkitkan CR,pengeluaran air liur kucing.
Baik karya Satler maupun karya Wolpe sebagian besar berasal dari pengkondisian klasik. Teknik-teknik yg spesifik seperti desensitisasi sistematik dan terapi aversi berlandaskan pengondisian klasik. Teknik-teknik tersebut akan dijabarkan dalam pembahasan tentang penerapan teknik-teknik dan prosedur-prosedur.pengondisian operan,satu aliran utama lainnya dari pendekatan terapi yg berlandaskan teori belajar,melibatkan pemberian ganjaran kepada individu atas pemunculan tingkahlakunya (yang diharapkan) pada saat tingkah laku itu muncul. Pengondisian operan ini dikenal juga dengan sebutan pengondisian instrumental karena memperlihatkan bahwa tingkah laku instrumental bisa dimunculkan oleh organisme yg aktif sebelum perkuatan diberikan untuk tingkah laku tersebut. Skinner, yg dianggap sebagai pencetus gagasan pengkondisian operan,telah mengembangkan prinsip-prinsip perkuatan yg digunakan pada upaya memperoleh pola-pola tingkah laku tertentu yang dipelajari.
Banyak teknik dan prosedur modifikasi tingkah laku yang berasal dari model pengondisian operan. Contoh-contoh prosedur yg spesifik yang berasal dari pengondisian operan adalah perkuatan positif, penghapusan, hukuman, pencontohan, dan penggunaan token economy.

2.3              Tujuan-Tujuan Terapeutik Teori Behavior Atau Tingkah Laku
Tujuan-tujuan konseling dan psikoterapi menduduki suatu tempat yang amat penting dalam terapi tingkah laku. Klien menyeleksi tujuan-tujuan terapi yang secara spesifik ditentukan pada permulan proses terapeutik. Penaksiran yang terus-menerus dilakukan sepanjang terapi untuk menentukan sejauh mana tujuan-tujuan terapeutik itu secara efektif tercapai.
            Tujuan umum terapi tingkah laku adaiah menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar. Dasar alasanya ialah bahwa segenap tingkah laku adalah dipelajari (learned), termasu tingkah laku yang maladaktif. Jika tingkah laku neurotik learned , maka ia bisa unlearned (dihapus dari ingatan). Dan tingkah laku yang lebih efektif bisa diperoleh. Terapi tingkah laku pada hakekatnya terdiri atas proses penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif dan pemberian pengalaman-pengalaman belajar yang didalamnya respons-respons yang layak yang belum dipelajari.
            Ada beberapa kesalahpahaman yang menyangkut masalah-masalah tentang tujuan-tujuan masalah tentang tujuan-tujuan dalam terapi tingkah laku. Salah satu kesalahpahaman yang umum adalah bahwa tujuan terapi semata-mata menghilangkan gejala-gejala suatu gangguan tingkah laku dan bahwa setelah gejala-gejala itu terhapus, gejala-gejala baru akan muncul karena penyebab-penyebab yang mendasarinya tidak ditangani. Hampir semua terapis tingkah laku akan menolak anggapan yang menyebutkan bahwa pendekatan mereka hanya menangani gejala-gejala, sebab mereka melihat terapis sebagai pemikul tugas menghapus tingkah laku yang maladaptif dan membantu klien untuk menggantikannya dengan tingkah laku yang lebih adjustive(dapat disesuaikan) (ullman & krasner, 1965).
            Kesalahapahaman umum lainnya adalah bahwa tujuan-tujuan klien ditentukan dan dipaksakan oleh terapis tingkah laku. Tampaknya ada unsur kebenaran dalam anggapan tersebut, terutama jika menyinggung beberapa situasi, misalnya situasi dirumah sakit jiwa. Bagaimanapun, kecendrungan yang ada dalam terapi tingkah laku modern bergerak ke arah pelibatan klien dalam menyeleksi tujuan-tujuan dan memandang hubungan kerja yang baik antara terapis dan klien sebagai diperlukan ( meski dipandang belum cukup) guna memperjelas tujuan-tujuan terapeutik dan bagi kerja yang kooperatif ke arah pencapaian tujuan-tujuan terapeutik tersebut.
            Jika para tokoh perintis terapi tingkah laku tampaknya menitik beratkan kecakapan terapis dalam menetapkan tujuan-tujuan dan tingkah laku, para pemraktek kontemporer memberikan penekanan pada keaktifan klien dalam memilih tujuan tujuan dan pada keterlibatan  aktif klien dalam proses terapi. Mereka menjelaskan bahwa terapi tidak bisa dipaksakan kepada klien yang tidak berkesediaan dan bahwa terapis dan klien perlu bekerja sama untuk mencapai sasaran-sasaran bersama. Dalam membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan praktek terapi tingkah laku yang mutakhir ini (1973) mengajukan komentar sebagai berikut:
            Tak pelak lagi proses terapi tingkah laku bukan pengondisian ulang yang terang-terangan atas pasien. Terapis tidak bisa memaksakan pengondisian atau belajar ulang kepada siapa pun, sebab teknik-teknik yang paling manjur pun akan tidak berguna tanpa kerja sama dan motivasi pasen. Teknik-teknik terapeutik apa pun yang digunakan harus ditetapkan dalam konteks suatu “hubungan kerja” antar terapis dan pasien. Hubungan kerja adalah suatu hubungan di mana terapis dan pasien bekerja sama ke arah tujuan yang telah di sepakati bersama. Jika ini tidak dilakukan maka, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak , terapi akan menjadi tidak efektif(h, 220).   Tujuan-tujuan yang luas dan umum tidak dapat diterima oleh para terapis tingkah laku. Cotohnya, seorang klien mendatangi terapi dengan tujuan mengaktualkan diri. Tujuan umum semacam itu perlu ditrjemahkan ke dalam perubahan tingkah laku yang spesifik yang diinginkan klien serta dianalisis ke dalam tindakan-tindakan spesifik yang diharapkan oleh klien sehingga baik terapis maupun klien mampu menaksir secara lebih kongkret ke mana dan bagaimana merka bergerak. Misalny tujuan mengaktualkan diri bisa dipecah ke dalam beberapa subtujuan yang lebih kongkret sebagai berikut: (1) membantu klien untuk menjadi lebih asertif dan mengeksperesikan pemikiran-pemikiran dan hasrat-hasratnya dalam situasi-situasi yang membangkitkan tingkah laku asertif, (2) membantu klien dalam menghpus  ketakutan- ketakutan yang tidak realistis yang menghambat dirinya dari ketrlibatan dalam peristiwa-peristiwa sosial,  dan (3) konfik batin yang menghambat klien dari pembuatan putusan-putusan yang penting bagi kehidupannya .
            Krumboltz dan thorensen ( dikutip dari Huber& Millman 1972) telah mengembangkan tiga kriteria bagi perumusan tujuan  yang bisa diterima dalam konseling tingkahlaku:    “(1)  tujuan yang dirumuskan haruslah tujuan yang diinginkan oleh klien, (2)  konselor  harus bersedia membantu klien dalam mencapai tujuan, dan .(3) harus terdapat  kemungkinan  untuk menaksir sejauh mana klien bisa mencapai tujuannya “ (h , 347). Akan tetapi, bagai mana jika klien tidak bisa mendefinisikan  masalahnya dengan jelas dan hanya  bisa menghadirkan tujuan-tujuan yang sama? Krumboltz dan thorensen sepakat bahwa pada umumnya  klien tidak menjabarkan  masalah-masalah dalam bahasa yang sederhana dan jelas. Tugas terapis adalah mendengarkan kesulitan klien. Secara aktif dan empatik. Terapis memantulkan kembali apa yang di pahaminya untuk memastikan apakah persepsiny tentang pemikiran-pemikiran dan perasan-perasan klien denar . lebih dari itu, terapis membantu klien menjabarkan  bagaimana dia akan bertindak di luar cara-cara yang di tempuh sebelumnya. Dengan berpokus pada itngkah laku yang spesipik yang ada pada kehidupan klien  sekarang, terapis  membantu  klien menerjemahkan  kebingungan yang dialaminya ke dalam suatu tujuan kongkret yang mungkin untuk dicapai.



2.4                 Fungsi Dan Peran Konselor Dalam Teori Behavior Atau Tingkah Laku
            Terapis tingkah laku harus memainkan peran aktif dan direktif dalam pemberian treatmen, yakni terapis menerapkan pengtahuan ilmiyah pada pencarian pemecahan-pemecahan bagi masalah-masalah manusia, pada kliennya. Terapis tingkah laku secara khas berfungsi sebagai guru, pengaruh, dan ahli dalam mendiagnosis tingkah laku yang maladaptif dan dalm menentukan prosedur-prosedur penyembuhan yang,diharapkan,mengarah pada tingkah laku yang baru dan adjustive.
                  Sebagai hasil tinjauannya yang seksama atas kepustakaan psikoterapi, Krasner (1967) mengajukan argumen bahawa peran seorang terapis dari aliansi teoritisnya, sesungguhnya adalah “mesin perkuatan”. Apa pun yang dilakukannya terapis pada dasarnya terlibat dalam pemberian perkuatan-perkuatan sosial baik yang positif maupun yang negatif. Bahkan meskipun mempersiapkan dirinya sebagai pihak yang netral sehubungn dengan pertimbangan-pertimbangan nilai, terapis membentuk tingkah lakuklien, baik melalui cara langsung maupun tidak secara langsung. Krasner (1967) menandakan bahwa “ terapis atau pemberi pengaruh adalah suatu ‘mesin pengkuatan’. Yang dengan kehadirannya memasok perkuatan yang dilegenerarisasikan pada setiap kesempatan dalam situasi terapi, terlepas dari tekhnik ataw keperibadian yang terlibat” (h,202) ia menyatakn bahwa tingkah laku klien tunduk pada manifulasi yang halus pada tingkah laku terapis yang memperkuat. Hal itu acap kali tanpa di sadari, baik oleh klien maupun oleh terapis. Krasner (1967), dengan mengutif kepustakaan,menunjukkan bahwa peran terapis adalah memanipulasi dan mengendalikan psikoterapi dengan pengetahuan dan kecakapannya menggunakan teknik-teknik belajar dalam suatu situasi perkuatan sosial. Krasner lebih lanjut mennyatakan bahwa, meskipun sebagian besar terapis tidak senang dengan peran “pengendalian” atau “manipulator” tingkah laku, istilah-istilah tersebut menerangkan secara cermat apa sesungguhnya apa peran terapis itu. Ia mengutip bukti untuk menunjukkan bahwa, atas dasar perannya, terapis “ memiliki kekuatan untuk mempengaruhi dan mengendalikan tingkah laku dan nilai-nilai manusia lain. Ketidaksedian terapis untuk menerima situasi ini dan trus menerus tidak menyadari efek-efek tingkah lakunya atas para pasiennya itu pun tidak etis” (h, 204).
Goodstein (1972) juga menyabut peran terapis sebagai pemberi perkuatan. Menurut Goodstein, “peran konselor adalah menunjangf perkembangan tingkah laku yang secara sosial layak dengan secara sistematis memperkuat jenis tingkah laku klieb semacam itu” (h,274). Minat, perhatian, dan persetujuan (ketidak berminatan dan ketidak setujuan) terapis adalah pemerkuat-pemerkuat yang hebat bagi tingkah laku klien. Pemerkuat-pemerkuat tersebut bersifat interpersonal dan melibatkan bahasa, baik verbal maupun nonverbal, serta acap kali tanpa disertai kesadaran yang penuh dari terapi. Goodstain menyatakan bahwa peran mengendalikan tingkah laku klien yang dimainkan oleh terapis melalui perkuatan menjangkau situasi di luar konseling serta di masukkan ke dalam tingkah laku klien dalam dunia nyata: “konselor mengajar respon-respon tertentu yang di laporkan telah di tampilkan telah di tampilkan oleh klien dalam situasi-situasi khidupan nyata dan menghukum, respon-respon yang lainnya. Ganjaran-ganjaran itu adalah persetujuan, minat, dan keprihatinan. . . perkuatan semacam itu penting terutama pada periode ketika klien mencoba respon-respon atau tingkah laku baru yang belum secara tetap di beri perkuatan oleh orang lain dalam kehidupan klien” (h, 275). Salah satu penyebab munculnya hasil yang tidak memuaskan adalah bahwa terapis tidak cukup memperkuat tingkah laku yang baru di kembangkan oleh klien.
                  Satu fungsi penting lainya adalah peran terapis sebagai model bagi klien. Banduara (1969) menunjukkan bahwa sebagian besar proses belajar yang muncul melalui pengalaman langsung juga bisa diperoleh melalui pengamatan terhadap tingkah laku orang lain. Ia mengunkapkan bahwa salah satu proses fundamental yang memungkinkan klien bisa mempelajari tingkah laku baru adalah imitasi atau contoh sosial yang disajikan oleh terapis. Terapis sebagai pribadi , menjadi model yang penting bagi klien. Karena klien sering memandang terapis sebagi orang yang patut di taladani, klien acap kali meniru sikap-sikap, nilai-nilai, kepercayaan dan tingkah laku terapis. Jadi, terapis harus menyadari peranan penting yang di mainkannnya dalam proses identifikasi. Bagi terapis, tidak mennyadari kekuatan dirinnya dalam mempengaruhi dan membentuk cara berpikir dan bertindak kliennya, berarti mengabaikan arti penting kepribadiannya sendri dalam proses terapi.

2.5               Pengalaman Konseli Dalam Konseling Pada Teori Behavior Atau Teori Tingkah Laku
            Salah satu sumbangan yang unik dari terapi tingkah laku adalah suatu sistem prosedur yang ditentukan dengan baik yang digunakan oleh terapis dalm hubungan dengan peran yang jyga ditentukan dengan baik. Terapi tingkah laku juga memberikan kepada klien peran yang ditentukan dengan baik, dan menekankan pentingnya kesadaran dan partisipasi klien dalam proses terapeoutik. Carkhuff dan Berenson (1967) menunjukkan bahwa sekalipun klien boleh jadi berada dalam peran sebagai “penerima tekhnik-tekhnik yang pasti”. Ia diberi keterangan yang cukup tentang tekhnik-tekhnik yang di gunakan. Mereka menyatakan bahwa “sementara terapis memiliki tanggung jawab utama. Klien dalah fokus perhatian disertai sedikit perhatian pada nilai-nilai sosial, pengaruh orangtua, dan proses-proses tak sadar. Para terapis modifikasi tingkah laku pertama-tama harus memberikan keterangan rinci mengenai apa yang ada dan akan dilakukan pada setiap tahap proses treatment” (h,92).
            Keterlibatan klien dalam prose terapeutik karenannya harus dianggap sebagai kenyataan bahwa klien menjadi lebih aktif alih-alih menjadi penerima tekhnik-tekhnik yang pasif seperti diisyratkan oleh Carkhuff dan berenson. Jelas, klien harus secara aktif terlibat dalam pemilihan dan penentuan tujuan-tujuan, harus memiliki motifasi untuk berubah, dan bersedia bekerja sama dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan terapioutik baik selama pertemuan-pertemuan terapi maupun di luar terapi, dalam situasi-situasi kehidupan nyata. Jika klien tidak secara aktif terlibat dalam prose terapeutik, maka terapi tidak akan membawa hasil-hasil yang memuaskan.
            Marquis (1974), yang menggunakan prinsip-prinsip pendekatan behavioral untuk menunjang pengubahan kepribadian yang efektif, memandang perlunya peran aktif klien dalam proses terapi. Melalui model terapi tingkah laku, Marquis menguraikan program tiga fase yang melibatkan partisipasi klien secara penuh dan aktif. Pertama, tingkah laku klien sekarang di analisis dan “pemahaman yang jelas menjangkau tingkah laku akhir dengan partisipasi aktif dari klien dalam setiap bagian dari proses pemasangan tujuan-tujuan” (h, 368). Kedua, cara-cara alternatif yang bisa di ambil oleh klien dalam upaya mencapai tujuan-tujuan, dieksplorasi. Ketiga, suatu program treatment direncanakan, yang biyasannya berlandaskan langkah-langkah kecil yang bertahap dari tingkah laku klien yang sekarang menuju tingkah laku yang di harapkan membantu klien dalam mencapai tujuannya.
            Suatu aspek yang penting dari peran klien dalam terapi tingkah laku adalah, klien di dorong untuk breksperimen dengan tingkah laku baru dengan maksud memperluas perbendarahaan tingkah laku adaptifnya. Dalam terapi, klien dibantu untuk menggeneralisasi dan mentransper belajar yang diperoleh di dalam situasi terapi kedalam situasi di luar terapi. Lagi-lagi, pendekatan ini menggarisbawahi pentingnnya keterlibatan aktif dan kesediaan  klien untuk memperluas dan menerapkan tingkah laku barunnya pada situasi-situasi kehidupan nyata.
            Terapi ini belum lengkap apabila verbalisasi-verbalisasi tidak atau belum diikuti oleh tindakan-tindakan. Klien harus berbuat lebih dari sekedar memperoleh pemahaman-pemahaman, sebab dalam terapi tingkah laku klien harus bersedia mengambil resiko. Bahwa masalah-masalah kehidupan nyata harus dipecahkan dengan tingkah laku baru di luar terapi, berarti fase tindakan merupakan hal yang esensial. Keberhasilan dan kegagalan usaha-usaha menjalankan tingkah laku baru adalah bagian yang vital dari perjalanan terapi.

2.6              Hubungan Antara Konselor Dan Konseli Dalam Teori Behavior Atau Teori Tingkah Laku
Ada suatu kecendrungan yang menjadi bagian dari sejumlah kritik untuk menggolongkan hubungan antara terapis dank klien dalam terapi tingkah laku sebagai hubungan yang mekanis, manipulatif, dan sangat impersonal. Bagaimanapun, sebagian besar penulis di bidang terapi tingkah laku. Khususnya Wolpe (1958.1969). menyatakan bahwa pembentukan hubungan pribadi yang baik adalah salah satu aspek yang esensial dalam proses terapeutik. Sebagaimana di singgung di muka. Peran terapis yang esensial adalah peran sebagai agen pemberi perkuatan. Para terapis tingkah laku tidak di cetak untuk memainkan peran yang dingin dan impersonal yang mengerdilkan mereka menjadi mesin – mesin yang deprogram yang memakakan teknik – teknik kepada para klien yang mirip robot – robot.
Bagaimanapun, tampak bahwa pada umumnya terapis tingkah laku tidak memberikan peran utama kepada variable – variable hubunan  terapis – klien. Sekalipun demikian. Sebagian besar dari mereka mengakui bahwa faktor – faktor seperti kehangatan, empati, keotentikan, sikap permisif, dan penerimaan adalan kondisi – kondisi yang diperlukan, terapi tidak cukup. Bagi kemunculan perubahan tikah laku dalam proses terapeutik. Tentang persoalan ini Goldstein (1973) menyatakan bahwa pengembangan hubungan kerja membentuk tahap bagi kelangsunggan terapi. Ia mencatat bahwa hubngan semacam itu dalam dan oleh dirinya sendiri tidak cukup sebagai pemaksimal terapi yang efektif (h. 220). Sebelum intervensi terapeutik tertentu bisa dimunculkan dengan suatu derajat keefektifan. Terapi terlebih dahulu harus mengembangkan atmosfer kepercayaan dengan memperlihatkan bahwa
1.      Ia memahami dan menerima pasien
2.      Kedua orang di antara mereka bekerja sama dan
3.      Terapi memiliki alat yang berguna dalam membantu ke arah yang dikehendaki oleh pasien (h. 221)

2.7              Teknik-Teknik Dan Prosedur-Prosedur Terapeutik Teori Behavior Atau Teori Tingkah Laku

Salah satu sumbangan terapi tingkah laku adalah pengembangan prosedur-prosedur terapeutik yang spesifik yang memiliki kemungkinan untuk diperbaiki untuk metode ilmiah. Teknik-teknik terapi tingkkah laku harus menunjukan keefektifannya melalui alat-alat yang objektif. Adapun ada beberapa teknik dalam penerapan tepri behavior atau tingkah laku ini, antara lain adalah :
1.      Desensitisasi Sistematik
Merupakan salah satu teknik yang paling luas digunakan dalam konseling  tingkah laku.Desensitisasi sistematik di gunakan untuk mengapus tingkah laku yang di perkuat secara negatif, dan ia menyatakan pemunculan tingkah laku yang hendak dihapuskan itu. Desensitisasi sistematik juga melibatkan teknik- teknik relaksasi. Konseli di latih untuk santai dan mengasosiasikan keadaan santai dengan pengalaman-pengalaman pembangkit kecemasan yang  divisualisasi. Situasi-situasi dihadirkan dalam suatu rangkaindari yang sangat tidak mengancam . Tingkatan stimulus-stimulus  penghasil  kecemasan dipasangkan secara berulang-ulang dengan stimulus-stimulus penghasil kecemasan dipasangakan  secara berhulang-ulang dengan stimulus –stmulus penghasil  keadaan santai sampai kaitan antara stimulus-stimulus kecemasan respons kecemasan itu terhapus . Dalam teknik ini Wolpe telah mengembangkan suatu respons-yakni  relaksasi, yang secarafisiologis bertentangan dengan kecemasan yang secara sistematis diasosiasikan dengan aspek –aspek dari situasi yang mengancam .Desensititasi sistematik adalah teknik yang  cocok untuk menangani fobia-fobia. Desensitisasi sistematik bisa di terapkan secara efektif pada berbagai situasi peng hasil kecemasan, mencakup situasi interpersonal, ketakutan menghadapi ujian, ketakutan-ketakutan yang generalisasi, kecemasan-kecemasan neurotic, serta impotensa dan frigiditas seksual.
Wolpe (1969) mecatat 3 penyebab kegagalan dalam pelaksanaan desensitisasi sistematik 
a.       Kesulitan-kesulitan dalam relaksasi , yang bisa jadi menunjuk kepa kesulitan-kesulitan dalam komunikasi antara konselor dan konseli atau kepada keterhambatan yang ekstrem yang di alami oleh konseli
b.      Tingkatan-tingkatan yang menyesatkan atau tidak relevan ,       
c.       Ketidak memadai dalam membayangkan .
2.      Terapi Implosif dan Pembanjiran
Teknik-teknik pembanjiran berlandaskan paradigma mengenai penghapusan eksperimental. Teknik ini terdiri atas pemunculan stimulus berkondisi secara berulang-ulang tanpa pemberian perkuatan.     Dalam teknik pembanjiran terapis memunculkan stimulus-stimulus penghasil kecemasan, klien membayangkan situasi, dan terapis berusaha mempertahankan kecemasan klien.
Stampfl (1975) mengembangkan teknik yang berhubungan dengan teknik pembanjiran yang disebut  ‘ terapi implosif’ seperti halnya dengan desensitisasi sistematik, terapi  implosif berasumsi bahwa tingkah laku neurotik ( Penderita)melibatkan penghindaran terkondisi atas stimulus-stimulus penghasil kecemasan.                                                                       Alasan yang digunakan oleh teknik ini adalah bahwa, jika seseorang secara berulang-ulang dimunculkan dalam setting terapi dimana konsekwensi-konsekwensi yang di harapkan dan menakutkan tidak muncul, stimulus-stimulus yang mengancam kehilangan daya menghasilkan kecemasannya, dan penghindaran neurotik pun terhapus.
Stampfl (1975) mencatat beberapa contoh bagaimana terapi implosif berlangsung.                          Ia melukiskan seorang klien yang mengalami kecendrungan-kecendrungan obsesif kepada kebersihan. Klien mencuci tangannya lebih dari seratus kali sehari dan memiliki ketakutan yang berlebihan terhadap kuman. 
1.       Prosedur-prosedur penanganan klien mencakup
 Pencarian stimulus-stimulus apa yang memicu gejala-gejala apa
2.       Menaksir bagaimana gejala-gejala berkaitan dan bagaimana gejala-gejala itu membentuk tingkahlaku klien
3.       Meminta kepada klien untuk membayangkan sejelas-jelasnya apa yang dijabarkannya tanpa disertai celaan atas kepantasan situasi yang dihadapinya
4.       Bergerak semakin dekat kepada ketakutan yang paling kuat yang dialami klien dan meminta kepadanya untuk membayangkan apa yang paling ingin di hindarinya, dan
Mengulang prosedur-prosedur tersebut sampai kecemasan tidak lagi muncul dalam diri klien
Stampfl (1975) Mencatat sejumlah studi yang membuktikan kemanjuran terapi implosif dalam menangani para pasien gangguan jiwa yang dirumahsakitkan, para pasien neurotik, para pasien psikotik dan orang-orang yang menderita fobia-fobia.Stampfl menyatakan bahwa terapi implosif berbeda dengan terapi-terapi konvensional dalam arti terapi implosif tidak menekankan pemahaman sebagai agen terapeutik.
3.      Latihan Asertif
Pendekatan behavioral yang dengan cepat mencapai popularitas adalah latihan asertif, yang bisa di terapkan terutama pada situasi interpersonal di mana individu mengalami kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa menyatakan atau menegaskan diri adalah tindakan yang layak atau benar. Latihan asertif akan membantu bagi orang- orang yang:
1.      Tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung.
2.      Menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinnya.
3.      Memiliki kesulitan untuk mengatakan ‘’ tidak’’
4.      Mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respon-respon positif lainnya
5.      Merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri.
Bagaimana pendekatan ini berlangsung? Latihan asertif menggunakan prosedur-prosedur permainan peran. Suatu masalah yang khas yang bisa di kemukakan sebagai contoh adalah kesulitan klien dalam menghadapi atasannya di kantor. Misalnya , klien mengeluh bahwa dia acap kali merasa di tekan oleh atasannya untuk melakukan hal-hal yang menurut penilaiannya buruk dan merugikan serta mengalami hambatan untuk bersikap tegas di hadapan atasannya itu. Pertama-tama klien memainkan peran sebagai atasan, member contoh bagi terapis , sementara terapis mencotohkan cara berpikir daqn cara klien menghadapi atasan. Kemudian mereka saling menukar peran sambil klien mencoba tingkah laku baru dan terapis memainkan peran sebagai atasan. Klien boleh memberikan pengarahan kepada terapis tentang bagaimana memainkan peran sebagai atasannya secara realities , sebaiknyaterapis melatih klien bagaimana bersifat tegas terhadap atasan. Proses pembentukan terjadi ketika tingkah laku baru di capai dengan penghampiran-penghampiran . juga terjadi penghapusan kecemasan dalam menghadapi atasan dan sikap klien yang lebih tegas terhadap atasan menjadi lebih sempurna.
Tingkah laku menegaskan diri pertama-tama di praktekan dalam situasi permainan peran . dan dari sana  di usahakan agar tingkah laku menegaskan diri itu di praktekan dalam situasi situasi kehidupan nyata. Terapis memberikan bimbingan dengan memperlihatkan bagaimana dan bila mana klien bisa kembali ke tingkah laku semula. Tidak tegas serta memberikan pedoman untuk memperkuat tingkah laku menegaskan diri yang baru diperolehnya.
Shaffer dan Galinsky (1974) Menerangkan bagaimana kelompok-kelompok latihan asertif atau latihan ekspresif di bentuk dan berfungsi. Kelompok terdiri dari delapan sampai sepuluh anggota yang memiliki latar belakang yang sama. Dan season terapi berlangsung selama dua jam. Terapis bertindak sebagai penyelenggara dan pengarah permainan peran. Pelatih memberi penguatan dan sebagai model peran. Dalam diskusi-diskusi kelompok terapis bertindak sebagai seorang ahli memberikan bimbingan dalam situasi-situasi permainan peran. Dan memberikan umpan balik kepada para anggota.
Seperti kelompok- kelompok   tingkah laku lainnya, kelompok latihan asertif di tandai dengan stuktur yang mempunyai pemimpin. Secara khas sessions berstruktur sebagai berikut : session pertama yang di mulai dengan pengenalan didaktik tentang kecemasan social yang tidak realistis, pemusatan pada belajar menghapuskan respon-respon interbnal yang tidak efektif yang telah mengakibatkan kekurang tegasan dan pada belajar peran tingkah laku yang baru asertif. Session kedua bisa memperkenalkan sejumlah latihan relaksasi, dan masing- masing anggota menenrangkan tingkah laku spesifik dalam situasi-situasi interpersonal yang di rasakannya menjadi masalah. Para anggota kemudian membuat perjanjian untuk menjalankan tingakah laku menegaskan diri yang semula mereka hindari sebelum memasuki session yang selanjutnya. Session ketiga, para anggoata menerangkan tentang tingkah laku menegaskan diri yang telah diu coba di jalankan oleh mereka dalam situasi-situasi kehidupan nyata. Mereka berusaha mengepaluasi, jika mereka belum sepenuhnya berhasil, kelompok langsung menjalankan permainan peran. Session selanjutnya terdiri atas penambahan latihan relaksasi , pengulangan perjanjian untuk menbjalankan tingkah laku menegaskan diri yang di ikuti oleh evaluasi. Session yang terakhir bisa di sesuaikan dengan kebutuhan – kebutuhan individual para anggota. Sejumlah kelompok cenderung berfokus pada permainan peran tambahan . evaluasi dan latihan sedangkan kelompok yang lainnya berfokus pada usaha usaha mensiskusikan sikap-sikap dan perasaan perasaan yang telah membuat tingkah laku menegaskan diri sulit di jalankan.
Terapi kelompok latihan asertif pada dasarnya merupakan penerapan latihan tingkah laku pada kelompok dengan sasaran membantu individu dalam mengembangkan cara cara berhubungan yang lebih langsung dalam situasi-situasi intrapersonal. Fokusnya adalah mempraktekan memulai permaianan peran kecakapan-kecakapan bergaul yang baru di peroleh sehingga individu belajar bagaimana mengungkapkan perasaan-perasaan dan pikiran mereka secara lebih terbuka di sertai keyakinan bahwa mereka berhak untuk menunjukan reaksi-reaksi yang terbuka itu.

4.      Terapi Aversi
Teknik-teknik  pengondisian aversi  yang telah digunakan secara luas untuk meredakan gangguan-gangguan behavioral yang spesifik, melibatkan pengasosiasian tingkah laku simtomatik dengan suatu stimulus yang menyakitkan sampai tingkah laku yang tidak diinginkan terhambat kemunculanya. Stimulus-stimulus aversi biasanya berupa hukuman dengan kejutan listrik dan ramuan yang mengakibatkan mual.  Kendali aversi bisa melibatkan penarikan pemerkuat positif atau penggunaan berbagai bentuk hukuman. Contoh pelaksanaan penarikan pemerkuat positif adalah mengabaikan ledakan kemarahan anak guna menghapus kebiasaan  mengungkapkan ledakan kemarahan pada si anak. Jika perkuatan social di tarik, tingkah laku yang tidak diharapkan cenderung berkurang frekwensinya. Contoh penggunaan hukuman sebagai cara pengendalian adalah pemberian kejutan listrik terhadap anak autistic ketika tingkah laku spesifik yang tidak diinginkan muncul.
Teknik-teknik aversi adalah metode-metode yang paling controversial yang dimiliki oleh para behavioris meskipun digunakan secara luas sebagai metode-metode untuk membawa orang-orang kepada tingkah laku yang diinginkan. Kondisi-kondisi diciptakan  sehingga orang-orang melakukan apa yang diharapkan dari mereka alam rangka menghindari konsekuensi-konsekuensi aversif.  Sebagian besar lembaga social menggunakan prosedur-prosedur aversi untuk mengendalikan para anggotanya dan untuk membentuk tingkah laku individu agar sesuai dengan yang telah di gariskan: gereja menggunakan pengucilan, perusahaan-perusahaan menggunakan pemecatan dan penangguhan pembayaran upah, sedangkan pemerintah menggunakan denda dan hukuman penjara.
Kendali aversi acap kali menandai hubungan orang tua-anak. Kendali-kendali bisa bekerja secara langsung dan disadari. Baik anak maupun orang tua bisa di kendalikan oleh apa yang terjadi dalam situasi-situasi tertentu., dan boleh jadi situasi-situasi itu tidak bisa di jelaskan. Seorang anak diberi hak istimewa jika dia menyelaraskan  diri dengan  bertingkah laku sebagaimana yang di harapkan, dan sebaliknya. Anakpun belajar menggunakan kendali aversif terhadap orang tuanya. Dia belajar bahwa  orang tuanya memiliki suatu taraf toleransi terhadap tangisan, teriakan, permintaan, dan renekan anak, serta belajar bahwa pada akhirnya orang tuanya itu akan memenuhi permintaanya.
Dalam setting yang lebih formal dan terapeutik, teknik-teknik aversif sering di gunakan dalam penanganan berbagai tingkah laku yang maladaptif, mencakup minumalkohol secara berlebihan, ketergantungan pada obat bius, merokok, obsesi-obsesi, kompulsi-kompulsi, fetisisme, berjudi, homoseksualitas, dan penyimpangan seksual seperti pedofolia. Teknik ini merupkan metode yang utama dalam penanganan alkoholisme. Seorang alkoholik tidak dipaksa untuk menjauhkan diri dari alcohol, tetapi justru disuruh meminum alkohol. Akan tetapi, setiap tegukan alkohol diseratai pemberian ramuan yang membuat alkoholik merasa mual, dan kemudian muntah. Si alkoholik lambat laun akan merasa sakit bahkan meskipun hanya melihat botol alkohol.  Pengetahuan tentang  pengaruh-pengaruh buruk dari alkohol cenderung menghambat alkoholisme, tetapi terdapat kemungkinan bahwa alkoholik kembali kepada kebiasaan semula setelah periode penahanan diri yang singkat. Selain pada penanganan alkoholisme, prosedur-prosedur aversi telah digunakan secara berhasil pada penanganan-penanganan penyimpangan-penyimpangan seksual dengan mengasosiasikan stimulus yang menyakitkan dengan objek atau tindakan seksual yang tidak layak.
Butir yang penting adalah bahwa maksud prosedur-prosedur aversif iyalah menyajikan cara-cara menahan respons-respons maladaftifdalam suatu periode sehingga terdapat kesempatan untuk memperoleh tingkah laku alternative yang adaptif dan yang akan terbukti memperkuat dirinya sendiri. Satu kesalahpahaman yang popular adalah bahwa teknik-teknik yang berlandasan hukuman merupakan perangkat yang paling penting bagi para terapis tingkah laku.  tingkah laku. Hukumanjangan sering digunakan meskipun mungkin para klien sendiri menginginkan penghapusan tingkahlaku yang tak diinginkanya melalui penggunaan hukuman. Apabila cara-cara yang merupakan alternatifbagi hukuman tersedia, maka hukuman jangan digunakan. Cara-cara yang positif yang mengarahkan  kerusak dari pada tingkah lakuyang baru dan lebih layak harus dicari dan di gunakan sebelum terpaksa menggunakan pemerkuat-pemerkuat negative. Acap kali tingkah laku bisa di ubah hanya dengan menggunakan perkuatan positif yang mengurangi kemungkinan terbentuknya efek-efek samping yang merusak dari hukuman. Di samping itu, jika hukuman di gunakan, bentuk-bentuk tingkah laku adaptif yang merupakan alternative perlu secara jelas dan secara spesifik di gambarkan secara hukuman harus di gunakan dengan cara-cara yang tidak mengakibatkan klien merasa di tolak sebagai pribadi. Yang juga penting adalah klien dibantu agar ia mengetahui bahwa konsekuensi-konsekuensi aversif diasosiasikan hanya dengan tingkah laku maladaptive yang spesifik.
Skinner (1948-1971) Adalah salah seorang tokoh yang secara terang-terangan menentang penggunaan hukuman sebagai cara untuk mengendalikan hubungan-hubungan manusia ataupun untuk mencapai maksud-maksud lembaga-lembaga masyarakat. Menurut Skinner perkuatan positif jauh lebih baik efektif dalam mengendalikan tingkah laku karena hasil-hasilnya lebih bisa diramalkan serta kemungkinan timbulnya tingkah laku yang tidak diingankan akan lebih kecil. Skinner berpendapat bahwa hukuman adalah sesuatu yang buruk, meskipun bisa menekan tingkah laku yang diinginkan, tidak melemahkankecenderungan untuk merespon bahkan kalaupun ia untuk sementara menekan tingkah laku tertentu. Akibat-akibat yang tidak tidak diinginkan, menurut Skinner, berkaitan dengan penggunaan pengendalian aversif maupun penggunaan hukuman.
Apabila hukuman digunakan, mak terdapat kemungkinan  terbentuknya efek-efak samping emosional tambahan seperti:
a.       Emosional tambahan seperti tingkah laku yang tidak diinginkan yang dihukum boleh jadi akan ditekan hanya apa bila penghukum hadir
b.      Jika tidak ada tingkah laku yang menjadi alternatif bagi tingkah laku yang dihukum, maka individu ada kemungkinan menarik diri secara berlebihan,
c.       Pengaruh hukuman boleh jadi digeneralisasikan kepada tingkah laku lain yang berkaitan dengan tingkah laku yang dihukum, Misalnya; Seorang anak yang dihukum karena kegagalannya di sekolah boleh jadi akan membenci semua pelajaran, sekolah, semua guru, dan barangkali bahkan membenci belajar pada umumnya.
Jadi, seorang anak yang dihukum karena kegagalanya di sekolah boleh jadi akan membenci semuapelajaran sekolah, semua guru, dan barangkali bahkan membenci belajar pada umumnya.
5.      Pengondisian Operan
Tingkah laku operan adalah tingkah laku yang memancar yang menjadi ciri organisme yang aktif. Ia adalah tingkah laku beroperasi di lingkungan untuk menghasilkan akibat-akibat. Tingkah laku operan merupakan tingkah laku yang paling berarti dalam kehidupan sehari-hari yang mencakup membaca, berarti dalam kehidupan sehari-hari, yang mencakup membaca, berbicara, berpakaian, makan dan lain-lain.
Menurut Skinner (1971), jika suatu tingkah laku diganjar maka probabilitas kemunculan kembali tingkah laku tersebut dimasa mendatang akan tinggi.Perubahan tingkah laku yang dikondisikan, diberikan dalam kurun waktu tertentu dan target tertentu.
Contonya pemberian  hadiah jika seorang anak yang mendapatkan ranking.
6.      Perkuatan positif
Perkuatan positif adalah suatu pola tingkah laku dengan memberikan ganjaran atau penghargaan positif setalah tingkah laku yang diharapkan itu muncul. Cara ini sangat ampuh  untuh mengubah tingkah laku yang tidak baik menjadi baik. Ada pemerkuat – pemerkuat untuk perkuatan positif adalah sebagai berikut :
Pemerkuat primer adalah memuaskan kebutuhan fisiologis. Contoh : makanan, minuman, tidur/istirahat, rumah, dan pakaian.
Pemerkuat skunder adalah memuaskan kebutuhan psikologis dan sosial. Pemerkuat skunder bias menjadi alat yang sangat ampuh untuk merubah tingkah laku diharapkan dari tidak baik menjadi baik. Contoh : memberikan senyuman, persetujuan, pujian, bintang-bintang emas/ medali/ tanda penghargaan, uang, dan hadiah.

7.      Pembentukan respons
Pembentukan respons berwujud pengembangan suatu respons yang pada mulanya tidak terdapat dalam pembendaharaan tingkah laku individu. Perkuatan sering digunakan dalam proses pembentukan respons ini. Jadi, misalnya, jika seorang guru ingin membentuk tingkah laku kooperatif sebagai tingkah laku kompetitif, dia bisa memberikan perhatian dan persetujuan kepada tingkah laku yang diinginkannya itu. Pada anak autisik yang tingkah laku motorik, verbal, emosional, dan sosialnya kurang adaptif, konselor bisa membentuk tingkah laku yang lebih adaptif dengan memberikan pemerkuat-pemerkuat primer maupun sekunder.
Keempat komponen tersebut seperti :
-Motorik : Gerakan,Konselor melatih gerak gerik anak supaya anak tersebut mempunya keterampilan.Latihan yang dilakukan misalnya dengan latihan melukis,atau membuat suatu keterampilan-keterampilan yang lain.
 -Verbal :Kata-kata,Konselor membimbing anak tersebut dengan melatih perkataan yang satun,supaya verbal yang terbentuk dalam diri anak tersebut menjadi lebih baik
-Emosional:Emosi/Perasaan Konselor harus mampu mengerti emosi anak atau perasaan yang dimilikinya dengan mengerti dengan emosi anak,Konselor bisa lebih mudah untuk membimbing anak tersebut
Sosial: Pergaulan. Konselor bisa memberikan pengarahan-pengarahan atau menghimbau anak tersebut dalam hal bergaul dengan teman atau siapapun di masyarakat.
Keempat komponen diatas dilakukan untuk membentuk sikap yg Adaptif(mampu menyesuaikan diri).

8.      Perkuatan intermiten
Di samping membentuk, perkuatan-perkuatan bisa juga digunakan untuk memelihara tingkah laku yang telah terbentuk. Untuk memaksimalkan nilai pemerkuat-pemerkuat, konselor harus memahami kondisi-kondisi umum dimana perkuatan-perkuatan muncul. Oleh karenanya jadwal-jadwal perkuatan merupakan hal yang penting. Perkuatan terus menerus mengganjar tingkah laku setiap kali ia muncul. Sedangkan perkuatan intermiten pada umumnya lebih tahan terhadap penghapusan dibanding dengan tingkah laku yang dikondisikan melalui pemberian perkuatan yang terus menerus.  Misalkan dalam proses belajar mengajar pada pelajaran matematika, tentu guru tersebut berharap untuk semua siswanya mengerti dengan apa yang dijelaskan oleh guru. Hal ini diupayakan dengan cara memberikan perkuatan-perkuatan positif kepada siswa seperti reward/pujian kepada siswa yang sudah mengerti sehingga ia bisa mengubah tingkah lakunya dalam belajar sehingga sesuai dengan harapan guru mata pelajaran tersebut, dan siswa yang tidak mengerti akan berusaha untuk mengerti dengan menanyakan kepada teman yang sudah mengerti.
Dalam menerapkan pemberian perkuatan pada pengubahan tingkah laku, pada tahap-tahap permulaan konselor harus mengganjar setiap terjadi munculnya tingkah laku yang diinginkan. Jika mungkin, perkuatan-perkuatan diberikan segera setelah tingkah laku yang diinginkan muncul. Dengan cara ini, penerima perkuatan akan belajar, tingkah laku spesifik apa yang diganjar. Bagaimanapun, setelah tingkah laku yang diinginkan itu meningkat frekuensi kemunculannya, frekuensi pemberian perkuatan bisa dikurangi. Seorang anak yang diberi pujian setiap berhasil menyelesaikan soal-soal matematika, misalnya, memiliki kecenderungan yang lebih kuat untuk berputus asa ketika menghadapi kegagalan dibanding dengan apabila si anak hanya diberi pujian sekali-kali. Contoh: misalkan siswa mengalami kesulitan belajar pada materi yang diajarkan, hal pertama yang bisa guru lakukan yaitu dengan cara menanyakan dimana letak kesulitan yang mereka alami, kemudian guru juga bisa memberikan contoh-contoh yang  mudah agar siswa dapat mengerjakannya, apabila siswa tersebut sudah bisa mengerjakan soal yang mudah tersebut guru langsung meemberikan perkuatan positif seperti memberikan tepuk tangan dan selamat kepada anak tersebut agar siswa itu dapat mempertahankan bahkan meningkatkan kemampuannya.
9.      Penghapusan

Apabila suatu respons terus menerus dibuat tanpa perkuatan , maka respons tersebut cenderung menghilang. Dengan demikian, karena pola-pola tingkah laku yang dipelajari cenderung melemah dan terhapus setelah suatu periode, cara untuk menghapus tingkah laku yang maladaptif adalah menarik perkuatan dari tingkah laku yang maladaptif itu. Penghapusan dalam kasus semacam ini boleh jadi berlangsung lambat karena tingkah laku yang akan dihapus telah dipelihara oleh perkuatan intermiten dalam jangka waktu lama. Wolpe (1969) menekankan bahwa pengehentian pemberian perkuatan harus serentak akan penuh. Misalnya, jika seseorang anak menunjukkan kebandelan di rumah atau di sekolah, orang tua dan guru si anak bisa menghindari pemberian perhatian sebagai cara untuk menghapus kebandelan anak tersebut. Pada saat yang sama perkuatan positif bisa berikan kepada si anak agar belajar tingkah laku yang diinginkan.
Terapis, guru dan orang tua yang menggunakan penghapusan sebagai tehnik utama dalam menghapus tingkah laku yang tidak diinginkan harus mencatat bahwa tingkah laku yang tiak diinginkan itu pada mulanya bisa menjadi lebih buruk sebelum akhirnya terhapus atau dikurangi. Contohnya, seorang anak yang telah belajar bahwa dia dengan mengomel biasanya memperoleh apa yang diinginkan, mungkin akan memperhebat omelannya ketika permintaannya tidak segera dipenuhi. Jadi kesabaran menghadapi periode peralihan amat diperlukan.
10.  Percontohan
Dalam percontohan, individu mengamati seorang model dan kemudian diperkuat untuk mencontoh tingkah laku sang model. Bandura ( 1969) menyatakan bahwa segenap belajar yang bisa diperoleh melalui pengalaman langsung bisa pula diperoleh secara tidak langsung dengan menga,ati tingkah laku orang lain berikut konsekuensi- konsekuensinya. Jadi kecakapan- kecakapan sosial tertentu bisa diperoleh engan mengamati dan mencontoh tingkah laku model- model yang ada. Juga reaksi- reaksi emosional yang terganggu yng dimiliki seseorang bisa dihapus dengan cara orang itu mengamati orang lain yang mendekati objek- objek atau situasi- situasi yang di takuti tanpa mengalami akibat- akibat yang menakutkan dengan tindakan yang dilakukannya . pengendalian diripun bisa dipelajarari melalui pengamatan  atas model yang dikenai hukuman. Status dan kehormatan model amat berarti, dan orang- orang pada umumnya dipengaruhi oleh tingkah laku model- model yang menepati status yang tinggi dan terhormat di mata mereka sebagai pengamat.
11.  Token Economy

Token ekonomy adalah sistem perlakuan kepada tiap individu untuk mendapatkan bukti target perilaku setelah mengumpulkan sejumlah prilaku tertentu sehingga mencapai kondisi yang diharapkan. Contoh seperti pada lembar bukti prestasi. Siswa mendapatkan bukti dalam bentuk rewads atau hadiah dari pekerjaan yang dapat ditunjukannya. (Jason, 2009 ; 35).
Token Economy merupakakan sistem perlakuan pemberian penghargaan kepada siswa yang diwujudkan secara visual. Token Economy adalah usaha mengembangkan prilaku sesuai dengan tujuan yang diharapkan melalui penggunaan penghargaan. Setiap individu mendapat penghargaan setelah menunjukan prilaku yang diharapkan. Hadiah dikumpul selanjutnya setelah hadiah terkumpul ditukar dengan penghargaan yang bermakna. (Joson, 2009 ; 66).
Menurut Wallin (1991), Token Economy yang diberikan kepada siswa merupakan dukungan sekunder untuk memperkuat suasana belajar supaya lebih kondusif. Oleh karena itu, penghargaan harus menjadi rangsangan yang netral atau tidak berpihak. Siswa berkompetisi untuk memperolehnya dengan cara mengumpulkan token sebanyak-banyaknya dalam proses kegiatan belajar mengajar.
Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa Token economy adalah sistem perlakuan kepada tiap individu untuk mendapatkan bukti target perilaku setelah mengumpulkan sejumlah prilaku tertentu sehingga mencapai kondisi yang diharapkan, dengan cara subyek mendapat penghargaan setelah menunjukan prilaku yang diharapkan. Hadiah dikumpul selanjutnya setelah hadiah terkumpul ditukar dengan penghargaan yang bermakna.
Tujuan Token Economy Bukti Token Economy dapat digunakan untuk memenuhi berbagai tujuan pendidikan dalam membangun perilaku siswa. Penggunaan sistem time token ekonomi memiliki tujuan :
a.       Meningkatnya kepuasan dalam mendorong peningkatan kompetensi siswa melalui penghargaan yang kongkrit atau visual sehingga tingkat kesenangan siswa melakukan sesuatu prestasi benar-benar tampak.
b.      Meningkatnya efektivitas waktu dalam pelaksanaan pembelajaran. Belajar yang efektif adalah yang menggunakan waktu yang pendek dengan hasil yang terbaik dan terbanyak. Siswa harus menyadari berapa lama mereka telah belajar dan berapa banyak waktu yang telah mereka gunakan secara efektif untuk melaksanakan aktivitas belajar.
c.       Berkurangnya kebosanan – Suasana belajar yang kolaboratif, rivalitas, kompetitif yang diberi penguatan oleh pendidik dapat meningkatkan menurunkan tingkat di kebosanan siswa sehingga siswa dapat berpartisipasi dalam jangka waktu yang yang lama.
d.      Meningkatnya daya respon – Suasana belajar yang kompetitif akan meningkatkan kecepatan siswa meberikan respon. Setiap respon yang sesuai dengan tujuan akan segera mendapat penguatan sehingga suasana belajar menjadi cair, komunikatif dan lebih menyengkan.
e.       Berkembangnya penguatan yang lebih alami, – melalui pemberian penguatan yang tepat waktu akan dan disesuaikan dengan tingkat prestasi setiap siswa atau setiap kelompok siswa memungkinkan
f.       Meningkatnya penguatan untuk sehingga motivasi belajar berkembang – setiap siswa atau setiap kelompok siswa dalam kelas selalu dalam keadaan terpacu untuk mewujudkan dan daya pacu ini akan semakin berkembang jika siswa juga mendapat layanan untuk mengabadikan daya kompetisinya seperti dengan dukungan rekaman video.
Komponen Token Economy. Sebelum kegiatan belajar dilaksanakan pendidik menyiapkan beberapa komponen yang dibutuhkan, di antaranya:
a.       Token atau simbol praktis dan atraktif untuk memicu tumbuhnya motivasi belajar. Yang dapat digunakan sebagai simbol penghargaan seperti stiker, guntingan kertas, simbol bintang, atau uang mainan. Token sendiri tidak selalu dalam bentuk yang berharga, namun setelah siswa mengoleksinya setelah menunjukan prilaku yang diharapkan mereka dapat menukarkan token itu dengan sesuatu yang berharga. Dengan demikian setelah satu rentang waktu tertentu guru harus menyediakan barang penukar token yang berharga untuk siswa. Yang paling mudah seperti permen, alat tulis atau benda berharga lain yang dapat sekolah biayai.
b.      Definisi target prilaku jelas. Hal itu berarti guru maupun siswa perlu memahami dengan baik prilaku yang diharapkan. Siswa memahami benar prilaku seperti apa yang harus ditunjukannya sebagai hasil belajar. Penjelasan harus singkat namun cukup sebagai dasar pemahaman siswa mengenai hadiah yang dapat diperlehnya setelah menunjukan prestasi.
c.       Dukungan penguatan (reinforcers) dengan barang yang berharga. Dukungan itu dapat dalam bentuk barang berharga, hak istimewa, atau aktivitas individu yang dapat ditukar dengan makanan, perangkat permainan, waktu ekstra.
d.      Sistem penukaran token atau simbol. Sukses penyelenggaraan token ekonomi sangat bergantung pada sukses dalam memberikan penguatan yang dapat ditukarkan dengan nilai yang sebanding dengan prestasi yang dicapai.
e.       Sistem dokumentasi atau perekaman data. Pemberian penghargaan yangtepat sangat bergantung pada ketepatan menghimpun data. Oleh karena itu alat perekam dapat membantu meningkatkan proses ini sehingga informasi dari proses pembelajaran dapat dikelola dengan tingkat akurasi yang tinggi.
f.       Konsistensi dalam implementasi, untuk menjunjung konsistensi itu sebaiknya terdapat panduan teknis yang tertulis sebagai pegangan pelaksanaan tugas sehingga apa yang direncanakan itulah yang dilaksanakan.
Langkah-langakah pelaksanaan Token Economy
Mengacu pada pemikiran Robinson T.J. Newby dan S.L. Ganzell, (1981) merumusakan bahwa langkah utama dalam pelaksanaan sistem token ekonomi dapat dikembangkan sebagai berikut :
a.       Menentukan target prilaku atau kompetensi yang dapat siswa tunjukan. Guru memilih masalah penting sebagai target. Definisikan dengan jelas, harus dalam bentuk penyataan positif, dan harus dalam prilaku hasil belajar yang dikembangkan dalam bimbingan pembelajaran dalam kelas.
b.      Menentukan motode bagaimana langkah-langkah untuk memperoleh penghargaan dan nilai dari setiap penghargaan. Barkley (1990) memberi contoh untuk anak-anak umur 4-7 thaun menggunakan guntingan kartu berbentuk bintang, model perangko atau stiker. Setiap perangkat penghargaan diletakan siswa di atas meja belajarnya dalam kelas.
c.       Identifikasi nilai atraktif penghargaan. Mengembangkan penghargaan sebagai sesuatu yang berarti, praktis dan atraktif sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Hal penting yang dapat meningkatkan makna adalah keterlibatan siswa dalam proses memilih dan menyusun jenis dan nilai penghargaan. Dalam hal ini siswa dapat memperoleh kebebasan menentukan waktu
d.      Menentukan Tujuan, jumlah token yang dapat diperoleh serta nilai yang diperoleh untuk setiap penghargaan yang diperoleh.
Implementasi kegiatan ini memerlukan langkah lanjut :
a.       Penjelasan Program Kepada Siswa. Penjelasan mengenai program harus jelas. Siswa harus memahami aturan main sebelum belajar dimualai agar mereka dapat memanfaatkan waktu belajar secara optimal. Sejumlah penghargaan kepada siswa diberikan di antaranya karena ketepatan dan kecepatan menunjukan prilaku positif yang diharapkan.
b.      Guru memberikan masukan. Guru harus menentukan kapan hadiah akan didistribusikan, dengan ketentuan seperti apa, dan bagaimana siswa dapat memperoleh penghargaan, tata tertib seperti bagaimana? Pemberian penghargaan dapat guru lakukan tidak hanya sebatas dalam kurun waktu satu dua jam pelajaran, namun dapat pula menggunakan waktu berharihari, berminggu-minggu atau dalam satu semester sepanjang guru dapat memelihara kondisi tingkat revalitas, persaingan dan daya kolaborasi dapat terus dikobarkan sehingga berdampak positif terhadap hasil belajar siswa.
c.       Guru pengatur penghargaan. Guru memberikan penghargaan dengan memperhatikan tercapainya tujuan pembelajaran. Kejuaraan diperoleh dari pengumpul hadiah terbanyak. Hal itu berarti menjadi siswa yang berlajar paling efektif sehingga mencapai prilaku yang diharapkan. Jika siswa berhasil dalam satu hari dan ia tidak mendapatkan di waktu lain adalah sesuatu yang baiasa.



BAB III
PENUTUP
3.1              Kesimpulan

1.                  Terapi tingkah laku atau behavioristik ini merupakan penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar. Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman dan kematangan.
2.                  Terapi tingkah laku,berbeda dngan sebagian besar pendekatan terapi lainnya,ditandai oleh: (a) Pemusatan perhatian kepada tingkah laku yg tampak dan spesifik, (b) kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment, (c) perumusan prosedur treatment yg spesifik yg sesuai dengan masalah dan (d) penaksiran objektif atas hasil-hasil terapi.
3.                  Tujuan umum terapi tingkah laku adaiah menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar. Dasar alasanya ialah bahwa segenap tingkah laku adalah dipelajari (learned), termasu tingkah laku yang maladaktif. Jika tingkah laku neurotik learned , maka ia bisa unlearned (dihapus dari ingatan). Dan tingkah laku yang lebih efektif bisa diperoleh. Terapi tingkah laku pada hakekatnya terdiri atas proses penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif dan pemberian pengalaman-pengalaman belajar yang didalamnya respons-respons yang layak yang belum dipelajari.
4.                  Terapis tingkah laku harus memainkan peran aktif dan direktif dalam pemberian treatmen, yakni terapis menerapkan pengtahuan ilmiyah pada pencarian pemecahan-pemecahan bagi masalah-masalah manusia, pada kliennya. Terapis tingkah laku secara khas berfungsi sebagai guru, pengaruh, dan ahli dalam mendiagnosis tingkah laku yang maladaptif dan dalm menentukan prosedur-prosedur penyembuhan yang,diharapkan,mengarah pada tingkah laku yang baru dan adjustive
5.                  Peran terapis yang esensial adalah peran sebagai agen pemberi perkuatan. Para terapis tingkah laku tidak di cetak untuk memainkan peran yang dingin dan impersonal yang mengerdilkan mereka menjadi mesin – mesin yang deprogram yang memakakan teknik – teknik kepada para klien yang mirip robot – robot.  Sedangkan aspek yang penting dari peran klien dalam terapi tingkah laku adalah, klien di dorong untuk breksperimen dengan tingkah laku baru dengan maksud memperluas perbendarahaan tingkah laku adaptifnya
6.                  Terapi terlebih dahulu harus mengembangkan atmosfer kepercayaan dengan memperlihatkan bahwa
a.       Ia memahami dan menerima pasien
b.      Kedua orang di antara mereka bekerja sama dan
c.       Terapi memiliki alat yang berguna dalam membantu ke arah yang dikehendaki oleh pasien (h. 221)
7.                  Ada beberapa teknik-teknik dan prosedur-prosedur dalam teori atau terapi tingkah laku, yaitu :
a.              Teknik Desensitisasi Sistematik
b.              Teknik Terapi Implosif dan Pembanjiran
c.              Teknik Latihan Asertif
d.             Teknik Terapi Aversi
e.              Teknik Pengondisian Operan
f.               Teknik Perkuatan Positif
g.              Teknik Perkuatan Respons
h.              Teknik Perkuatan Intermiten
i.                Teknik Penghapusan
j.                Teknik Percontohan
k.              Teknik Token Economy










Share this

Related Posts

Previous
Next Post »